Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Dunia
pendidikan Indonesia tengah digegerkan oleh peristiwa ledakan di SMAN 72
Jakarta pada Jumat (07/11) dengan terduga pelaku kejahatan adalah siswa murid
kelas XII berinisial FN yang masih berusia 17 tahun. Ledakan terjadi sekitar
pukul 12.15 WIB bertepatan dengan persiapan warga sekolah melakukan salat
Jumat. Ledakan terjadi lebih dari 1 (satu) kali yang salah satunya terdengar
ketika khotbah Jumat tengah berlangsung dan terjadi di dekat pintu masjid
sekolah. Sejauh ini total korban mencapai 96 orang dengan 67 orang mengalami
luka ringan, 26 orang luka sedang dan 3 orang luka berat termasuk salah satunya
adalah terduga pelaku (detik.com, 15/11/2025).
Dalam kasus ini pemerintah
sempat mempertimbangkan pembatasan game online yang memperkenalkan
adegan kekerasan dengan penggunaan senjata api (senpi) semisal PlayerUnknown’s
Battlegrounds (PUBG). Langkah tersebut rencananya akan dijalankan guna
membatasi dan mencari jalan keluar terhadap pengaruh buruk permainan daring
bagi anak. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan
bahwa game online bergenre perang dan kekerasan seperti PUBG bahkan membuat
anak ‘melek’ jenis-jenis senjata dan secara psikologis menumpulkan empati
mereka (detik.com, 09/11/2025).
Menanggapi pemberitaan
adanya rencana pembatasan game online oleh pemerintah, pihak Kementerian
Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata (MCST) Korea Selatan pun ikut angkat
bicara. Pihaknya memberikan respon resmi dengan menyebutkan tidak adanya bukti
konkret akan kaitan antara game PUBG dengan kasus ledakan SMAN 72
Jakarta (detik.com, 12/11/2025). Seperti diketahui bersama bahwa PUBG
dikembangkan oleh PUBG Studios milik Krafton, perusahaan video game asal
Korea Selatan. Video game seri PUBG sendiri sepanjang 2022 saja telah
berhasil meraup total pendapatan sebesar US$13 miliar setara dengan Rp217,7
triliun (gamesbeat.com, 06/12/2022) dan kini menjadi salah satu komoditas
ekonomi terbesar untuk Korea Selatan.
Rencana pembatasan
permainan daring khususnya PUBG ditolak pula oleh beberapa akademisi negeri
ini. Dosen Informatika Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) Lukman
Hakim, misalnya menyebut game daring seperti PUBG sering dijadikan
pelarian psikologis para remaja yang mengalami tekanan sosial atau emosional.
Ia menilai rencana pemerintah tersebut alih-alih menyelesaikan masalah
kejahatan remaja justru membatasi ruang ekspresi digital kawula muda
(um-surabaya.ac.id, 10/11/2025). Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada (UGM) AB. Widyanta menilai perilaku ekstrem pelaku
ledakan SMAN 72 Jakarta merupakan reaksi personal atas kekerasan lingkungan
yang difasilitasi oleh teknologi digital. Dengan demikian, ia berpendapat tidak
tepat jika solusi yang ditawarkan pemerintah adalah dengan menutup ruang
ekspresi digital semisal dengan membatasi game online (ugm.ac.id,
14/11/2025).
Tidak lama setelah
pemerintah mengumumkan rencana pembatasan game online PUBG, Densus 88
Antiteror Polri justru mengungkap fakta menarik terkait terduga pelaku.
Disebutkan bahwa pelaku (FN) bukan pemain PUBG tetapi kerap mengakses forum dan
situs darknet. Situs yang dimaksud memuat konten-konten bertemakan perang,
pembunuhan dan aksi-aksi sadis lainnya. FN yang saat ini tengah menjalani
perawatan di RS Polri Kramat Jati juga sempat mengungkapkan kekesalan dan
kemarahannya melalui tulisan dan gambar (emitennews.com, 11/11/2025).
Fakta-fakta tersebut kemudian dikaitkan dengan adanya temuan bahwa FN merupakan
korban perundungan (bullying) dan diduga memiliki dendam yang mendalam.
Namun, motif sebenarnya akan aksi kekerasan yang dilakukan FN masih dalam
penyelidikan.
Kasus anak sebagai pelaku
kejahatan sebagaimana yang terjadi dalam kasus peledakan SMAN 72 Jakarta tidak
lagi bisa kita pandang sebagai reaksi personal pelaku dan bersifat kasuistik.
Kini fenomena remaja sebagai kriminal menjadi fenomena ‘lumrah’ yang mencerminkan
betapa bobroknya moral anak-anak Indonesia. Buktinya, kasus dengan anak-anak
sebagai pelaku kejahatan terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada catatan
Kemen PPPA (Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak) kejahatan dan
kekerasan anak di tahun 2019–2022, sebanyak 11.057; 11.278; 14.517; dan 16.106
kasus. Polri bahkan mencatat sepanjang semester pertama tahun 2022, terdapat
lebih dari 1.000 anak tiap bulan berhadapan dengan hukum sebagai tersangka
dengan total sebanyak 8.351 anak menjadi tersangka dalam 6 bulan
(pusiknas.polri.go.id, 30/07/2024).
Mirisnya, ABH yang
tercatat tidak hanya tersandung kasus kriminal ringan bahkan berat. Tindakan
kriminal yang melibatkan tersangka anak sangat beragam mulai dari pencurian,
tawuran, pembegalan hingga pembunuhan dan kasus kekerasan seksual. Kini dengan
adanya kasus ledakan SMAN 72 Jakarta yang melibatkan pelaku berusia di bawah
umur, kian menambah deretan panjang kasus kejahatan luar biasa anak.
Kerusakan moral anak tidak
bisa dipandang sebelah mata karena melibatkan generasi penerus bangsa dan
mencerminkan masa depan negeri ini. Peran dan kehadiran seluruh lapisan
masyarakat mulai dari keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat hingga negara
menjadi faktor yang saling bertautan dalam perkembangan emosional dan moral
anak.
Dekadensi moral para
remaja tidak dapat dipisahkan dari fakta rusaknya entitas keluarga dalam
kehidupan kapitalisme sekuler yang seharusnya menjadi lingkungan terdekat anak.
Ibu yang sepatutnya berperan sebagai sekolah pertama anak dalam memupuk akidah
dan akhlak sayangnya sering kita temukan tidak bisa menjalankan fungsinya
secara maksimal. Para ibu dalam kungkungan sistem kapitalisme sekuler terjebak
dalam himpitan ekonomi yang memaksa mereka ikut serta mencari nafkah demi
memenuhi kebutuhan keluarga. Dari sini wajar jika anak-anak negeri ini
kehilangan sosok pertama dalam mengajarkan mereka nilai-nilai agama (Islam)
yang di kemudian hari memunculkan sosok-sosok pemuda niradab dan minim empati.
Ketidakmampuan para ibu
untuk memenuhi perannya sebagai ummu warabbatul bait kemudian membuat
para ibu menumpukan harapan mereka dalam mendidik anak kepada lembaga
pendidikan. Para orang tua tidak jarang lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya
pendidikan akidah dan akhlak anak karena merasa pihak yang bertanggung jawab
dalam hal ini adalah sekolah. Ironisnya, lembaga pendidikan negeri ini justru
berkiblat pada pendidikan Barat yang hanya fokus pada keberhasilan akademis
yang terproyeksikan dari nilai-nilai dalam raport hasil belajar anak. Sistem
pendidikan kapitalisme bukan bertujuan untuk mencetak generasi beriman dan
bertakwa tetapi generasi pekerja yang bisa memenuhi kebutuhan sektor industri.
Para anak didik dinilai berhasil ketika memiliki pencapaian materi semisal
nilai ujian yang baik, penerimaan di sekolah tinggi ternama hingga menjalani
profesi bergengsi.
Sekalipun ada pendidik
yang berusaha mengajarkan moral pada anak, mereka sering berbenturan dengan
hukum negeri ini seperti halnya yang terjadi pada kasus penamparan siswa SMAN 1
Cimarga. Tidak jarang para guru harus berurusan dengan polisi karena pengaduan
orang tua murid. Fenomena ini membuat para pendidik takut untuk mendisiplinkan
anak didiknya.
Pengaruh lingkungan yang
saat ini tidak didasarkan pada nilai-nilai keimanan membuat anak tidak lagi
memahami benar–salah dalam kacamata Islam. Anak-anak negeri ini tidak terbiasa
dengan nilai-nilai Islam yang sayangnya menjadikan mereka sasaran empuk
pemahaman kafir Barat. Generasi muda Indonesia lebih terbiasa dengan kehidupan
dan perspektif Barat semisal gaya hidup bebas, hedonisme, materialisme, flexing
hingga pluralisme. Mereka lebih bangga dengan identitasnya sebagai pembebek Barat
yang katanya modern dibanding dengan identitasnya sebagai muslim.
Minimnya peran negara
dalam penanaman akidah dan akhlak masyarakat jadi salah satu faktor utama
dekadensi moral bangsa ini. Para penguasa telah secara nyata melalaikan
tugasnya dalam memfilter informasi negatif yang bertebaran di dunia maya.
Padahal anak bisa dengan mudahnya mengakses informasi buruk ataupun baik
melalui gadget yang mereka miliki, seperti halnya FN yang bisa dengan mudah
mengakses situs darknet ataupun anak-anak lain secara rutin terpapar
adegan-adegan kekerasan yang disajikan dalam bentuk game online dan
media lainnya. Padahal konten-konten brutal semacam itu berpotensi mematikan
empati anak dan menelurkan generasi sociopath dan psychopath.
Tidak hanya itu, negara
secara sadar menerapkan sistem bobrok nan rusak ala Barat, yakni kapitalisme
dan sekularisme. Kedua sistem ini menyandarkan penerapan sistem kehidupan yang
menjauhkan bahkan menghapuskan peran Islam dalam kehidupan masyarakat. Gaya
hidup tersebut parahnya lagi mengkampanyekan ide-ide kebebasan yang kebablasan
dan tidak mengenal halal-haram. Alhasil, nilai-nilai kebenaran ilahi pun kabur
di masyarakat dan digantikan oleh hawa nafsu. Oleh karenanya, jelas bahwa
tindakan kekerasan ekstrem yang dilakukan FN merupakan hasil dari penerapan
sistem yang salah. Sistem kapitalisme sekuler benar-benar gagal mengajarkan
nilai-nilai kebaikan kepada seorang FN dan kondisi semacam ini niscaya pula
menimpa anak-anak lainnya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

0 Komentar