Ketika "Pacaran Baik-Baik" Menjadi Gerbang Kerusakan Moral Umat

 


Annisa Suciningtyas



#Wacana — Melangsir dari laman Kompas.com (09/10/2025), Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengumumkan bahwa Taman Margasatwa Ragunan akan dibuka hingga malam hari mulai Sabtu, (11/10/2025). Di satu sisi, kebijakan ini terlihat sebagai langkah modernisasi kota, membuka ruang publik di malam hari, menambah opsi rekreasi, serta memberikan nilai tambah pada fasilitas kota.



Sayangnya, di sisi lain, kebijakan ini membawa sejumlah potensi kerusakan pergaulan, terutama jika tidak dikelola dengan baik. Ruang publik yang sepi di malam hari bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai norma masyarakat. Tanpa pengawasan yang memadai, CCTV, petugas, dan penerangan. Maka risiko aksi asusila pun bisa meningkat, yang sudah menjadi kekhawatiran oleh beberapa pihak.



Hal yang menarik adalah pernyataan dari Pramono secara terbuka memperbolehkan pengunjung pacaran di Ragunan, asalkan pacaran baik-baik. Kalimat ini memang terdengar ringan, tapi kalimat “pacaran baik-baik” itu subjektif, apa yang dianggap “baik-baik” bisa berbeda antar orang, atau antar kelompok usia dan budaya. Artinya tak ada batasan yang jelas, serta dapat menimbulkan konflik sosial.



Terlebih lagi kalimat “pacaran baik-baik” punya makna yang dalam seperti legitimasi sosial terhadap perilaku di ruang publik. Dalam kacamata Islam hal ini jelas menyangkut masalah tentang batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang sudah diatur syariat, bahwa tidak dibolehkan adanya campur baur laki-laki dengan perempuan (ikhtilat).



Kalau ruang publik malam jadi tempat pacaran atau kegiatan yang sebelumnya dianggap urusan pribadi, lama-kelamaan bisa terjadi perubahan dalam cara masyarakat memandang pergaulan laki-laki dan perempuan. Norma budaya, batasan antara ruang pribadi dan ruang umum, serta tampilan ruang publik bisa ikut bergeser. Akibatnya, aturan pergaulan bisa makin longgar dan masyarakat makin jauh dari nilai agama yang selama ini dipegang.



Dalam pandangan Islam, konsep khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) adalah haram, karena yang ketiganya adalah setan. Pacaran, dalam bentuk apa pun, adalah aktivitas yang tidak dikenal dan dilarang dalam syariat Islam karena merupakan pintu gerbang (perantara) menuju perbuatan zina.



Pemerintah, alih-alih mencegah maksiat, justru menyediakan fasilitas dan lampu hijau bagi aktivitas yang secara jelas melanggar syarak. Batasan "baik-baik" menurut syariat adalah tidak berduaan, tidak bersentuhan, menjaga pandangan (ghadhdhul bashar), dan menutup aurat. Mustahil aktivitas yang dinamakan "pacaran" dapat memenuhi semua batasan ini. Tanpa pengawasan syariat yang tegas, batas "baik-baik" akan dengan mudah digeser oleh hawa nafsu dan norma liberal yang berorientasi pada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, istilah “pacaran baik-baik” sebenarnya sangat problematis. Apa yang dimaksud ‘baik-baik’ hanya sebatas tidak bermesraan secara vulgar?



Meskipun ada CCTV atau petugas, area yang luas dan gelap tetap menjadi peluang besar bagi sepasang muda-mudi untuk melakukan tindakan yang lebih jauh dari sekadar "duduk bersama." Tindakan asusila, yang seharusnya tersembunyi, kini berpotensi menjadi tontonan umum, menormalisasi kemaksiatan, dan secara perlahan mengikis rasa malu (al-haya’) yang merupakan bagian dari iman.



Akibatnya,  akan terjadi pergeseran norma kultural ke arah liberalisme. Kebijakan seperti ini, yaitu aktivitas yang dulu dianggap privat atau terlarang, kini digeser menjadi bagian dari "opsi rekreasi" yang dilegalkan. Ini merupakan perwujudan dari pandangan hidup sekuler-liberal yang memisahkan agama dari urusan publik dan sosial. Ketika maksiat dipandang sebagai kebebasan berekspresi, maka norma agama, seperti larangan khalwat dan anjuran menjaga pandangan, akan dianggap ketinggalan zaman dan mengganggu hak individu.



Pemerintah wajib menyadari bahwa fungsi utama negara dalam pandangan Islam adalah sebagai ra'in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi umat. Pemerintah harus menjaga umat dari kerusakan, bukan memfasilitasinya. Menyediakan ruang publik yang aman dan nyaman adalah kewajiban, tetapi harus sejalan dengan norma dan hukum syariat.



Islam telah menawarkan solusi yang sempurna untuk interaksi antara laki-laki dan perempuan, yaitu pernikahan. Islam mendorong penyaluran fitrah cinta dan kasih sayang melalui ikatan suci pernikahan (zawaj) dan melarang keras segala bentuk perantaraan menuju zina.



Jika pemerintah benar-benar ingin menyediakan opsi rekreasi yang bernilai tambah bagi warga, seharusnya ia fokus pada hal berikut. Pertama, penyediaan fasilitas rekreasi yang islami. Membuat ruang publik yang berfungsi sebagai sarana edukasi, olahraga, dan rekreasi keluarga yang terpisah secara syarak antara laki-laki dan perempuan, serta menjamin tidak adanya aktivitas khalwat dan pamer aurat.



Kedua, edukasi dan penegakan adab di ruang publik. Bukan dengan mengizinkan "pacaran baik-baik," melainkan dengan menegakkan adab-adab islami di ruang publik, seperti kewajiban menutup aurat, menjaga pandangan, dan larangan berduaan bagi yang bukan mahram. Ketiga, mempermudah pernikahan. Fokus pada kebijakan yang memudahkan pemuda-pemudi untuk menikah, sehingga mereka tidak perlu lari ke jalan yang diharamkan.



Kebijakan yang mengizinkan "pacaran baik-baik" di ruang publik adalah bukti bahwa sistem sekuler yang berlaku telah gagal menjaga moralitas umat dan cenderung tunduk pada nilai-nilai liberal yang merusak. Tidak ada jalan lain untuk memperbaiki tata pergaulan masyarakat selain dengan kembali kepada syariat Islam secara kafah (menyeluruh). Hanya dengan Syariat Allah yang diterapkan dalam bingkai Khilafah, kemaksiatan akan diberantas, kehormatan umat akan terjaga, dan ruang publik akan benar-benar menjadi ruang yang suci dari segala bentuk kemungkaran. Wallahualam bissawab.[]





Posting Komentar

0 Komentar