Saatnya Islam Jamin Jalan Mulus Bebas Galian

 


Alin F.M.



#Jaktim — Dilansir dari news.detik.com, 29 Oktober 2025,  lalu lintas di Jalan DI Panjaitan Halim lama arah Kebon Nanas, Jakarta Timur macet pagi ini. Kemacetan terjadi akibat adanya proyek galian yang menutup sebagian ruas jalan.



Jakarta Timur kembali lumpuh di pagi hari. Dua arteri vital yaitu Jalan DI Panjaitan dan Tamini Square mendadak kolaps diserbu proyek galian secara simultan. Kemacetan ini bukan sekadar ketidaknyamanan, melainkan gejala serius dari kegagalan sistemik yang diakibatkan oleh kapitalisme kota.



Kita semua sepakat pembangunan itu penting. Tapi, cara pengerjaannya yaitu menutup jalur utama di jam sibuk itu menunjukkan satu hal yang mengerikan: adanya kepentingan komersial dan kecepatan akumulasi modal telah ditempatkan jauh di atas hak mobilitas warga.



Dalam logika kapitalisme kota, ruang publik seperti jalanan diperlakukan sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi untuk mempercepat investasi. Kontraktor dan pemilik modal terikat kontrak dan mengejar margin keuntungan. Bagi mereka, memotong satu lajur jalan di pukul 7 pagi adalah solusi paling murah dan efisien untuk memenuhi target. Mereka tidak menghitung biaya sosial yang mereka ciptakan.



Inilah inti dari kapitalisasi jalanan: kerugian rakyat menjadi keuntungan proyek. Kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun (dari bensin yang terbuang sia-sia dan hilangnya produktivitas). Angka fantastis ini adalah transfer kekayaan dari kantong kita ke inefisiensi sistem. Kita yang membayar, sementara proyek mereka terus berjalan.



Kita bukan tumbal bagi pembangunan kota yang didorong oleh modal. Sudah saatnya perencanaan kota di Jakarta berpihak pada manusia, bukan hanya pada percepatan laba.



Hentikan Komersialisasi Galian di Jalan 



Jalan raya adalah akses utama bertransportasinya manusia dan jalur penyalur barang. Jalan yang mulus dan baik adalah kunci kelancaran dan kemudahan berkendara masyarakat. Namun, ironi tragis kini, jalan yang merupakan akses utama rakyat harus dilewati dengan kemacetan berlika-liku dan penuh kehati-hatian karena adanya proyek galian.



Lantas pertanyaannya, jika proyek galian ada wujud komersialisasi kapitalisme kota disebabkan karenanya  ada aktivitas ekonomi yang meningkat pesat di perkotaan. Lalu,  apakah betul karena aktivitas ekonomi perusahaan elite yang berlalu lalang menggali jalan sebanding dengan kemacetan merugikan masyarakat mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun?



Sistem sekarang memaksa rakyat membayar pajak dengan janji infrastruktur yang baik, tapi debu-debu kekecewaan menghampiri: jalan masih terlihat rusak dan penuh galian. Hal ini sangat berbeda dengan sejarah Islam yang memberikan perhatian khusus pada infrastruktur dan sumber biaya yang digunakan.



Di era kejayaan Bani Umayyah, Jalan Raya dan Rumah Sakit merupakan infrastruktur yang urgent. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik begitu memperhatikan rute menuju Baitul Haram, sampai-sampai ia mengirim surat pada Gubernur Madinah Umar bin Abdul Aziz agar mempermudah pelayanan, penggalian sumur, dan membuat kran air bagi pekerja, jamaah, serta masyarakat umum.



Pun, dalam Islam, pemimpin berkewajiban untuk meri'ayah umat (rakyat). Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (Hadis Riwayat Ibnu Majah) Dan dalam riwayat lain: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (Hadis Riwayat  Bukhari)



Pemimpin memiliki tanggung jawab terhadap kebutuhan umatnya, termasuk mendapatkan akses jalan yang baik dan nyaman tanpa proyek galian. Jika jalan nyaman, ibu-ibu yang hendak melahirkan menuju rumah sakit tidak akan risau. Sebaliknya, jalan penuh galian mengakibatkan kemacetan menempatkan nyawa dalam bahaya. Sudah ada korban kecelakaan karena pengemudi atau pejalan kaki masuk ke lubang  galian. 



Kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiallahu‘anhu menjadi teladan untuk para penguasa hari ini.  Beliau menangis dan gelisah hanya karena seekor keledai tergelincir kakinya di jalan berlubang di Irak. Ketika sang ajudan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?”, Amirul Mukminin dengan tegas menjawab: “Apakah engkau sanggup menjawab dihadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”



Lantas, bagaimana dengan tanggung jawab penguasa yang tak peduli dengan kondisi masyarakat akibat jalan rusak akibat proyek galian jalan yang pastinya berlubang kemudian lambat untuk diperbaiki atau tak pernah membuat jalan mulus lagi setelah proyek galian selesai bahkan miris malah dikorupsi tender proyeknya? Para penguasa seperti ini, hendaknya merenungi sabda Rasulullah saw.: “Jabatan (kedudukan) itu pada permulaannya penyesalan, pertengahannya kesengsaraan dan akhirnya adalah azab pada hari kiamat.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani)



Andai saja, masyarakat merenung, berpikir, dan berusaha untuk menemukan solusi atas semua problematika ini. Maka, mendapatkan jalan raya yang bagus, baik, bebas macet dan nyaman di segala arah bukanlah angan-angan semata. Mendapatkan fasilitas, infrastruktur jalan tanpa adanya proyek galian atau penjaminan hidup yang layak akan menjadi kenyataan. Dan jawabannya, Islam Kafahlah yang mampu untuk mewujudkannya. Karena dalam syariat Islam, pemimpin (khalifah) merupakan junnah-nya umat, bertugas untuk menjalankan sebenar-benarnya tugas seorang pemimpin. Wallahualam bissawab.[]



Posting Komentar

0 Komentar