Betapa Jahatnya Jebakan Utang Jumbo Whoosh

 



 

Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Kisruh pembayaran utang Whoosh senilai triliunan rupiah masih terus bergulir. Pihak pemerintah tampak melempar bola panas kepada pihak Danantara selaku pengelola dividen BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Polemik tersebut bermula dari pernyataan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang secara tegas menolak pembayaraan utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) menggunakan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Purbaya menyebut utang proyek Whoosh seharusnya dibayarkan dari kas Danantara (bisnis.com, 15/10/2025). 

 

Menanggapi hal tersebut, CEO Danantara Rosan Roeslani menyatakan pihaknya masih harus melakukan evaluasi internal guna menentukan opsi skema pembayaran utang. Rosan juga menilai pembiayaan megaproyek infrastruktur semisal KCJB seharusnya melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga. COO Danantara, Dony Oskaria sebelumnya sempat menyebut 2 (dua) opsi dalam penyelesaian utang Whoosh; penambahan modal (equity) proyek, atau penyerahan infrastruktur secara menyeluruh kepada pemerintah termasuk dari sisi utang (tempo.co, 14/10/2025). 

 

Kedua opsi yang sempat ditawarkan Danantara kemudian ditolak mentah-mentah oleh Purbaya. Ia menilai selama ini Danantara yang ‘mewarisi’ keuntungan operasional Whoosh, sedangkan pemerintah malah harus menanggung utang. Purbaya menambahkan bahwa Danantara selaku lembaga pengelola BUMN menerima setidaknya Rp80 triliun dividen tiap tahunnya. Dari sini, Menkeu menyebut bunga utang Whoosh senilai Rp2 triliun per tahun sudah sepantasnya ditanggung Danantara (cnnindonesia.com, 14/10/2025).

 

Proyek KCJB dibangun dengan nilai investasi fantastis yakni senilai US$7,2 miliar atau setara dengan Rp118,54 triliun. Megaproyek tersebut pun tidak bisa berkelit dari cost overrun (pembengkakan biaya) dengan perhitungan awal proyek senilai US$5,5 miliar (Rp89,6 triliun) kemudian naik lebih dari US$1 miliar. Biaya pembangunan membengkak seiring dengan ‘molornya’ pengerjaan proyek hingga 5 (lima) tahun lamanya terutama karena polemik pembebasan lahan. Walhasil, berdasarkan hasil audit internal di tahun 2021, nilai proyek meningkat tajam terutama disebabkan oleh perubahan design, permasalahan teknis di lapangan dan harga material (fortuneidn.com, 22/10/2025). 

 

Di awal kesepakatan, skema pembiayaan proyek Whoosh ditetapkan dengan komposisi 75% berupa pinjaman dari China Development Bank (CDB) dan sisanya dari ekuitas para pemegang saham. Skema kepemilikan (pemegang saham) KCJB sendiri PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) yang terdiri atas 60% konsorsium Indonesia yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan 40% konsorsium China yaitu Beijing Yawan HSR Co Ltd. Sedangkan pembengkakan utang yang mencapai US$1,2 miliar ditutup 75% diantaranya melalui pinjaman baru dari CDB dan sisanya berasal dari tambahan ekuitas KCIC.

 

Bunga utang jumbo proyek Whoosh berasal dari beban bunga 2% per tahun untuk investasi awal dan bunga 3,4% per tahun untuk utang terkait cost overrun yang mencapai US$120,9 juta atau sekitar Rp2 triliun. Beban utang sebesar itu ironisnya masih lebih tinggi dari pendapatan Whoosh. Sebagai contoh di tahun 2024, Whoosh hanya berhasil menjual 6,06 juta tiket. Jika kita asumsikan besaran harga tiket rata-rata Rp250.000 maka total pendapatan kotor proyek KCJB hanya berada di angka Rp1,5 triliun. Angka tersebut masih harus dipotong biaya perawatan, operasional, dan biaya pegawai. Pada akhirnya, pihak KCIC terus merugi karena harus pusing tujuh keliling membayar cicilan utang. Dari sini, Danantara melakukan kesepakatan restrukturisasi utang Whoosh dengan pihak China dan memperpanjang tenor utang dari 40 tahun menjadi 60 tahun (cnbcindonesia.com, 24/10/2025).

 

Jelas tidak berlebihan jika kita menilai utang proyek KCJB yang mencapai angka Rp118 triliun (belum termasuk bunga) ibarat “bom waktu” bagi keuangan Indonesia. Lebih dari itu, megaproyek infrastruktur Whoosh telah secara nyata menunjukkan kegagalan perencanaan pembangunan kronis. Perencanaan  proyek-proyek infrastruktur negeri ini acap kali tidak didasarkan pada kajian komprehensif dan cenderung dibuat sesuai dengan keinginan oligarki. Kecenderungan ini tampak jelas tidak hanya pada proyek Whoosh tetapi juga pada megaproyek lainnya semisal IKN (Ibu Kota Negara) dan pembangunan bandara Kertajati. Dampaknya, dana rakyat yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur layanan dasar justru tersedot oleh proyek-proyek elite.

 

Padahal, hingga kuartal II–2025 utang pemerintah pusat telah mencapai Rp9.138,05 triliun. Belum selesai urusan pembayaran bunga utang yang kian menggunung, Presiden Prabowo berencana menambah utang sebesar Rp781,9 triliun untuk 2026 (cnnindonesia.com, 18/08/2025). Lalu, dari mana negara mampu membayar utang bernilai fantastis tersebut beserta bunganya? Tentu saja cara termudah dan menjadi ciri khas sistem ekonomi kapitalis adalah dengan menjadikan rakyat sebagai sapi perah melalui peningkatan jumlah penerimaan pajak.   

 

Pemerintahan sebelumnya sempat beralasan bahwa pembangunan infrastruktur melalui megaproyek semisal Whoosh dilakukan tidak lain untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, menaikkan jumlah lapangan kerja hingga mempercepat pembangunan sektor konektivitas. Namun, praktik di lapangan justru berkata sebaliknya. Dalam proyek KCJB misalnya, sekalipun saham Indonesia lebih besar, posisi-posisi penting justru banyak diisi dari pihak Tiongkok, seperti jabatan presiden komisaris, direktur keuangan hingga direktur urusan teknis. Bahkan bahan material teknis dan tenaga ahli harus diimpor dari China dengan dalih ‘quality control’ (posmonews.com, 23/10/2025). 

 

Di sisi lain, pembangunan sektor konektivitas negara juga tidak banyak mengalami kemajuan karena sesungguhnya rute Jakarta–Bandung sudah memiliki banyak mode transportasi alternatif. Apalagi jika kita bicara tentang pertumbuhan ekonomi, alih-alih membantu proyek Whoosh justru memaksa Indonesia untuk terus ‘nombok’. Oleh karenanya, jelas bahwa sedari awal pihak Indonesia tidak mendapatkan keuntungan berarti dari pembangunan Whoosh selain diwajibkan melunasi utang yang menggunung. 

 

Seharusnya Indonesia sedari awal mewaspadai jebakan utang (debt trap) Negeri Tirai Bambu. Pinjaman asing terutama asal China bersifat predatory landing yang secara sistematis dirancang untuk kepentingan Tiongkok. Hal tersebut dilakukan melalui kontrak buram disertai dengan korupsi lokal yang memuluskan jalan China untuk memasang jebakan utang. Celakanya debt trap bukanlah jebakan biasa, melainkan salah satu upaya China dalam merusak kedaulatan negara pengutang.

 

Sebut saja Sri Lanka yang harus kehilangan pelabuhan Hambantota selama 99 tahun karena menderita gagal bayar. Mirip dengan kondisi Indonesia saat ini, Sri Lanka tidak mampu membayar cicilan utang karena cost overrun. Selain itu, Pakistan juga terjebak utang senilai US$30 miliar dalam proyek CPEC yang pada akhirnya dinyatakan tidak feasible dan terlalu mahal. Kondisi tersebut kemudian membuka akses China untuk mengontrol aset strategis negara pengutang.

 

Apa yang terjadi pada Sri Lanka dan Pakistan, sangat mungkin menimpa Indonesia di kemudian hari. Perlu diingat bahwa hingga detik ini, Indonesia tengah bersengketa dengan China terkait kedaulatan wilayah di perairan Natuna. Posisi Natuna cukup strategis bagi Tiongkok demi memuluskan ambisi Belt and Road Initiative (BRI) miliknya. Kondisi Indonesia yang tengah berutang triliunan kepada pihak China memudahkan Beijing untuk melakukan negosiasi ulang terkait Natuna dan menekan Indonesia.

 

Lebih dari itu, polemik Whoosh kian menunjukkan wajah para penguasa dalam sistem sekuler–kapitalisme yang tidak memiliki visi besar dalam mengurusi rakyatnya. Proyek pembangunan hanya dilihat sebagai urusan hitung dagang dengan orientasi kemaslahatan para oligarki. Megaproyek infrastruktur pada akhirnya tidak lebih dari sekadar ‘bancakan’ para elite politik guna melanggengkan kekuasaannya melalui pembentukan citra pembangunan. Lebih jahat lagi, para penguasa tega bersekongkol dengan asing dalam merampok aset bangsa.

 

Oleh karenanya, jelas bahwa pengambilan utang luar negeri dengan dalih pembangunan infrastruktur tidak benar-benar bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Penggenjotan pembangunan tanpa perencanaan matang dan hanya bermodal investasi asing, justru menjatuhkan bangsa ini dalam kubangan utang yang tidak ada habisnya. Padahal Allah Swt. secara gamblang menggambarkan betapa mengerikannya bahaya riba sebagaimana dalam Firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit gila.” (Surah Al-Baqarah Ayat 275)

Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar