RUU KUHAP: Arah Politik Hukum dan Pertaruhan Keadilan Publik

 



 

Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Pengesahan RUU KUHAP pada 18 November 2025 menjadi pertaruhan dalam kerangka keadilan nasional. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui pernyataan resminya pada 24 Juni 2025 menegaskan bahwa revisi KUHAP tidak boleh merenggut hak-hak warga yang sedang menjalani proses hukum, sebuah peringatan yang juga selaras dengan kekhawatiran Muhammadiyah pada 28 Juli 2025 yang meminta pemerintah meninjau ulang sejumlah pasal karena dinilai membuka ruang penyalahgunaan wewenang aparat. Penilaian serupa muncul dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang dalam laporan NU Online tanggal 13 November 2025 menggarisbawahi bahwa proses legislasi RUU KUHAP dipercepat tanpa dialog publik mendalam, sehingga berisiko menimbulkan dominasi struktural negara atas warga.

 

Dari sudut pandang Islam, perdebatan mengenai KUHAP tidak sekadar persoalan teknis melainkan menyentuh pondasi legitimasi kekuasaan. Dalam tradisi fikih Islam klasik, Al-Mawardi melalui Al-Ahkâm al-Sulṭâniyyah (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989) menjelaskan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dibatasi agar tidak jatuh dalam fasâd al-sulṭah. Ibn Taymiyyah dalam Siyâsah Sharʿiyyah (Dar ‘Alam al-Kutub, 1998) bahkan menegaskan bahwa keadilan adalah syarat eksistensial negara; hukum yang lengkap sekalipun tidak bernilai jika pelaksanaannya menghasilkan kezaliman. Pandangan ini memperkuat argumen bahwa perluasan kewenangan aparat dalam KUHAP baru tanpa mekanisme kontrol yang ketat dapat mengikis legitimasi syar’i maupun moral.

 

Dalam lingkup pemikiran Islam kontemporer, Rached Ghannouchi melalui karyanya Public Freedoms in the Islamic State (American Trust Publications, 1993) menekankan bahwa hukum pidana dalam sebuah negara yang menghormati asas kewarganegaraan egaliter (muwâṭanah) dan musyawarah (shûrâ) harus menciptakan rasa aman, bukan ketakutan terhadap negara. Kritik publik terhadap RUU KUHAP yang dianggap mengancam kebebasan sipil dapat dibaca sebagai konsistennya gagasan mengenai hubungan rakyat–negara yang sehat.

 

Adapun Taqiyuddin an-Nabhani, Pendiri Partai Politik Islam sekaligus seorang Mujtahid, dalam Niẓâm al-Ḥukm fī al-Islām (Dar al-Ummah, 2001) menegaskan bahwa pemerintahan Islam tidak mendasarkan legislasi pada kompromi politik mayoritas, melainkan pada syariat sebagai otoritas tertinggi. Dalam kerangka ini, aturan sekelas hukum acara pidana tidak dapat lahir dari proses politik yang minim transparansi, karena bertentangan dengan prinsip amanah kekuasaan. Pandangan an-Nabhani ini selaras dengan kritik publik bahwa percepatan pembahasan RUU KUHAP tanpa partisipasi masyarakat mengabaikan aspek legitimasi etis.

 

Sejarah Khilafah juga memuat teladan pengawasan kekuasaan yang relevan bagi konteks revisi KUHAP. Dalam Ṣubḥ al-Aʿshā (Kairo: Dar al-Kutub, 1913), al-Qalqashandi mencatat bahwa Khalifah Umar ibn al-Khattâb mendirikan dīwān al-mazâlim untuk menampung keluhan rakyat terhadap pejabat, serta institusi hisbah untuk menjamin integritas publik. Mekanisme ini bekerja sebagai saluran koreksi struktural, tidak sekadar administratif, dan merupakan bentuk perlindungan terhadap potensi kezaliman negara.

 

Pengalaman sejarah tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana “RUU” atau regulasi teknis sejenis KUHAP disusun dalam sistem Khilafah. Regulasi tidak diproduksi melalui voting politik, melainkan melalui adopsi pendapat ijtihad oleh khalifah berdasarkan kekuatan dalil. Sementara itu, Majelis Umat dalam Islam memainkan peran sebagai wadah shûrâ dan pengawasan publik; mereka dapat mengkritik dan menuntut koreksi terhadap kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, sehingga menjadi kanal check and balance yang bersifat partisipatif.

 

Dalam aspek pengawasan aparat, peran qāḍī al-mazālim menjadi krusial karena bertindak sebagai pengadilan keluhan tertinggi yang dapat membatalkan kebijakan penguasa jika bertentangan dengan prinsip keadilan syariat. Adapun hukum acara pidana sendiri tidak disusun sebagai undang-undang legislatif, tetapi berbentuk tanzhîmāt—pengaturan administratif yang fleksibel tapi tetap tunduk pada nash syariah, sehingga kekuasaan negara tidak dapat menciptakan pasal represif yang merusak hak dasar warga.

 

Dalam kerangka ini, perhatian terhadap KUHAP diletakkan pada prinsip keadilan syariat yang mengatur bahwa tindakan paksa seperti penahanan, penyadapan, dan penggeledahan harus melalui keputusan hakim peradilan, bukan diskresi aparat. Hak-hak warga seperti larangan penahanan tanpa bukti, larangan penyiksaan, perlindungan kehormatan, dan akses terhadap pengajuan keluhan kepada lembaga peradilan harus dijamin secara hakiki. Kritik yang disampaikan ICJR bahwa sekitar 30% penyidikan dalam beberapa tahun terakhir dilakukan tanpa izin pengadilan menegaskan pentingnya pengawasan peradilan yang kuat agar negara tidak bertindak di luar batas (icjr.or.id).

 

Dengan demikian, penolakan publik terhadap revisi KUHAP bukan merupakan sikap anti-hukum, tetapi merupakan bentuk dorongan untuk menegakkan kerangka etis agar negara tidak melewati batas kewenangannya. Islam menawarkan prinsip kekuasaan yang diawasi, hukum yang melindungi, serta mekanisme publik yang memastikan negara tetap dalam rel keadilan. Tanpa prinsip tersebut, KUHAP baru berpotensi menjadi instrumen represi, persis seperti yang diperingatkan oleh para ulama, akademisi, dan lembaga masyarakat sipil. Wallahualam.[]

 

Posting Komentar

0 Komentar