Shiha
Utrujah
#Wacana — Kisruh
pernyataan Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal tentang profesi ahli gizi
dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyulut gelombang kemarahan publik.
Dalam video yang beredar luas, Cucun mengatakan bahwa ahli gizi tidak
diperlukan dalam pelaksanaan MBG, bahkan menyebut bahwa tugas mereka bisa
digantikan oleh “satu tenaga pengawas gizi”. Pernyataan ini langsung memantik
reaksi keras dari para profesional kesehatan, termasuk dari Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (Persagi), yang menilai ucapannya bukan hanya meremehkan profesi,
tetapi juga mengabaikan fakta ilmiah yang selama ini dibangun atas kajian dan
kompetensi. (tempo.co, 18/11/2025)
Pernyataan itu tidak
muncul di ruang kosong. Ia sampaikan dalam sebuah forum bersama Satuan
Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Bandung. Namun, ketika sebuah ucapan datang
dari pejabat publik, khususnya di tingkat legislatif, dampaknya tidak
main-main. Masyarakat menaruh harapan bahwa setiap kebijakan yang berkaitan
dengan kesehatan, pendidikan, pangan, hingga kesejahteraan harus lahir dari
pemikiran matang, bukan pernyataan serampangan yang mengandung bias dan
ketidaktahuan.
Fenomena seperti ini bukan
sekali dua kali terjadi. Di era kapitalisme, publik seperti tak pernah
kehabisan tontonan tentang “blunder” pejabat negara. Ada yang melontarkan
pernyataan sensitif, ada yang terlihat tidak memahami isu yang sedang mereka
tangani, ada pula yang mengomentari sesuatu tanpa dasar keilmuan. Pola yang
terus berulang ini menggerus kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemimpin
dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang makin kompleks.
Mengapa hal ini terus
terjadi?
Satu hal yang dapat
diamati adalah bahwa dalam sistem kapitalisme, khususnya soal jabatan politik
sering kali tidak bertemu langsung dengan keahlian substantif. Pejabat yang
duduk di parlemen atau kementerian belum tentu menguasai bidang yang mereka
kelola. Bahkan lebih pahit lagi, banyak kebijakan justru lahir bukan dari
pertimbangan kepentingan publik, melainkan dari pertimbangan kekuasaan,
kepentingan partai, atau kepentingan kelompok tertentu. Akibatnya, rakyat
sering kali menjadi korban dari kebijakan yang tidak berbasis pengetahuan
bahkan tidak jarang berbasis ego.
Ketika Kompetensi Bukan
Standar, Rakyat Menanggung Akibatnya
Ucapan “tidak perlu ahli
gizi” menunjukkan betapa jauhnya jarak antara dunia kebijakan dan realitas
teknis di lapangan. Tugas ahli gizi bukan sekadar menimbang makanan atau
membuat menu sembarangan, mereka mempelajari komposisi nutrisi, status gizi
anak, kebutuhan individual, penyakit terkait gizi, hingga intervensi yang tepat
agar kebijakan pangan benar-benar memberi dampak pada tumbuh kembang generasi.
Jika MBG adalah program
strategis nasional, bagaimana mungkin ia dilepaskan dari peran tenaga ahli?
Apakah cukup hanya dengan “pengawas gizi” tanpa kompetensi ilmiah? Pernyataan
seperti ini bukan sekadar lucu-lucuan, melainkan mencerminkan cara berpikir pengambil
kebijakan yang seolah menganggap remeh keilmuan dan profesionalisme.
Di sisi lain, masyarakat
pun makin sadar, pemimpin tidak cukup bermodal jabatan, tetapi juga harus
memiliki kapasitas. Kepemimpinan yang hanya mengandalkan popularitas, jaringan
politik, atau suara partai, tanpa pengetahuan yang memadai, pada akhirnya hanya
akan menghasilkan keputusan yang merugikan rakyat.
Mungkin inilah sebab
mengapa publik begitu reaktif setiap kali muncul pernyataan kontroversial dari
pejabat. Bukan semata-mata karena ucapannya menyinggung, tetapi karena mereka
jenuh melihat pejabat yang minim kompetensi tapi memegang kewenangan besar. Dengan
kata lain, rakyat sudah lama letih menjadi “objek percobaan” dari kebijakan
yang tidak matang.
Pemimpin dalam Islam: Ilmu
adalah Pilar Utama
Menarik jika membandingkan
fenomena ini dengan prinsip kepemimpinan dalam Islam. Dalam sejarah peradaban
Islam, pemimpin bukan sekadar figur politik. Ia adalah sosok yang dipilih
berdasarkan kapasitas, akhlak, dan kompetensinya dalam memutuskan perkara. Islam
menempatkan ilmu sebagai landasan utama dalam pengelolaan urusan publik.
Seorang pemimpin dalam
Islam tidak boleh gegabah. Jika ia tidak memahami suatu perkara, ia wajib
merujuk kepada ahlinya. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, melibatkan pakar
dalam berbagai bidang untuk memutuskan kebijakan strategis. Dalam urusan ekonomi,
beliau meminta pandangan para ahli pasar. Dalam urusan kesehatan, ia mendengar
masukan dokter dan pakar kesehatan. Dalam urusan militer, ia mengacu pada ahli
strategi perang. Khalifah Umar bin Khattab sadar bahwa jabatan saja tidak cukup
tanpa ilmu, seorang pemimpin bisa menjadi sumber bencana bagi rakyat.
Bandingkan dengan kondisi
sekarang. Ketika pemimpin tidak memahami suatu bidang, sering kali bukan malah
bertanya, tetapi justru meminimalkan peran ahli. Inilah salah satu akar masalah
yang membuat kebijakan sering kali tidak tepat sasaran, bahkan kontra-produktif.
Polemik pernyataan Cucun
ini bisa menjadi cerminan lebih besar tentang kualitas kepemimpinan di negeri
ini. Hal tersebut tidak sekadar persoalan satu ucapan, tapi menyingkap problem
sistemik. Bahwa dalam sistem kapitalisme, pemimpin tidak dipilih berdasarkan
kompetensi, tetapi kekuatan politik. Selama pola ini terus berulang, publik
akan terus menyaksikan keputusan yang tidak berlandaskan ilmu, ucapan yang
sembrono, serta kebijakan yang menyesatkan.
Islam menawarkan model
kepemimpinan yang berbeda. Pemimpin yang rendah hati untuk bertanya, yang
menghormati ahli, dan yang menjadikan ilmu sebagai landasan kebijakan. Dalam
sistem Khilafah, ucapan meremehkan profesi tidak akan lahir, karena pemimpin
memahami besarnya tanggung jawab yang ia emban dihadapan Allah Swt. kelak di
akhirat.[]

0 Komentar