Mungkinkah Demokrasi Membawa Kesejahteraan?

 



 

#Reportase — “Mungkinkah demokrasi membawa kesejahteraan?” tanya Intelektual Muslimah, Dr. Retno Muninggar, S.Pi., M.E., dalam Forum Tokoh Muslimah Depok (FTMD#26): "Refleksi Maulid Nabi saw.: Teladan Kepemimpinan Terbaik Pembangun Peradaban Mulia,” Jumat (05/09/2025) di Depok, Jawa Barat.

 

Menurutnya, tidak mungkin demokrasi mensejahterakan karena demokrasi dari kelahirannya sudah cacat, sebentar lagi akan mati dan akidahnya bertentangan dengan Islam, yakni akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).

 

Jadi kalau kita berharap pada demokrasi—tidak akan menerima agama sama sekali ketika diterapkan dalam kehidupan, tidak akan menerima agama apalagi Islam. Dia menerima agama tapi sebatas individu. Jadi ibu-ibu silakan pakai kerudung, gamis, shalat, ngaji Qur’an, haji, umrah silakan, tapi ibu-ibu pakai Islam dalam sistem ekonomi, pendidikan, politik, no way tidak dalam sistem demokrasi,” jelasnya di hadapan para tokoh muslimah Depok.

 

Lebih lanjut ia pun menegaskan, ketika bicara demokrasi, faktanya hari ini kesenjangan antara elite penguasa dengan rakyat makin terlihat gapnya, kesenjangannya luar biasa. Ada yang punya mobil berderet, ada yang punya motor berderet sampai akhirnya dijarah.

 

Enggak peka banget ya. Udah tahu orang pada susah semua,  flexing di media massa memamerkan kakayaannya, gimana enggak marah. Walaupun upaya penjarahan itu haram dalam Islam, tapi kemarahan yang luar biasa dari rakyat itu bisa kita pahami,” jelasnya.

 

Massalah hari ini, ujarnya, terjadi bukan masalah personal sendiri, tapi ke sistem yang sudah rusak. Di luar sana, baik teman-teman, tetangga atau bahkan keluarga kita masih belum bisa melihat itu.

 

Jika diperhatikan di media massa, dipahami yang pemicunya mereka juga. Sebenarnya dari dulu saya sudah lihat videonya Krisdayanti yang bilang tunjangan anggota DPR itu take home pay sebulan itu dapat ratusan juta. Kenapa tidak marahnya dulu-dulu, kenapa sekarang. Nah itu dia karena puncak gunung es-nya, (kemarahan rakyat) kemarin,” bebernya.

 

Namun sayang, lanjutnya, banyak influencer atau tokoh-tokoh sekarang tidak ada yang bilang sistem demokrasilah sebagai biang masalah hari ini, dan itu sesuatu yang salah.  Itu terjadi  bukan pada satu dua orang saja.

 

Karena kita bicara kepemimpinan itu sudah berganti delapan kali presiden, tapi tidak terjadi perubahan bahkan makin parah. Artinya bukan masalah personal lagi,” ujarnya.

 

Ternyata, terangnya, dalam demokrasi itu ketika memilih wakil rakyat, wakil rakyat yang dipilih menjadi elite-elite politik dan merekalah yang akan menentukan kebijakan di negara ini. “Apakah kebijakannya itu mewakili rakyat?” tanyanya kepada para hadirin. “Kan kalau mewakili rakyat seharusnya BBM tidak usah naik kan. Kalau mewakili rakyat pengobatan gratis aja enggak usah mahal, BPJS tidak usah dinaikin dong....,” tegasnya.

 

Menurutnya, wakil rakyat membuat hukum hanya formalitas saja. Wakil rakyat itu membuat hukum, tapi hukumnya itu berpihak kepada oligarki bukan kepada rakyat. “Misal UU Ciptakerja, jutaan guru menolak melaui aksi besar-besaran, tapi tetap DPR mengesahkan. Kebijakan yang lain juga kita menolak semua, mahasiswa turun enggak ada didenger, dulu guru-guru besar memberi nasihat kepada Jokowi tidak didenger, sampai pada kesal para profesor,” pungkasnya.[Siti Aisyah]

 

Posting Komentar

0 Komentar