Ananda Hafizhah Putri
#Tangsel — Potret Generasi Terluka di Sistem Sekularisme
Kasus perundungan (bullying) di kalangan pelajar makin mengkhawatirkan. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa pada 2023 terjadi ratusan kasus perundungan di sekolah dan pesantren, dengan tren yang terus meningkat setiap tahun (Asia Daily, 14/6/2025). Bahkan, menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang 2025 saja ada 25 anak yang bunuh diri dan sebagian besar kasus ini diduga sangat terkait dengan perundungan (Cna.id, 31/10/2025).
Salah satu contoh terbaru yang paling mengejutkan terjadi di SMAN 72 Jakarta, ledakan di masjid sekolah tengah diselidiki dengan dugaan bahwa salah satu pelaku merupakan siswa yang pernah menjadi korban bullying (jpnn.com, 7/11/2025). Sementara itu, di SMPN 19 Kota Tangerang Selatan, seorang siswa berinisial MH (13) diduga mengalami kekerasan fisik oleh teman-temannya—dipukul dengan bangku sejak masa pengenalan sekolah—hingga kondisinya memburuk dan dirawat di rumah sakit (Liputan6, 12/11/2025).
Bullying: Rantai Panjang Produk Sekularisme
Bullying di sekolah bukan sekadar masalah kenakalan pelajar, karena perilaku agresif itu sering kali merupakan pantulan dari luka lama yang dibawa dari luar lingkungan pendidikan. Sebagaimana dilaporkan pada Longitudinal Effects from Childhood Abuse to Bullying Perpetration (2022), banyak pelajar melakukan perundungan karena pernah mengalami trauma serupa di rumah atau lingkungan sosial. Luka yang tidak ditangani berubah menjadi perilaku defensif dan agresif sebagai mekanisme bertahan hidup.
Tanpa pendampingan yang memadai, trauma ini berkembang menjadi rantai kekerasan: korban hari ini dapat tumbuh menjadi pelaku esok hari. Sekolah hanya menjadi panggung munculnya gejala, sementara akarnya tersembunyi dalam dinamika keluarga dan sosial yang penuh tekanan. Tak sedikit anak yang kehilangan kehadiran sosok orang tua yang menjadi teladan dalam memberikan nilai-nilai kehidupan. Kedua orang tua sibuk bekerja mencukupi kebutuhan keluarga, menjadi TKI misalnya, sehingga anak tidak mendapat pendampingan yang cukup dalam menghadapi dinamika sosial. Bahkan yang lebih miris, anak menjadi rantai luka berikutnya dari orang tua yang terluka di luar rumah.
Selain trauma, media sosial turut menjadi lahan subur bagi tumbuhnya budaya perundungan. Dalam ekosistem digital, citra “keren” sering kali dikaitkan dengan dominasi fisik, keberanian merendahkan orang lain, atau konten-konten penuh ejekan yang dijadikan hiburan massal. Platform digital mempopulerkan figur-figur yang tampil kuat karena merendahkan pihak lain, sehingga pelajar—yang sedang dalam tahap pencarian jati diri—belajar meniru pola itu sebagai cara memperoleh pengakuan. Algoritma turut memperkuat pesan ini—makin kontroversial atau agresif konten yang dibuat, makin besar perhatian yang didapat. Akhirnya, standar nilai generasi muda bergeser dari keluruhan akhlak menuju adu kekuasaan, baik secara verbal maupun fisik.
Lebih luas, akar persoalan hadir dari paradigma sekularisme yang sudah lama menyingkirkan agama dari pembentukan generasi. Ketika pemahaman agama tidak lagi menjadi fondasi berpikir, remaja kehilangan rambu moral yang menjaga mereka untuk tidak menyakiti sesama. Sekularisme mendorong generasi untuk memandang kehidupan sebagai arena persaingan bebas, bukan ladang kebaikan. Tanpa rasa takut kepada Allah dan tanpa kesadaran bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan, perilaku merendahkan orang lain dianggap wajar selama mendatangkan kesenangan atau keuntungan pribadi. Dalam atmosfer nilai yang kosong dari ruh (kesadaran hubungan dengan Allah), bullying tumbuh subur.
Islam Kafah adalah Obat untuk Generasi yang Terluka
Islam adalah sebuah jalan hidup (the way of life) yang terdiri dari fikrah (pemikiran) dan thariqoh (metode) yang khas. Islam dibangun atas asas tauhid ilallah (mengesakan Allah) dalam meyakini Allah sebagai satu-satunya al-Khaliq (Pencipta) dan al-Mudabbir (Pengatur). Selain itu, Islam juga memiliki seperangkat metode dalam menjaga, melaksanakan, dan menyebarkan akidah Islam, yang kemudian menjadikan Islam sebagai risalah yang kamiil (lengkap) dan syumuul (menyeluruh).
Secara individu, Islam digenggam dalam bentuk ketakwaan yang lahir dari keimanan yang kokoh. Takwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta mengambil sikap hati-hati dalam setiap aspek kehidupan. Dalam konteks bullying, pribadi bertakwa adalah pribadi yang memiliki kontrol diri (muraqabah), rasa takut kepada Allah, dan kesadaran bahwa setiap kata dan perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban. Gambaran ini ditegaskan dalam sabda Nabi ﷺ: “Seorang muslim adalah orang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya…” (Hadis Riwayat Bukhari No. 10). Remaja yang bertakwa tidak akan merasa “keren” dengan merendahkan, mengejek, atau menyakiti temannya, karena ia tahu perbuatan itu adalah dosa dan bentuk kezaliman yang akan menjadi hisab berat di akhirat.
Namun, keimanan bisa naik dan juga turun. Sementara, generasi muda adalah kelompok yang paling mudah terpengaruh arus sosial. Karena itu, penerapan Islam juga hadir dalam bentuk masyarakat yang hidup dalam budaya amar makruf nahi mungkar. Dalam masyarakat Islam, perilaku merendahkan, mengejek, menghina fisik, atau saling menjatuhkan tidak akan dianggap biasa, tidak akan dijadikan “konten hiburan”, dan tidak akan ditoleransi sebagai “dinamika pergaulan anak muda”. Masyarakat akan cepat menegur, mencegah, dan mengoreksi setiap perilaku yang berpotensi menjadi perundungan. Segala pemikiran, gaya hidup, nilai-nilai, dan standar “keren” yang bertolak belakang dengan Islam—misalnya sekularisme-materialisme yang menuhankan popularitas, kekuatan fisik, atau validasi sosial—akan ditepis dan tidak dibiarkan tumbuh subur. Dengan atmosfer sosial yang seperti ini, potensi bullying dapat ditekan sejak fase embrio karena individu dibesarkan dalam ruang sosial yang kolektif menjaga kebaikan.
Penerapan Islam yang terakhir serta paling penting adalah dalam bentuk negara yang menerapkan Islam secara kafah. Negara dalam Islam menjadikan Akidah Islam sebagai dasar dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan, media, dan pembinaan generasi. Dalam sistem pendidikan Islam, kurikulum tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah islamiah) melalui penguatan tsaqafah Islam, adab, akhlak, serta mekanisme pembinaan karakter yang terukur. Negara juga memastikan bahwa keluarga—sebagai sekolah pertama—didukung oleh kebijakan yang menjaga stabilitas peran ayah dan ibu dalam mendidik anak. Selain itu, media sosial tidak dibiarkan menjadi ruang yang mempromosikan kekerasan verbal, konten perundungan, prank merendahkan martabat, atau standar keindahan dan kekuatan yang merusak mental remaja. Negara memiliki kewenangan penuh untuk menutup jalan masuknya segala pemikiran, gaya hidup, dan sistem nilai non-Islam yang merusak akhlak masyarakat.
Islam kafah menawarkan pencegahan yang bersifat sistemik, bukan tambal sulam. Jika mekanisme di atas berjalan serempak, maka bullying tidak hanya dapat ditangani dari gejalanya, tetapi diputus sampai ke akar-akarnya. Karena bullying pada akhirnya bukan sekadar masalah perilaku siswa, tetapi hasil dari ekosistem nilai yang dibangun oleh sistem kehidupan itu sendiri.[]

0 Komentar