Gencatan Senjata, Skenario Amerika untuk Memadamkan Spirit Jihad di Gaza




#EDITORIAL – Dalam KTT Gaza yang diselenggarakan di Sharm el-Sheikh Mesir (13-10-2025), Trump bersama pemimpin Mesir, Qatar, dan Turki resmi menandatangani dokumen berisi komitmen untuk bekerja sama mewujudkan dan mempertahankan warisan perdamaian di Timur Tengah. KTT yang diinisiasi Trump dan digelar setelah selesainya gencatan senjata tahap pertama ini disebut-sebut menandai berakhirnya perang—sebutan Trump untuk genosida di Gaza, Palestina.

Para pemimpin Arab dan negeri muslim lainnya pun menyampaikan puji-pujian selangit kepada Trump yang dianggap “berjasa” dalam mengakhiri Perang Gaza. Salah satunya Presiden Mesir Abdel Fattah as-Sisi yang mengatakan bahwa Trump adalah satu-satunya pemimpin yang mampu mencapai perdamaian di Timur Tengah. Ia juga memuji perjanjian ini sebagai “perjanjian yang bersejarah”.

Trump pun demikian. Ia turut memuji-muji para pemimpin Arab dan negeri muslim lainnya, termasuk Indonesia. Ia menyampaikan rasa terima kasihnya yang mendalam karena pemimpin Arab dan Islam ia anggap telah bersatu menekan Ham*s untuk membebaskan tawanan sebagai tanda keberhasilan gencatan senjata tahap pertama. Trump bahkan secara khusus memuji Presiden Prabowo sebagai presiden yang luar biasa dari Indonesia.

Di Balik Kata Damai ala Amerika
Pada 8 Oktober 2025, Trump mengumumkan bahwa pihak Zion*s dan Ham*s berhasil menyepakati gencatan senjata tahap pertama. Saat itu ia mengatakan bahwa semua sandera akan segera dibebaskan dan Israel akan menarik pasukan mereka ke garis yang disepakati sebagai langkah pertama menuju perdamaian yang kuat, stabil, dan permanen.

Namun, penandatanganan oleh kedua pihak baru berlaku resmi pada 10 Oktober 2025. Adapun pertukaran sanderanya sendiri baru terealisasi pada 13 Oktober 2025. Tercatat sebanyak 1.968 tahanan warga Palestina di Israel telah dikembalikan ke Palestina, termasuk Gaza. Sementara itu, 20 warga Israel yang sebelumnya disandera di Gaza juga telah dipulangkan ke wilayah pendudukan Israel di Palestina.

Jika ditelisik lebih dalam, penyelenggaraan KTT ini sendiri tampak sebagai salah satu upaya Trump untuk memobilisasi dukungan dari para pemimpin Arab dan negeri muslim lainnya—termasuk Indonesia—agar Amerika (AS) bisa segera mewujudkan targetnya di Gaza. Trump sengaja menarik mereka lebih dalam dengan melibatkan mereka di proyek rekonstruksi Gaza. Ia juga memasukkan sebagiannya sebagai anggota Dewan Perdamaian guna mengawasi komite yang akan mengatur Gaza sebagaimana tercantum dalam salah satu diktum proposal perdamaian yang ia inisiasi.

Nyatanya, proyek ini jelas-jelas merefleksi ambisi Trump soal masa depan Gaza yang bernama “Riviera Timur Tengah”. Untuk itulah ia berusaha menekan seluruh pihak agar menghentikan perang dan menjalankan gencatan senjata tahap kedua dengan fokus demiliterisasi Gaza. Bagaimanapun, untuk menyukseskan megaproyek tersebut, tentu butuh stabilitas dan rekonsiliasi di kawasan Timur Tengah.

Adapun sasaran utama demiliterisasi ini jelas adalah Ham*s. Kekuatan dan pengaruh Ham*s harus dimandulkan dengan cara dipaksa melucuti senjatanya, mereka juga tidak diberi ruang sama sekali untuk turut campur dalam proses pembangunan kembali Gaza. Pada saat yang sama, Amerika sengaja menunjuk Otoritas Palestina—yang selama ini dipandang pro Amerika dan kompromistis dengan Zion*s—untuk menggantikan posisi Ham*s untuk memimpin Gaza.

Sebelumnya, Ham*s juga dipaksa menerima ide kemerdekaan Palestina di bawah bingkai solusi dua negara. Ide ini makin kencang disuarakan negara-negara di dunia, termasuk Inggris (sebagai sekutu utama Amerika) dan para pemimpin Islam (seperti Indonesia) pada Sidang Umum ke-80 PBB di New York, Amerika (23-9-2025). Sedangkan ide ini, alih-alih membela kepentingan rakyat Gaza, justru memaksa mereka untuk mengakui eksistensi negara pendudukan Zion*s di Palestina yang sejak 1948 membuat hidup mereka menderita.

Walhasil, “perdamaian” ala Amerika dan sekutunya ini sejatinya bukan demi Gaza. Perdamaian ini tidak lebih dari jebakan politik mereka untuk segera “mengalahkan” Gaza tanpa perang, alias tanpa senjata. Bahkan, dengan perjanjian damai ini, keseluruhan wilayah Palestina telah dikunci dalam jebakan peta baru kawasan Timur Tengah sebagaimana dikehendaki pihak Zion*s dan sekutu beratnya (Amerika).

Memadamkan Spirit Jihad
Tidak dimungkiri, proses gencatan senjata memang memberi napas baru bagi warga Gaza yang sudah sangat lama menderita. Gencatan senjata juga memberi jalan bagi mereka untuk bisa kembali berkumpul dengan keluarga yang tercerai-berai akibat kezaliman Zion*s dan anteknya.

Akan tetapi, kita tidak boleh menutup mata bahwa kompensasi yang harus dibayar akibat mengikuti skenario Amerika ini sejatinya bukan hanya menyangkut masa depan Palestina dan Gaza, melainkan juga masa depan muslim dunia. Palestina dan Gaza adalah representasi perjuangan muslim dunia melawan hegemoni Amerika dan sekutunya. Ibaratnya, jika pusatnya padam, tidak ada lagi kemuliaan yang tersisa bagi umat Islam.

Zion*s dan Amerika pun rupanya sangat paham bahwa spirit perlawanan rakyat Palestina terkhusus Gaza benar-benar kuat dan berbahaya. Dua tahun terakhir upaya genosida, nyatanya berujung sia-sia. Mental dan kredibilitas mereka justru makin jatuh sehina-hinanya. Bukan hanya di mata penduduk Gaza, tapi juga hadapan dunia. Sampai-sampai Amerika perlu membuat skema menawarkan gencatan senjata, seraya mencoba menaikkan posisinya dari status sebagai sekutu penjajahan menjadi “pahlawan perdamaian dunia”!

Ndilalahnya, dunia tampaknya berhasil dipaksa percaya bahwa solusi atas masalah ini adalah demiliterisasi Gaza dan mengakui kemerdekaan Palestina di bawah bingkai dua negara. Jadilah nasib rakyat Gaza digantung di atas solusi perjanjian damai yang proposalnya disodorkan oleh Amerika.

Harusnya kita tidak boleh lupa, karakter utama Zion*s adalah tidak pernah bisa dipercaya. Begitu pun soal ketulusan Amerika, adanya cuma dalam film-film laga. Bukankah sejarah telah mencatat, puluhan resolusi PBB terkait pendudukan Palestina tidak satu pun yang ditaati pihak Zion*s yang di-support penuh Amerika? Bahkan, setiap satu kali perjanjian gencatan senjata ditandatangani, bisa ratusan kali mereka melanggarnya.

Terakhir kali ini saja, tidak perlu menunggu hari, Zion*s sudah mengkhianatinya. Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat, baru selama 10—13 Oktober 2025, sudah 14 pelanggaran dilakukan Zion*s terhadap perjanjian gencatan senjata dengan jumlah korban tewas sebanyak 323 warga. Adapun pasokan bantuan yang dijanjikan akan masuk setelah gencatan senjata, nyatanya benar-benar dikontrol dan dimanipulasi seenaknya.

Begitu pun dengan Amerika. Perjanjian gencatan senjata jelas-jelas menjadi cara mereka untuk mengendalikan politik, militer, dan ekonomi Gaza. Dengan dalih mendukung stabilisasi Gaza, Komando Pusat (Militer) Amerika (CENTCOM) telah mendirikan Pusat Koordinasi Sipil-Militer (CMCC) di wilayah Zion*s dekat perbatasan Gaza. Ini membuktikan bahwa sejatinya upaya genosida masih terus berlangsung meski setelah gencatan senjata. Juga membuktikan bahwa Zion*s dan Amerika tengah bekerja sama memadamkan spirit perlawanan yang masih tersisa demi menguasai penuh tanah ribat bernama Gaza.

Di Manakah Kita?
Sesungguhnya, puncak pengkhianatan dan penghinaan terbesar atas kaum muslim Gaza adalah ketika para pemimpin Islam percaya serta mengandalkan Amerika untuk menyelamatkan Gaza dan mengakhiri perang di sana. Padahal, mereka tahu persis bahwa Amerika adalah pendukung utama penjajahan Zion*s di tanah Palestina dan upaya genosida di wilayah Gaza.

Oleh karenanya, umat Islam tidak boleh condong pada kezaliman mereka, sebagaimana peringatan Allah Taala, “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim, yang akan menimpa kamu dengan api neraka. Karena jika demikian, maka tidak ada bagimu pelindung selain Allah dan tidak pula kamu akan ditolong.” (QS Hud: 113).

Umat Islam juga semestinya selalu ingat, perang peradaban adalah keniscayaan sejarah. Sampai kapan pun, kaum kafir akan terus berusaha merebut dan mempertahankan kepemimpinan mereka dengan segala daya dan upaya, termasuk tolong-menolong sesama mereka untuk melemahkan spirit perlawanan umat Islam hingga akarnya, termasuk di Gaza.

Bukan kebetulan jika Allah memilih Gaza sebagai role model bagi perjuangan dalam jihad fī sabīlillāh era kekinian. Kesabaran mereka telah teruji dari masa ke masa. Itulah sebabnya, mereka tidak boleh terjebak skenario busuk Amerika dan antek-anteknya. Mereka harus tetap bersabar dan senantiasa mengobarkan semangat jihad dengan spirit isy kariiman aw mut syahiidan.

Tentu ada kewajiban bagi umat Islam di seluruh dunia untuk menolong Palestina sebagai tuntutan iman dan ukhuah islamiah. Caranya adalah dengan bekerja lebih keras bersama sebuah kelompok dakwah demi mewujudkan institusi politik Khilafah yang akan memobilisasi semua kekuatan umat Islam dunia, serta mengomando jihad fī sabīlillāh untuk mengenyahkan penjajahan.

Posting Komentar

0 Komentar