Shazia Alma
#TelaahUtama — Kasus viral di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten—ketika kepala sekolah menampar siswa hingga ratusan pelajar mogok belajar (detik.com, 02/10 /2025; tirto.id, 03/10/2025)—adalah potret nyata rusaknya orientasi pendidikan nasional. Negara menanggapinya dengan sanksi administratif, tapi gagal menjawab akar masalah: sistem pendidikan Indonesia berdiri di atas pondasi sekularisme, yang memisahkan ilmu dari iman dan moral dari adab.
Tragedi ini bukan sekadar konflik personal antara guru dan siswa, melainkan manifestasi dari kegagalan sistemik. Pendidikan telah direduksi menjadi instrumen ekonomi, guru menjadi operator kurikulum, dan siswa dijadikan objek penilaian tanpa ruh spiritual. Dalam sistem sekuler, tujuan pendidikan bukan lagi membentuk manusia yang mengenal Allah, tetapi manusia yang kompetitif di pasar tenaga kerja. Akibatnya, lahir generasi cerdas tanpa arah, berilmu tanpa adab, dan berprestasi tanpa makna.
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Secularism (1978) menyebut kondisi ini sebagai “the loss of adab”—hilangnya kesadaran akan tempat yang tepat bagi manusia, ilmu, dan Tuhan. Ketika ilmu tercerabut dari akar tauhid, ia kehilangan orientasi moral. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa ilmu tanpa tazkiyah (penyucian jiwa) hanya akan melahirkan keangkuhan intelektual, bukan kemuliaan akhlak. Maka, pendidikan sekuler sejatinya adalah proses dehumanisasi yang halus: ia memutus hubungan manusia dengan Penciptanya.
Islam politik hadir untuk menegakkan kembali keterpaduan antara iman, ilmu, dan amal dalam sistem pendidikan. Dalam pandangan ini, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari struktur kekuasaan dan ideologi negara. Sebagaimana ditegaskan Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Islam (1953), setiap sistem pendidikan lahir dari pandangan hidup yang menjadi dasar negara. Bila ideologinya sekuler, maka arah pendidikan pun sekuler. Bila ideologinya Islam, maka pendidikan akan diarahkan untuk membentuk manusia beriman dan bertakwa, bukan sekadar terampil dan produktif.
Inilah mengapa solusi pendidikan tidak bisa dicapai melalui reformasi parsial, seperti revisi kurikulum, pelatihan guru, atau pendidikan karakter yang dilepaskan dari basis ideologi Islam. Upaya itu hanya menambal luka di permukaan, sementara akar penyakit—yakni sekularisme negara—dibiarkan hidup. Islam politik justru menawarkan solusi struktural: menjadikan akidah Islam sebagai asas seluruh sistem kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam kerangka itu, negara memiliki tanggung jawab penuh sebagai murabbi al-ummah, pembimbing umat dalam membentuk kepribadian Islam yang kokoh.
Sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang berlandaskan akidah melahirkan peradaban gemilang. Pada masa Abbasiyah, Bait al-Hikmah bukan hanya pusat ilmu, tetapi juga simbol keterpaduan antara wahyu dan akal (Ibn al-Nadim, Al-Fihrist). Para ilmuwan seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina memandang ilmu sebagai jalan menuju ma’rifatullah. Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah (1377) menegaskan bahwa pendidikan harus membentuk ‘aqliyyah (pola pikir) dan nafsiyyah (pola sikap) yang berlandaskan syariat. Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam adalah proses ideologis: membentuk manusia yang berpikir dan berperilaku berdasarkan akidah Islam.
Negara dalam sistem Islam diwajibkan menjamin pendidikan yang mengantarkan umat kepada kemuliaan dunia dan akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam adalah pemelihara dan penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Dalam praktik Kekhilafahan, negara menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menugaskan baitulmal untuk membiayai guru dan pelajar di berbagai wilayah (Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj). Negara bukan hanya penyedia dana, tetapi penjamin arah ideologis pendidikan agar tetap selaras dengan nilai Islam.
Konsep ini berbeda total dengan model sekuler yang dianut sistem pendidikan hari ini. Negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pendidik. Pendidikan dijalankan atas dasar asas netral agama, padahal “netralitas” itu sendiri adalah bentuk ideologisasi sekularisme. Kurikulum berganti sesuai arah politik penguasa, bukan nilai wahyu. Guru tidak lagi dianggap murabbi, melainkan pegawai administratif yang diukur dari angka kredit dan indikator kinerja. Pendidikan kehilangan makna karena negara kehilangan ideologi.
Di sinilah pentingnya Islam politik sebagai paradigma penyelamat. Islam bukan hanya agama moral, tetapi sistem politik dan peradaban yang mengatur kehidupan secara komprehensif. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sultaniyyah menegaskan bahwa kekuasaan adalah sarana menegakkan agama dan mengatur urusan dunia dengan syariat. Maka, pendidikan yang islami tidak mungkin tumbuh sempurna dalam sistem sekuler, karena nilai dan hukum yang mendasarinya berbeda. Sekularisme menjadikan manusia pusat segalanya; Islam menjadikan Allah pusat segalanya.
Al-Qur’an menegaskan, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Surah Al-Anbiya Ayat 107) Ayat ini menunjukkan bahwa Islam adalah sistem rahmatan lil ‘alamin, termasuk dalam bidang pendidikan. Ketika negara menjadikan Islam sebagai asasnya, pendidikan akan kembali berfungsi menanamkan tauhid, membentuk karakter rabbani, dan melahirkan generasi pemimpin peradaban.
Tragedi Cimarga hanyalah gejala kecil dari penyakit besar yang bernama sekularisme. Reformasi pendidikan tidak akan berarti tanpa perubahan sistem. Islam politik bukan ancaman, melainkan satu-satunya jalan untuk membangun pendidikan yang beradab, berorientasi tauhid, dan berpihak pada kemanusiaan sejati. Sudah saatnya negara berhenti menambal kebocoran di permukaan dan kembali kepada akar peradaban Islam yang memuliakan ilmu sebagai cahaya, bukan komoditas. Hanya dengan Islam sebagai sistem kehidupan, pendidikan akan kembali menjadi jalan menuju kebahagiaan hakiki—dunia dan akhirat. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar