Proyek Whoosh: Utang Penguasa–Pengusaha dan Dampaknya terhadap Rakyat

 



 

Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Polemik proyek kereta cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh yang digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menjadi cermin hubungan erat antara kekuasaan politik dan kekuatan modal dalam sistem ekonomi sekuler-kapitalistik Indonesia. Proyek yang menelan biaya hingga Rp116 triliun (Jurnalnews.id, 2025) dan dibiayai lewat pinjaman dari China Development Bank ini menimbulkan kekhawatiran akan beban utang jangka panjang bagi negara. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyoroti minimnya transparansi kontrak Indonesia–Tiongkok, sementara Erick Thohir selaku Menteri BUMN mengakui perlunya penyelidikan atas dugaan pembengkakan biaya proyek (Harian Merapi, 2025; Jakarta Daily, 2025).

 

Kekuatan elite penguasa sebagai pembuat kebijakan dan pengusaha dalam circle kekuasaan sebagai 'pelaksana', makin nyata membuat rakyat 'terpaksa' memosisikan diri sebagai debitur pasif yang harus menanggung beban utang. Pasalnya, dalih efisiensi anggaran, pengurangan subsidi, hingga kemungkinan penarikan pajak yang makin mencekik akan dianggap sebagai solusi. Terlebih karena wacana pelimpahan tanggung jawab kepada Danantara sebagai debitur, terlalu prematur untuk dipercayai rakyat.

 

Dalam perspektif Islam politik (siyasah syar‘iyyah), persoalan ini bukan sekadar teknis ekonomi, tetapi menyentuh inti konsep kekuasaan: amanah. Islam menegaskan bahwa kekuasaan adalah tanggung jawab dari Allah untuk mengurus kepentingan umat (ri‘ayah syu’un al-ummah), bukan untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (Surah An-Nisā’ Ayat 58)

 

Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Dalam pandangan ini, proyek publik seperti Whoosh seharusnya diorientasikan kepada maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum), bukan kepentingan korporasi atau elite penguasa.

 

Sejarah Islam pada masa Kekhilafahan memberi contoh konkret bagaimana hubungan penguasa–pengusaha diatur secara ketat agar tidak menimbulkan ketimpangan dan penindasan. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, negara mendirikan baitulmal sebagai lembaga keuangan publik yang menampung hasil sumber daya alam, zakat, dan kharaj, yang kemudian didistribusikan langsung kepada rakyat tanpa perantara swasta.

 

Umar melarang keras pejabatnya berbisnis selama menjabat, sebagaimana dicatat dalam Tarikh al-Khulafa’ karya Imam as-Suyuthi, karena khawatir penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Ini menunjukkan pemisahan tegas antara fungsi politik (pelayanan publik) dan kepentingan ekonomi individu.

 

Prinsip itu berbanding terbalik dengan praktik modern dalam sistem kapitalisme sekuler. Studi Cambridge Journal of Business and Politics (2022) mengungkapkan bahwa dalam ekonomi kapitalisme negara (state capitalism), pemerintah dan pengusaha membentuk kemitraan berbasis “aligned interests”, bukan kepentingan sosial. Fenomena ini tampak di Indonesia, ketika proyek besar seperti Whoosh dikerjakan melalui skema BUMN dan konsorsium asing yang didorong oleh motif keuntungan, bukan pemerataan manfaat. Akibatnya, seperti ditulis The Diplomat (2025), proyek tersebut menciptakan “debt dilemma”—beban utang yang mengancam stabilitas keuangan negara.

 

Dalam konteks teori politik Islam kontemporer, Abul A’la al-Maududi dalam Islamic Law and Constitution menekankan bahwa negara Islam bukanlah institusi bisnis, tetapi pelaksana hukum Allah untuk menjamin keadilan sosial. Islam menolak konsep negara modern yang bergantung pada kapital asing, karena hal itu melahirkan “neo-kolonialisme ekonomi”. Pemikir lain, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam menjelaskan bahwa sumber daya strategis seperti energi, transportasi, dan tambang termasuk dalam milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum) yang wajib dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan dijadikan objek komersialisasi atau proyek utang luar negeri.

 

Dampak dari hubungan penguasa–pengusaha yang kapitalistik dari proyek Whoosh sangat terasa di tengah masyarakat. Pertama, ketimpangan ekonomi meningkat karena akses terhadap proyek strategis hanya dinikmati oleh korporasi besar dan elite politik. Kajian Journal of Political Sociology (2023) menegaskan bahwa ketika perusahaan besar mendapat perlindungan negara, kebijakan publik cenderung disesuaikan untuk menjaga kepentingan mereka. Kedua, beban publik meningkat akibat utang dan subsidi proyek. PT Wijaya Karya (WIKA) sebagai salah satu BUMN yang terlibat bahkan melaporkan kerugian besar dan mengaitkannya dengan biaya proyek Whoosh (Kontan.co.id, 2025), yang secara tidak langsung akan berdampak pada APBN dan rakyat. Ketiga, transparansi berkurang. Dugaan kolusi pengadaan kereta (EMU) yang diselidiki KPK (Bisnis.com, 2024) memperlihatkan lemahnya kontrol publik.

 

Keempat, ketergantungan eksternal meningkat. Sebagian besar pembiayaan proyek Whoosh (75%) berasal dari pinjaman luar negeri berbunga melalui China Development Bank (Kumparan Bisnis, 2024). Dalam Islam, utang ribawi semacam ini haram dan bertentangan dengan prinsip istiqlāl (kemandirian). Allah Swt. berfirman, “Dan Allah tidak akan memberi jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (Surah An-Nisā’ Ayat 141)

 

Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem sekuler–kapitalisme menciptakan ketergantungan politik–ekonomi yang bertentangan dengan asas kedaulatan Islam. Pemikir kontemporer Dr. Yusuf al-Qaradawi menulis dalam Fiqh al-Daulah fi al-Islam bahwa negara Islam tidak boleh menundukkan kebijakan ekonominya kepada kepentingan asing, karena kedaulatan politik dan ekonomi adalah satu kesatuan dalam penerapan syariat. Ketika negara bergantung pada utang luar negeri dan modal asing, maka sesungguhnya ia telah kehilangan kebebasan politiknya.

 

Dalam sejarah, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menunjukkan teladan pemerintahan yang membebaskan rakyat dari beban pajak berlebih dan menolak utang luar negeri. Ia menolak bantuan dari Romawi Timur karena khawatir hal itu mengurangi martabat umat Islam (Ibn al-Jawzi, Sifat ash-Shafwah). Prinsip inilah yang semestinya menjadi acuan penguasa muslim modern: kemandirian ekonomi sebagai bentuk ketundukan kepada Allah, bukan kepada kekuatan kapital global.

 

Sementara itu, Sayyid Qutb dalam Ma’alim fi al-Thariq menilai bahwa sistem kapitalisme sekuler telah mengubah hubungan penguasa dan rakyat menjadi relasi materialistik— penguasa menjadi perpanjangan tangan kepentingan ekonomi, bukan pelindung umat. Qutb menulis bahwa selama sistem pemerintahan tidak berdiri atas dasar akidah Islam, maka hukum yang lahir hanyalah alat bagi yang berkuasa. Pernyataan ini sangat relevan dengan kondisi di mana negara modern menjadi fasilitator investasi, bukan pelindung rakyat dari eksploitasi ekonomi.

 

Islam menawarkan solusi sistemik terhadap hubungan penguasa–pengusaha yang timpang ini. Negara Islam (Khilafah) sebagaimana dijalankan oleh para khalifah terdahulu menegakkan sistem keuangan yang bersumber dari baitulmal tanpa bergantung pada utang ribawi.

 

Pengeluaran untuk infrastruktur publik diambil dari harta milik umum seperti tambang, air, dan energi, sesuai sabda Nabi ﷺ, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (Hadis Riwayat Abu Dawud). Negara bertindak sebagai pengelola amanah, bukan mitra bisnis kapital.

 

Selain itu, dalam sistem hisbah, masyarakat berhak melakukan pengawasan langsung terhadap penguasa dan pejabat yang berpotensi bersekongkol dengan pengusaha. Lembaga qadhi mazhalim dalam pemerintahan Islam berfungsi menindak kezaliman penguasa terhadap rakyat, termasuk dalam kasus penyalahgunaan kekuasaan ekonomi. Dengan mekanisme ini, politik ekonomi Islam menutup celah kolusi kekuasaan dan kapital.

 

Dalam kerangka ini, proyek seperti Whoosh seharusnya dikelola dengan prinsip kemaslahatan publik dan transparansi penuh, bukan sebagai proyek profit atau diplomasi ekonomi. Pembangunan dalam Islam bukan sekadar simbol kemajuan fisik, melainkan sarana menegakkan ‘adl (keadilan) dan maslahah ‘ammah.

 

Dengan demikian, polemik Whoosh memperlihatkan kegagalan sistem kapitalisme sekuler dalam menegakkan keadilan publik. Relasi penguasa–pengusaha yang berlandaskan kepentingan kapital menghasilkan ketimpangan, utang, dan hilangnya kedaulatan rakyat. Islam politik menawarkan paradigma berbeda: kekuasaan sebagai amanah, ekonomi sebagai instrumen kesejahteraan, dan pembangunan sebagai wujud ibadah kepada Allah. Sebagaimana ditulis oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah, bahwa penguasa sejati adalah yang menegakkan agama, menjaga dunia dengan keadilan, dan melindungi rakyat dari kezaliman.

 

Inilah esensi siyasah syar‘iyyah—bahwa politik dalam Islam bukanlah alat kekuasaan, melainkan sarana ibadah paripurna untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat. Wallahualam bissawab.[]

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar