Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Beberapa waktu lalu heboh pemberitaan adanya kasus penamparan yang dilakukan oleh Kepala SMAN 1 Cimarga, Dini Fitri, terhadap salah satu anak didiknya. Peristiwa tersebut bermula dari temuan Dini atas siswa yang membolos kegiatan "Jumat Bersih" di sekolah dan justru merokok di area kantin sekolah. Aksi penamparan yang dilakukan Dini dimaksudkan untuk mendisiplinkan anak didik. Tidak lama berselang, orang tua siswa melaporkan kejadian tersebut ke Polres Lebak (detik.com, 15/10/2025).
Aksi penamparan tersebut pun berbuntut panjang. Pada 13–14 Oktober lalu, sebanyak 630 siswa melakukan aksi mogok sekolah. Mereka juga melayangkan surat protes dan memasang spanduk besar di depan gerbang sekolah bertuliskan tuntutan untuk mencopot Dini Fitri dari jabatannya (suara.com, 15/10/2025). Belakangan, ratusan siswa akhirnya kembali mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
Kasus penamparan siswa SMAN 1 Cimarga yang disusul dengan aksi mogok sekolah para siswa memicu Gubernur Banten, Andra Soni, untuk menonaktifkan Kepala SMAN 1 Cimarga guna pemeriksaan dugaan penamparan siswa yang merokok. Namun, keputusan gubernur justru menuai kritik pedas dari masyarakat. Bahkan beberapa kalangan akademisi menilai keputusan tersebut merupakan tindakan tergesa-gesa dan berpotensi memunculkan masalah baru (schoolmedia.id, 17/10/2025). Andra Soni kemudian memastikan bahwa Dini Fitri akan kembali memimpin SMAN 1 Cimarga, Lebak.
Di sisi lain, di sosial media muncul seruan blacklist bagi para lulusan SMAN 1 Cimarga bagi perguruan tinggi dan perusahaan. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Lebak Budi Santoso pun ikut angkat bicara. Ia meminta agar pihak industri bersikap profesional dan tidak gegabah mengambil keputusan (tribunnews.com, 17/10/2025). Hal senada juga diungkapkan Dini Fitri selaku Kepala SMAN 1 Cimarga. Ia menilai bahwa perjalanan para siswa masih panjang dan butuh pendampingan banyak pihak. Ia pun mengaku adanya beban moral selaku pendidik atas keberhasilan para lulusan SMAN 1 Cimarga di masa depan (suara.com, 16/10/2025).
Dekadensi moral (kemerosotan adab) sejatinya sudah menjadi problem sistemik pendidikan negeri ini. Degradasi moral bahkan sudah berada di tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Krisis pendidikan Indonesia menjadi potret output pendidikan yang berasaskan sistem kehidupan sekuler-kapitalisme di negeri ini. Sistem sekuler secara nyata berpengaruh besar dan menjadi faktor penentu dalam membentuk perilaku anak didik.
Sistem sekuler yang memisahkan agama (Islam) dari kehidupan telah menjadikan aturan syariat terbatas pada ranah privat. Sedangkan sistem sekuler justru mengagungkan nilai-nilai kebebasan terutama kebebasan berekspresi dan bertingkah laku. Ide kebebasan itulah yang membentuk generasi muda saat ini menjadi manusia yang bebas bertindak sekalipun melanggar nilai-nilai agama. Hal ini secara nyata telah menyebabkan krisis moral di kalangan generasi muda.
Lebih dari itu, sistem pendidikan sekuler-kapitalisme terbukti gagal memupuk generasi berakhlak mulia. Kebijakan pendidikan ala sekuler-kapitalisme fokus pada nilai-nilai keberhasilan materialisme dengan tujuan mencetak generasi pekerja guna menyokong kebutuhan industri. Walhasil, para anak didik dianggap ‘sukses’ tatkala di masa depan memiliki profesi bergengsi dengan income tinggi. Oleh karenanya, wajar jika sistem pendidikan sekuler-kapitalisme banyak mencetak anak-anak pintar tetapi minim adab.
Padahal negeri ini telah merasakan pergantian kebijakan kurikulum pendidikan hingga 12 kali, yakni di tahun 1947, 1964, 1968, 1973, 1984, 1994, 1997, 1994, 2004, 2006, 2013 dan 2024. Sayangnya, perubahan kurikulum pendidikan yang diterapkan pemerintah sama sekali tidak mampu meredam krisis moral generasi muda. Makin kesini kaum terpelajar justru makin terjebak pada pola pikir sekuler yang tidak lagi mengindahkan batasan halal-haram dalam setiap perbuatannya.
Dekadensi moral anak-anak didik Indonesia kian terasa dengan adanya miskonsepsi paradigma pendidikan keluarga. Banyak orang tua yang ironisnya tidak memahami perannya dengan baik. Tidak sedikit orang tua yang tidak terlalu peduli dengan pendidikan akidah anak yang sejatinya adalah bekal utama anak dalam mengarungi kehidupan. Tidak adanya fondasi akidah yang kokoh secara pasti membentuk generasi lemah iman dan nirempati. Dari sini, wajar jika kasus kesehatan mental dan kekerasan remaja kian merebak dan seolah menjadi hal biasa.
Ketidakpahaman para orang tua akan kewajibannya mendidik anak bertakwa dan beriman justru memberi beban berat bagi lembaga pendidikan. Para pendidik diharuskan menjadi figur orang tua dan memberi pendidikan adab di lingkungan sekolah. Celakanya, tidak jarang mekanisme ‘pendisiplinan’ sekolah dan orang tua pun bertabrakan sebagaimana yang terjadi pada kasus SMAN 1 Cimarga. Hal ini wajar terjadi karena gaya hidup sekuler-kapitalisme memang menghapuskan nilai-nilai kebenaran illahi, sehingga manusia kesulitan untuk membedakan antara yang hak dan batil.
Selebihnya, peran dan kontrol negara yang hampir nihil membuat generasi muda kehilangan arah pandang dan fondasi dalam hidupnya. Pemerintah secara nyata tidak melakukan tugasnya dalam melakukan penjagaan akidah anak-anak bangsa. Konten-konten negatif yang mengobral kemaksiatan sepeti konten porno, perundungan, kekerasan, gaya hidup bebas hingga penyimpangan seksual dibiarkan bebas berkeliaran di jagat media sosial dan media. Negara hanya akan mengurusi masyarakat ketika suatu kasus menjadi sorotan publik.
Padahal, sistem Islam telah terbukti secara nyata mampu membangun generasi emas yang melibatkan peran orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, dan juga negara. Sistem Islam menjamin penerapan hukum-hukum Islam di seluruh aspek kehidupan sekaligus menjamin penanaman akidah Islam bagi anak-anak sedari dini. Seluruh elemen masyarakat memiliki peran masing-masing terutama negara dalam pendidikan anak berasaskan syariat Islam. Dengan demikian, tidak ada lagi kerancuan dan kebingungan dalam tata cara pendisiplinan anak tatkala anak melakukan perbuatan maksiat. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar