Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Program andalan Prabowo–Gibran, Makan Bergizi Gratis (MBG), menuai keresahan masyarakat lantaran per akhir September 2025 telah menimbulkan setidaknya 6.452 kasus keracunan makanan di berbagai daerah. Sekitar 5.000 anak didik di antaranya merasakan gejala seperti diare, muntah, gatal-gatal serta sesak napas. Diketahui Jawa Barat menjadi provinsi dengan temuan kasus tertinggi yakni sebanyak 2.012 kasus, disusul oleh DIY sebanyak 1.047 kasus dan Jawa Tengah di angka 722 kasus (tugumalang.id, 28/09/2025).
Meski tengah ditimpa insiden keracunan makanan di berbagai wilayah, hingga kini pihak pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan akan terus menjalankan program MBG. Presiden Prabowo sendiri menyatakan dirinya akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait di lapangan untuk memperbaiki tata kelola MBG agar kasus keracunan makanan pada peserta didik tidak lagi terjadi (detik.com, 27/09/2025). Dalam hal ini Prabowo kembali mengingatkan masyarakat akan tujuan ‘mulia’ MBG, yaitu memberi makan anak-anak Indonesia.
Kasus keracunan makanan dalam program MBG yang tersebar di berbagai titik menjadi tanda bahwa persoalan tersebut terjadi secara sistemik. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyebut lemahnya pengawasan di dapur-dapur penyedia makanan sebagai penyebab utama insiden tersebut (reuters.com, 26/09/2025). Beberapa dapur bahkan segera ditutup setelah ditemukan adanya kontaminasi bakteri semacam Salmonella, E. coli, Stapylococcus aereus, Bacillus subtilis, Bacilius cereus hingga jamur Candida tropicalis. Kondisi semacam ini menunjukkan betapa berbahayanya menjalankan program skala besar tanpa sistem kontrol yang matang.
Tidak hanya isu keracunan, program MBG kian menjadi sorotan akan kualitas dari gizi makanan yang disajikan. Para ahli gizi mengkritik penggunaan bahan makanan ultra-proses semisal nugget dan sosis olahan yang tentu saja tidak ideal untuk konsumsi jangka panjang. Dokter dan ahli gizi, Tan Shot Yen, bahkan melempar kritikan pedas terkait menu burger, spageti hingga minuman berperasa susu yang diklaim oleh BGN tersedia karena permintaan anak-anak (detik.com, 26/09/2025). Hadirnya menu-menu tersebut dinilai Tan sudah melenceng dari tujuan awal MBG, yaitu menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak negeri.
Dalam meredam amarah rakyat atas polemik MBG, sayangnya pemerintah justru tampak berusaha mencari ‘jalan pintas’. Pemerintah senantiasa mengingatkan masyarakat bahwa kasus keracunan di MBG bukanlah termasuk Kejadian Luar Biasa (KLB). Angka kasus pun disebut-sebut tidak sampai menembus 1%. Pemerintah tampak nyata ingin mengemas masalah ini sebagai hal sepele. Padahal di balik angka statistik yang tertera, ada ribuan anak-anak negeri ini yang terancam nyawanya.
Tidak hanya itu, pemerintah juga terlihat melemparkan tanggung jawab kepada para pendidik. Salah seorang guru SMPN 1 Rambah, Andrimar, menyebut para guru diperlakukan layaknya ‘budak program’. Para guru kini tidak hanya dipusingkan dengan program kegiatan belajar-mengajar tetapi juga harus membagikan makanan, mengumpulkan rantang bahkan tidak jarang harus mengganti rantang yang hilang (cakaplah.com, 28/09/2025).
Memasuki 2026, proporsi anggaran MBG diprediksi akan melonjak drastis. Pemerintah disebut akan menyiapkan sekitar Rp335 triliun guna melayani 82,9 juta pelajar. Celakanya dari komposisi anggaran tersebut sekitar Rp223,6 triliun justru diambil dari anggaran pendidikan dan sisanya dialihkan dari fungsi ekonomi, kesehatan, dan pagu cadangan (kompas.com, 24/09/2025).
Pembiayaan MBG yang begitu fantastis wajar saja memunculkan ekspektasi tinggi. Ketika dana yang digelontorkan begitu deras, sudah sepatutnya sistem kontrolnya pun kuat. Namun sayangnya, yang justru terjadi adalah banyaknya dapur MBG yang belum memenuhi standar baik dari sisi higienitas, sanitasi maupun pengendalian suhu. Kontaminasi bahan baku disertai dengan sistem penyimpanan makanan yang buruk menyebabkan kasus temuan makanan basi kian banyak terjadi. Bahkan ditemukan adanya kasus dapur yang menyetok daging segar yang baru diolah beberapa hari kemudian. Terlebih adanya distribusi panjang tanpa pengaturan sistem suhu meningkatkan potensi bahaya keracunan makanan.
Sedari awal program MBG memang banyak menuai kritikan tajam terkait transparansi pelaksanaannya. Terlihat jelas bagaimana sistem yang dijalankan MBG hingga kini belum akuntabel, tidak transparan dan orang-orang yang terlibat masih belum kredibel. Celakanya mayoritas dapur penyedia makanan belum didampingi sepenuhnya oleh ahli gizi dan tim audit yang mumpuni. MBG yang diklaim akan dapat memenuhi gizi anak bangsa justru menjadi program ‘horror’ yang berpotensi membunuh anak-anak kita.
Terlibatnya dana besar dalam program MBG sayangnya membuka peluang korupsi dan bancakan lebih besar. Wakil kepala BGN, Nanik S. Deyang, sempat menyebut adanya politikus yang meminta jatah proyek menggarap dapur penyedia makanan (cnnindonesia.com, 27/09/2025). Bahkan jika kita kaji bahaya korupsi sistemik dalam program MBG yang mencakup 82,9 juta orang pada 2026 berpotensi memperparah defisit anggaran pada pagu APBN tahun depan. Bahkan tidak mustahil melebihi batas maksimal 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dana yang digunakan dalam MBG tidak lain adalah dana hasil dari keringat rakyat. Guna memenuhi ambisi suksesnya program populis MBG, pemerintah tidak segan melakukan efisiensi anggaran yang celakanya berimbas pula di sektor-sektor penting seperti sektor kesehatan dan pendidikan. Tidak cukup memangkas dana rakyat, pemerintah juga menaikkan target penerimaan melalui sektor pajak dan memberlakukan kenaikan besaran pajak semisal PPN dan PBB-P2. Kebijakan-kebijakan antirakyat tersebut ironisnya diberlakukan tatkala rakyat negeri ini tengah menghadapi himpitan ekonomi luar biasa.
Sekalipun program MBG menyerap dana fantastis, mirisnya program tersebut sama sekali tidak menyentuh akar masalah stunting ataupun penyediaan gizi bagi anak-anak bangsa. Isu stunting yang sejak awal digaung-gaungkan pemerintahan Prabowo justru tidak terjamah sama sekali. Pasalnya, permasalahan stunting seharusnya dicegah sedari ibu hamil, bukan dengan memberi makan anak usia sekolah. Di sisi lain, tidak kita mungkiri bahwa tidak semua anak sekolah bangsa ini membutuhkan bantuan makanan, khususnya di wilayah-wilayah perkotaan. Seharusnya MBG difokuskan terlebih dahulu bagi wilayah-wilayah yang membutuhkan terutama wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Sedangkan akar masalah baik stunting maupun penyediaan gizi rakyat adalah kemiskinan sistemik yang menjangkiti negeri ini. Program MBG yang katanya membantu menggerakkan perekonomian rakyat justru berkontribusi dalam pengokohan kemiskinan struktural yang terjadi di Indonesia. Pemangkasan subsidi rakyat disertai peningkatan besaran pajak guna memenuhi pembiayaan MBG, menjadikan akses pangan bergizi kian sulit dijangkau masyarakat. Apalagi dengan kian turunnya daya beli masyarakat membuat angan-angan besar bangsa dalam mewujudkan generasi berkualitas makin sulit terwujud.
Polemik yang menyelimuti program MBG pada akhirnya menimbulkan banyak tanda tanya, “Haruskah program MBG dipertahankan?” Program populis yang tidak sedikit memberi harapan bagi rakyat kecil sayangnya belum benar-benar bisa membawa bangsa ini kepada kesejahteraan. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar