Sudan dan Hegemoni Geopolitik: Jalan Panjang Menuju Tatanan Islam yang Adil

 



 

Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Sudan adalah tanah yang diberkahi iman. Sejak Islam datang ke wilayah Nubia pada abad ke-7, masyarakat Sudan memeluk Islam bukan sekadar karena tradisi, melainkan karena keyakinan yang mengakar dalam jiwa. Para sejarawan seperti Yusuf Fadl Hasan dalam The Arabs and the Sudan (University of Khartoum Press, 1967) menggambarkan Sudan sebagai negeri yang “mengislam secara alami”—tanpa paksaan, melainkan karena seruan akhlak dan keilmuan para dai.

 

Selama berabad-abad, Islam menjadi pondasi sosial dan politik negeri ini. Di masa Kesultanan Funj (1504–1821), hukum syariat menjadi dasar pemerintahan; dan pada masa Daulah Mahdiyyah (1885–1899), Islam menjelma sebagai kekuatan revolusioner melawan kolonialisme Inggris. E.O. Robinson dan P.M. Holt dalam The Mahdist State in the Sudan (Clarendon Press, 1958) mencatat bahwa “pemerintahan Mahdi adalah model awal negara Islam di Afrika yang mandiri dari kekuasaan kolonial.”

 

Namun, sejak kolonialis Inggris menaklukkan Sudan pada akhir abad ke-19, arah negeri ini berbalik. Sistem hukum Islam diganti dengan hukum sipil Barat; sekolah Islam digantikan oleh kurikulum sekuler. Setelah kemerdekaan (1956), Sudan terus bergulat antara identitas Islam dan sistem politik modern yang diwarisi dari penjajah.

 

Krisis yang meledak pada 15 April 2023—antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF)—memperlihatkan bahwa Sudan masih menjadi ajang benturan sistem dan kepentingan. Reuters (17/02/2025) melaporkan lebih dari 11 juta warga mengungsi, dan setengah populasi terancam kelaparan. UN Office at Geneva (14/02/2025) menegaskan Sudan kini adalah “the most devastating humanitarian and displacement crisis in the world,” dengan lebih dari 30 juta orang membutuhkan bantuan. Sementara UNICEF (27/01/2025) menulis bahwa 15,6 juta anak-anak kini kekurangan pangan dan pendidikan.

 

Tetapi di balik angka-angka itu, ada realitas politik yang lebih dalam: Sudan bukan hanya korban perang, melainkan juga korban geopolitik. The Washington Post (29/09/2025) menyebut Sudan sebagai “proxy arena” kekuatan besar—AS, Inggris, Rusia, dan UEA—yang bersaing memperebutkan akses sumber daya emas, minyak, dan posisi strategis di Laut Merah. Le Monde (16/04/2025) menambahkan bahwa Sudan adalah “laboratorium politik bagi eksperimen demokrasi Barat di Afrika,” ketika kebijakan luar negeri sering dibungkus dalam narasi bantuan kemanusiaan.

 

Dalam suasana inilah banyak cendekiawan Islam Sudan menyerukan agar negeri ini kembali kepada nilai-nilai Islam, bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam sistem pemerintahan dan ekonomi. Syekh Abdelhay Yousif, salah satu ulama berpengaruh di Khartoum, dalam khutbahnya yang disiarkan Sudan News Agency (20/04/2025) berkata, “Selama hukum Allah ditinggalkan, negeri ini tidak akan aman. Kita telah mencoba sistem buatan manusia dan melihat hasilnya: perang, kelaparan, dan kehilangan martabat.”

 

Suara serupa datang dari Dr. Al-Murtadha al-Hassan (Universitas Omdurman Islamic) yang menulis di X/Twitter, 3 Mei 2025, “Demokrasi dan kapitalisme bukan jalan penyelamat bagi Sudan. Hanya Islam yang mampu menegakkan keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab di hadapan Allah.” Sementara itu, dalam wawancaranya dengan The National (08/12/2024), Syekh Abdul Hay Youssef menyatakan, “God has sent us this war to restore the glory of the Islamic movement.” Pernyataan ini mencerminkan pandangan sebagian kalangan Islam bahwa krisis saat ini merupakan ujian untuk mengembalikan arah politik kepada nilai-nilai Islam.

 

Gerakan politik Islam di Sudan sendiri sedang berevolusi. The Sudan Times (07/10/2024) melaporkan bahwa munculnya Broad Islamic Current yang dipimpin Ali Karti, mantan Menteri Luar Negeri, menandai upaya baru menyatukan berbagai kelompok Islam pascaperang. Karti menyerukan reformasi politik yang menolak campur tangan Barat dan menjadikan Islam dasar rekonstruksi nasional.

 

Namun, sebagaimana diingatkan Dr. El Mahboub Abdelsalam dalam wawancara dengan Radio Dabanga (22/09/2025), kebangkitan Islam bukan sekadar wacana kekuasaan: “Islamic revival is not about power, but about values. We must rebuild Sudan on the moral foundations of Islam before we rebuild the institutions.”

 

Dari perspektif politik Islam, seruan ini sejalan dengan pemikiran sejumlah tokoh besar abad ke-20. Salah satunya adalah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (1909–1977), seorang ulama dan pemikir politik Islam juga perintis partai politik Islam yang bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dengan institusi Khilafah, menekankan bahwa krisis dunia muslim—termasuk di Sudan—berakar dari penerapan sistem sekuler warisan kolonial. Dalam bukunya Nizham al-Islam (1953), beliau menulis, “Ketika umat ini mengambil sistem selain dari Islam, mereka akan hidup dalam kebingungan, dan negeri-negeri mereka menjadi permainan politik bangsa-bangsa kafir.”

 

Pemikiran an-Nabhani bukan semata seruan ideologis, melainkan juga refleksi atas ketergantungan dunia Islam pada kekuatan Barat. Ia menegaskan bahwa solusi bagi umat bukanlah meniru model geopolitik modern, melainkan membangun sistem yang berlandaskan nilai Islam secara menyeluruh—sebuah tatanan yang menegakkan keadilan, menolak eksploitasi, dan memulihkan kedaulatan institusi umat.

 

Namun, banyak akademisi kontemporer mengajukan tafsir moderat terhadap gagasan tersebut. Dr. Abdullah al-Faisal dari Universitas Khartoum, dalam wawancara dengan Al Jazeera Arabic (18/08/2025), menilai bahwa pemikiran an-Nabhani bisa dipahami sebagai “seruan moral untuk mengikat kekuasaan dengan nilai wahyu,” bukan sekadar ajakan menegakkan struktur politik tertentu. “Kita dapat belajar dari Taqiyuddin an-Nabhani dalam hal kemandirian politik dan keberanian berpikir. Sudan harus bebas dari proyek geopolitik Barat, tapi tidak boleh jatuh pada ekstremisme baru.”

 

Dari sinilah muncul gagasan “Islam kafah” dalam makna kontekstual—bukan sekadar slogan, melainkan paradigma yang memadukan iman, keadilan sosial, dan kemandirian politik. Dalam konteks Sudan, gagasan ini menuntun pada visi pemerintahan yang bersih dari korupsi, pemerataan ekonomi, dan solidaritas sosial, tanpa tunduk pada tekanan kekuatan global.

 

Krisis Sudan mengajarkan bahwa sistem politik sekuler tidak netral. Ia selalu membawa nilai dan kepentingan yang lahir dari kultur luar (sekuler–kapitalisme Barat). Kapitalisme menumbuhkan ketimpangan dan memperkuat oligarki ekonomi; sementara nasionalisme sempit memecah umat berdasarkan etnis dan wilayah. Dalam kekosongan spiritual itu, nilai Islam menjadi kehilangan tempatnya dalam politik.

 

Rasulullah ﷺ telah memberi isyarat tentang kondisi ini, “Akan datang masa ketika bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian seperti orang memperebutkan hidangan.” Sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan kalian banyak, tetapi seperti buih di lautan.” (Hadis Riwayat Abu Dawud no. 4297)

 

Sabda itu terasa nyata di Sudan: negeri muslim yang kaya sumber daya tetapi lemah di hadapan sistem dunia. Namun, di balik kehancuran itu, ada kesadaran yang tumbuh—bahwa Islam bukan hanya masa lalu yang dikenang, tetapi sistem nilai yang bisa mengarahkan masa depan.

 

Sebagaimana diungkap The Sudan Times (12/10/2025) dalam artikelnya “Sudan’s Young Generation Turns to Faith Amid Chaos”, banyak anak muda di Khartoum kini kembali menghadiri halaqah Al-Qur’an dan diskusi Islam, mencari jawaban dari teks, bukan dari politik Barat. Mereka menyebutnya bukan “kembali ke masa lalu,” tetapi “kembali ke arah yang benar.”

 

Sudan hari ini adalah panggung antara dua proyek peradaban: geopolitik Barat yang menata dunia atas dasar kekuasaan, dan kesadaran Islam yang ingin menata dunia atas dasar keadilan. Jika sejarah berulang, maka sebagaimana Mahdiyyah bangkit melawan kolonialisme di abad ke-19, Sudan masa kini pun bisa menjadi saksi kebangkitan spiritual dan politik Islam yang baru—bukan dalam bentuk kekerasan, melainkan kebangkitan nilai Islam, ilmu, dan kedaulatan syariat.

 

Pada akhirnya, Sudan bukan sekadar negeri yang hancur oleh perang. Ia adalah cermin bagi seluruh dunia Islam—tentang betapa rapuhnya umat tanpa pegangan nilai ilahi, dan betapa kuatnya harapan ketika iman kembali menjadi pusat arah politik. Mungkin kini saatnya Sudan dan dunia Islam bertanya kembali pada dirinya sendiri: Apakah kita masih ingin menjadi buih di lautan sejarah, atau ingin kembali menjadi ombak yang membawa keadilan?

 

Tersebab di tanah yang luluh-lantak oleh perang itu, bara iman belum padam. Ia hanya sedang menunggu hembusan kesadaran—untuk menghidupkan kembali tatanan Islam yang adil, merdeka, dan berdaulat. Meski dunia Islam hari ini berdiri tanpa tameng peradaban yang melindungi kedaulatannya, tetapi Sudan menunjukkan bahwa kesadaran politik Islam tidak boleh padam. Wallahualam.[]

Posting Komentar

0 Komentar