Shazia Alma
#TelaahUtama — Program
Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak awal 2025 dipuji sebagai terobosan, tapi
praktiknya menuai masalah. Reuters (19/09/2025) mencatat lebih dari 800
siswa keracunan setelah mengonsumsi makanan gratis sekolah di Garut dan
Banggai, sementara ratusan anak di Bengkulu juga sakit hingga dapur umum
ditutup sementara (Reuters, 02/09/2025). BPOM sendiri mengakui lemahnya
pengawasan distribusi sebagai pemicu (Reuters, 26/09/2025). Fakta ini
menegaskan rapuhnya desain program yang mestinya menyehatkan rakyat, tetapi
justru berpotensi membahayakan.
Fakta keracunan massal
dari program MBG menegaskan lemahnya manajemen pangan berbasis sistem sekuler.
Islam dengan kerangka fikih siyasah dan maqashid syariah
menghadirkan solusi struktural untuk menjamin gizi rakyat secara berkelanjutan.
Makanan bergizi adalah hak rakyat, bukan hadiah politik. Saat MBG terjebak
dalam persoalan teknis dan dana, Islam justru menghadirkan solusi menyeluruh:
jaminan gizi sebagai amanah negara demi melahirkan generasi kuat dan peradaban
tangguh.
Dalam Islam, pemenuhan
gizi rakyat bukan proyek politis melainkan amanah syariat. Al-Qur’an
memerintahkan: “Makanlah dari rezeki yang telah Allah berikan kepadamu, yang
halal lagi baik.” (Surah An-Nahl Ayat 114). Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir
al-Kabir menafsirkan kata thayyib bukan sekadar halal, melainkan
makanan yang menyehatkan, aman, dan bernilai gizi. Hal ini sejalan dengan maqashid
syariah yang mewajibkan negara menjaga jiwa (hifz an-nafs) dan akal
(hifz al-‘aql).
Dalam perspektif fikih
Islam, tanggung jawab pemimpin ditegaskan dalam hadis Nabi ﷺ, “Imam
(pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
rakyatnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Para fuqaha menjelaskan
bahwa kewajiban negara tidak hanya sebatas mengatur, tetapi juga menjamin
pemenuhan kebutuhan dasar. Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyyah
menegaskan tugas utama imam (kepala negara) adalah menjaga agama dan mengatur
dunia dengan agama, termasuk menjamin kemaslahatan primer seperti pangan.
Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam menekankan,
negara wajib memenuhi kebutuhan primer individu secara langsung bila ia tidak
mampu, melalui mekanisme baitulmal.
Ulama kontemporer seperti
Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya halalan thayyiban sebagai pilar
peradaban, sebab makanan yang baik melahirkan generasi kuat jasmani dan rohani.
Sementara itu, Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
menegaskan bahwa maqashid syariah menuntut negara menjamin kebutuhan
dasar setiap individu—terutama pangan—karena menjaga jiwa (hifz an-nafs)
adalah kewajiban daruriyyat (primer). Menurutnya, jika negara gagal
melaksanakan kewajiban ini, berarti ia lalai terhadap salah satu asas syariah
yang paling mendasar.
Maqashid syariah menempatkan pemenuhan
pangan sebagai kewajiban daruriyyat negara untuk menjaga jiwa (hifz
an-nafs) dan akal (hifz al-‘aql). Ia bukan sekadar strategi
pembangunan, melainkan amanah agama yang melekat pada fungsi kekuasaan. Imam
al-Ghazali dalam al-Mustashfa menegaskan bahwa maqashid daruriyyat
adalah fondasi seluruh syariat, dan negara yang mengabaikannya telah menyalahi
tugasnya. Dengan demikian, politik Islam memandang pemenuhan gizi sebagai
ibadah kolektif (fardu kifayah) yang ditanggung penuh negara, bukan sekadar
proyek politik atau diplomasi internasional.
Islam memiliki mekanisme
keuangan negara yang berdasarkan syarak. Pos baitulmal seperti zakat, kharaj,
jizyah, fai, dan ganimah digunakan untuk memastikan rakyat
terpenuhi kebutuhannya. Jika pos tersebut kosong, negara wajib mencari sumber
dari pos lain, bukan melempar beban pada rakyat melalui pajak konsumtif.
Prinsip ini ditegaskan oleh fuqaha Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa pengelolaan
harta umum (al-amwal al-‘ammah) harus untuk kemaslahatan umat, tidak
boleh diprivatisasi.
Distribusi pun diatur
dengan fikih zakat dan wakaf. Zakat fitrah diwajibkan dalam bentuk makanan
pokok untuk fakir miskin, yang berarti sejak awal syariat memastikan kelompok
lemah tidak kekurangan gizi. Wakaf makanan dan lumbung-lumbung publik pernah berkembang
pada masa Abbasiyah dan Ottoman sebagai cadangan pangan negara. Dengan basis
fikih ini, jaminan pangan dalam Islam bukan sekadar kebijakan sosial, tetapi
kewajiban syariat yang memiliki perangkat hukum jelas.
Sejarah mencatat
keberhasilan implementasi hukum ini. Umar bin Khattab memastikan cadangan
gandum negara disalurkan ke rakyat pada masa paceklik, bahkan beliau sendiri
turun mengantarkan bahan makanan. Umar bin Abdul Aziz mengoptimalkan zakat dan kharaj
hingga hampir tidak ditemukan penerima zakat di Afrika Utara. Ibn Khaldun dalam
Muqaddimah menulis, ketahanan pangan adalah fondasi keberlangsungan
negara dan ketidakmampuan menjaminnya akan menghancurkan peradaban.
Dengan demikian, solusi
Islam jauh lebih kokoh dibanding program MBG yang rawan salah kelola. Fikih siyasah
menetapkan bahwa pemimpin adalah penjamin kebutuhan rakyat, fikih iqtishadiyah
menetapkan mekanisme pembiayaan dan distribusi melalui baitulmal, dan maqashid
syariah memastikan semua itu berjalan demi melindungi jiwa serta akal
manusia. Maka, pemenuhan gizi dalam Islam bukan proyek sesaat, tetapi sistem
permanen yang menegakkan politik sebagai ibadah dan amanah. Dari sistem inilah
lahir generasi sehat, kuat, dan berperadaban—bukan sekadar hasil dari janji
politik. Wallahualam.[]
0 Komentar