#Reportase — Puluhan peserta dari kalangan mahasiswa dan
pelajar se-Jakarta berkumpul dalam acara bertajuk “Bedah Film: Idiocracy”, pada 01 November 2025. Kegiatan ini menjadi ajang refleksi bagi
generasi muda, khususnya Gen Z, untuk menelaah arah pemikiran manusia di tengah
pesatnya perkembangan teknologi. Antusiasme peserta terlihat sejak awal hingga
akhir acara yang dikemas dalam suasana santai tapi sarat makna.
Film Komedi yang Menyindir
Realitas
Film Idiocracy menceritakan tentang kondisi masa depan manusia, ketika
kecerdasan digantikan oleh kebodohan massal akibat kemalasan berpikir masyarakat modern dan ketergantungan pada teknologi. Hal tersebut disampaikan oleh Fayreza Aulia sebagai narasumber pertama.
“Film ini memang bernuansa komedi, tapi
pesan yang dibawa sangat filosofis. Ia menggambarkan masyarakat yang kehilangan
akal sehat dan daya kritis. Ironisnya, kondisi itu kini mulai terlihat nyata,
termasuk di Indonesia,” ujar Fayreza.
Menurutnya, ketika film
ini rilis pada tahun 2005, banyak yang menganggapnya lelucon. Namun, dua dekade
kemudian, potret masyarakat dalam film tersebut perlahan menjadi kenyataan. Ia
menyinggung bagaimana masyarakat makin konsumtif, malas membaca, dan
mengandalkan teknologi untuk hal-hal sepele.
“Indonesia saat ini berada di peringkat 130 dunia dalam tingkat IQ,
dengan rata-rata 78,49. Angka ini mendekati ambang batas keterbelakangan
mental, bahkan hanya sedikit di atas IQ gorila yang berkisar 70–90,”
ujarnya.
Fayreza yang aktif di PK HIMI STAIPI,
Jakarta,
menilai bahwa penurunan kemampuan
berpikir ini merupakan akibat dari generasi yang menomorduakan pendidikan. “Kita lebih senang berselancar di media
sosial daripada membaca. Fenomena seperti doom scrolling, budaya viral,
konsumerisme, dan hedonisme membuat manusia kehilangan arah berpikir,”
tambahnya.
Teknologi: Membantu atau
Membodohkan?
Sedangkan narasumber kedua, Nisa Ulfatonah, Founder Komunitas Mau Bener Bareng menekankan pembahasan dengan menyoroti pesan utama film. Ia
menjelaskan bahwa tokoh utama film, seorang tentara bernama Joe Bauers,
diceritakan memiliki IQ rata-rata. Namun, setelah ia dibekukan dan terbangun
500 tahun kemudian, Joe justru menjadi manusia paling cerdas di dunia karena
masyarakat di masa depan telah mengalami kemerosotan intelektual.
“Seiring kemajuan teknologi, seharusnya manusia makin pintar. Tapi
kenyataannya, orang-orang cerdas sibuk mengejar karier dan tidak berketurunan,
sedangkan yang berpendidikan rendah justru memiliki banyak anak. Akibatnya,
kualitas generasi menurun,” jelas Nisa.
Ia menambahkan bahwa
teknologi seharusnya menjadi alat bantu manusia, bukan menggantikan proses
berpikir. Namun kini, manusia justru makin bergantung pada aplikasi instan,
termasuk AI seperti ChatGPT dan media sosial. “Kita terlalu percaya pada influencer dibanding ahli. Informasi diserap
tanpa verifikasi. Akibatnya, manusia kehilangan kemampuan analisis,”
katanya.
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi
sorotan. “Kita mudah ikut-ikutan tren
tanpa berpikir panjang. Padahal, dalam Islam, manusia diminta untuk berpikir
dan menimbang baik-buruk. Ketika akal tak lagi digunakan, maka hawa nafsu yang
akan menguasai,” tegasnya.
Nisa mengungkap bahwa sistem kapitalisme modern
telah menanamkan nilai materialisme dan hedonisme yang menyesatkan arah hidup
manusia. “Kita diajarkan untuk mencari
untung, bukan kebenaran. Semuanya harus cepat dan instan, termasuk dalam
belajar,” urainya.
Kebodohan yang Menjadi
Norma
Sedangkan Dessy, sebagai narasumber ketiga
menyoroti
aspek paling absurd dari film Idiocracy,
seperti adegan masyarakat masa depan yang menyiram tanaman dengan minuman
energi karena mengira cairan itu mengandung nutrisi. “Adegan itu terlihat konyol, tapi sebenarnya menggambarkan realitas
bahwa manusia bisa kehilangan logika ketika teknologi dan iklan mengambil alih
akal sehat,” ujarnya.
Aktivis dari BMI Community Jakarta ini mencontohkan propaganda
di Brazil yang mengklaim manusia tidak perlu air mineral, cukup minuman
bersoda. “Hasilnya, tingkat diabetes di
sana melonjak. Mereka bahkan menyiram tanaman dengan soda dan heran kenapa
tanamannya mati. Ini contoh nyata kebodohan yang diulang karena kepercayaan
tanpa ilmu,” jelasnya.
Menurutnya, Idiocracy menggambarkan kondisi
masyarakat yang dipenuhi kebebasan semu. “Kapitalisme
membuat manusia seolah punya banyak pilihan, tapi justru bingung memilih.
Seperti orang yang membuka GoFood selama 30 menit tanpa memesan apa pun karena
terlalu banyak pilihan. Kebanyakan pilihan justru membuat stres,” ujarnya
disambut tawa peserta.
Ia juga menegaskan, Islam hadir sebagai
panduan agar manusia tidak tersesat dalam kebebasan tanpa arah. “Allah sudah memberikan aturan agar manusia
tahu mana yang baik dan buruk. Tanpa pedoman, manusia akan terjebak dalam
kebingungan,” ujarnya sambil mengutip Surah Al-Baqarah Ayat 195 dan
Ar-Ra’du Ayat 11 yang menegaskan pentingnya perubahan diri dan menjaga
kebaikan.
Menutup dengan Komitmen
Diskusi ditutup dengan
refleksi bersama bahwa kemajuan teknologi seharusnya tidak menjauhkan manusia
dari akalnya. Gen Z diajak untuk lebih bijak dalam menggunakan teknologi dan
tidak hanyut dalam budaya instan yang menumpulkan daya pikir.
“Film Idiocracy memberi kita peringatan bahwa tanpa bimbingan nilai dan
iman, manusia akan kehilangan arah. Islamlah yang menjadi panduan agar akal
manusia tetap berjalan di jalan kebenaran,” tutup moderator.
Dengan semangat tersebut,
para peserta berkomitmen untuk menjadi generasi yang kritis, berilmu, dan tidak
mudah terombang-ambing oleh arus teknologi modern. Tentunya dipandu oleh sistem
Islam yang membimbing generasi menuju kebenaran.[SU]

0 Komentar