Sudan Merana di Bawah Cengkeraman Kepentingan Barat

 



#EDITORIAL – Belum terhenti darah tertumpah di Gaza, dunia dikejutkan oleh berita genosida di Sudan. Pada 26 Oktober 2025, Al-Fasher, ibu kota negara bagian Darfour Utara daerah barat Sudan, menjadi saksi pembantaian 2.227 rakyat sipil tidak berdosa dan pengusiran 393 ribu warganya oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Pasukan yang dikomandoi Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo ini berhasil memukul mundur tentara Sudan dan merebut ibu kota setelah pengepungan selama lebih 18 bulan.

Peristiwa ini adalah puncak krisis yang sudah berlangsung lama. Beritanya baru viral karena tertutup isu Gaza, padahal situasinya tidak kalah mengerikan. Cara-cara yang dilakukan RSF dalam upaya genosida bahkan lebih brutal. Selama pengepungan, 1,2 juta penduduk kota dibiarkan lapar dan bertahan hanya dengan memakan pakan hewan. Tidak sedikit kaum perempuan yang dirudapaksa sebelum dibunuh bersama anak-anak mereka. Kaum laki-lakinya, tua maupun muda, disiksa dengan kejam, digantung di tempat-tempat umum, lalu ditembak secara massal. Semua itu sengaja mereka rekam dan videonya disebar ke seluruh dunia.

Krisis Buatan

Benih krisis Sudan sebetulnya sudah berlangsung sejak sangat lama. Persisnya sejak Inggris dan Mesir resmi menguasai wilayah ini dan membentuk pemerintahan bersama (kondominium) Britania Raya dan Mesir, yang dikenal sebagai Sudan Anglo-Mesir pada 1899. Perlu diketahui, bahwa pada masa Kekhalifahan Utsmani, Sudan secara efektif termasuk dalam bagian dari wilayah kegubernuran Mesir. Hal ini terjadi setelah pasukan Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir di bawah Utsmani berhasil menaklukkannya pada 1820–1821.

Lalu pada 1882, Inggris dengan kekuatan militernya berhasil menganeksasi Mesir dan mengambil alih kendalinya dari Kekhalifahan Utsmani. Sejak saat itu, Mesir dan seluruh wilayahnya secara de facto menjadi daerah jajahan (koloni) Inggris, meski secara hukum internasional (de jure) tetap menjadi bagian otonom bagi Kekhalifahan Utsmani.

Pada 1898, seorang tokoh agama yang anti-imperialisme bernama Al-Mahdi (Muhammad Ahmad) melakukan pemberontakan di Sudan. Namun, pasukan Inggris dan Mesir berhasil menumpas pemberontakan tersebut, dan pada 1899 keduanya mendirikan pemerintahan bersama (kondominium) dengan nama Sudan Anglo-Mesir tadi. Sejak saat itulah, kondisi Sudan terombang-ambing di antara kepentingan kolonialisme Inggris dan kenaifan Mesir.

Kondisi ini terus berjalan, baik ketika pada 1914 Inggris mengubah status Mesir menjadi wilayah protektorat sebagai respons atas sikap Khilafah Utsmani yang saat Perang Dunia I memilih bergabung dengan Blok Sentral untuk melawan Inggris, maupun saat Inggris “memerdekakan” Mesir dari status protektorat secara sepihak pada 1922.

Dalam hal ini, Sudan sengaja ditinggalkan dengan status yang tidak jelas bersama berbagai masalah yang belum terselesaikan. Inggris tampak sengaja menunda penyelesaian masalah Sudan ini agar bisa secara bertahap mengambil kendali lebih besar atas Kondominium Anglo-Mesir. Caranya adalah, dengan memarginalisasi pengaruh Mesir secara bertahap dalam administrasi Sudan dan mengambil alih kendali langsung atas pemerintahan Sudan untuk dijadikan sebagai koloni mahkota.

Puncaknya terjadi pada 1924 ketika Inggris benar-benar memisahkan administrasi Sudan Utara dan Selatan, serta memerintahkan penarikan semua pasukan dan pegawai negeri sipil Mesir dari Sudan setelah terbunuhnya Gubernur Jenderal Sir Lee Stack di Kairo. Inilah yang pada akhirnya memicu ketegangan dan kerusuhan nasionalis lebih lanjut di kedua negara. Terlebih kala itu, Inggris sengaja membuat kebijakan-kebijakan yang sangat memengaruhi perkembangan wilayah utara dan selatan Sudan hingga berkontribusi besar pada perpecahan pada masa depan, termasuk setelah Sudan “dimerdekakan” pada 1956.

Inggris, misalnya, menerapkan kebijakan “pintu tertutup” (closed door ordinances) yang memisahkan Sudan bagian utara dan selatan untuk semua tujuan praktis. Melalui kebijakan ini, Inggris membatasi warga Sudan utara untuk memasuki atau bekerja di wilayah selatan dan sebaliknya dari selatan ke utara. Dalam hal pembangunan, Inggris lebih memperhatikan bagian utara, sedangkan bagian selatan dibiarkan terbelakang. Bahkan, di bagian selatan, Inggris melakukan kebijakan ekonomi laissez-faire sehingga terjadi perampasan sumber daya ekonomi besar-besaran dan menimbulkan berbagai konflik dan kekerasan.

Walhasil, terjadilah gap ekonomi yang lebar antara Sudan bagian utara yang dihuni penduduk Arab-Muslim dan bagian selatan yang berpenduduk lokal serta mayoritasnya beragama Kristen atau Animis. Terlebih Inggris juga mendorong penggunaan bahasa Inggris dan memfasilitasi peran misionaris Kristen di Sudan bagian selatan untuk melakukan kristenisasi sekaligus merevitalisasi adat istiadat lokal Afrika.

Semua kebijakan ini jelas-jelas ditujukan untuk membatasi pengaruh agama, ekonomi, budaya, dan politik Islam dari utara. Dampaknya, kebijakan ini menciptakan jurang pemisah yang mendalam, baik dalam aspek politik, sosial, budaya, dan agama di antara kedua wilayah tersebut.

“Kutukan” Sumber Daya Alam

Ambisi Inggris untuk menguasai penuh Sudan sejatinya sangat mudah dipahami. Sudan terutama bagian selatan adalah negeri dengan sumber daya melimpah ruah. Cadangan minyak bumi, gas alam, dan emasnya sangat signifikan. Negara ini pun kaya akan mineral industri seperti bijih besi, tembaga, kromit, mangan, gipsum, seng, bahkan uranium.

Sudan juga memiliki lahan subur dan potensi besar di sektor pertanian, seperti kapas, wijen, sorgum, dan milet, sampai-sampai Sudan sempat dikenal sebagai “keranjang makanan” Afrika (Sudan, the food basket of Africa atau “breadbasket“).

Sebagai negara pengusung kapitalisme, Inggris tentu tidak bisa menyembunyikan sifat rakusnya untuk menjajah dan menguasai seluruh potensi Sudan sendirian. Hanya saja, pasca-PD II negara-negara Barat (Eropa) di bawah tekanan PBB (AS yang ingin merebut posisi) telah kadung sepakat untuk mengakhiri okupasi militeristis dan kolonialisme dengan memerdekakan seluruh daerah eks jajahannya. Oleh karena itu, bentuk penjajahan pun mulai berkamuflase dari yang tadinya bersifat fisik menjadi penjajahan yang bersifat politik dan ekonomi melalui pembentukan para penguasa boneka.

Untuk menyukseskan penjajahan gaya baru ini, Inggris pun membuat berbagai skenario pecah belah dan menciptakan perang proksi yang dinarasikan sebagai “perang saudara” atau “perang antar-etnik” di Sudan. Ndilalahnya, ketika Sudan dimerdekakan pada 1956, struktur pemerintahannya didominasi oleh elite dari Sudan utara yang memang lebih siap dibanding selatan.

Pada akhirnya, ketegangan yang berakar dari kebijakan kolonial ini menyebabkan “perang saudara” berkepanjangan. Terlebih kemudian masuk para pemain baru, terutama Amerika yang ingin turut membangun pengaruh ekonomi dan politik, baik di Sudan sendiri, maupun di kawasan Timur Tengah melalui pengaruh politiknya di Sudan. Tentu saja keterlibatan AS dalam konflik Sudan ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan kepentingan nasional, seperti potensi AS sebagai salah satu penerima minyak bumi terbesar dari Sudan Selatan, serta kepentingan regional yang lebih luas.

Intervensi AS selalu dilakukan dengan dalih mendukung transisi demokrasi di Sudan dan berupaya membangun pemerintahan sipil sebagai simbol keberhasilan demokratisasi. Setidaknya ada dua peperangan besar sebelum terjadinya pemisahan Sudan Selatan pada 2011, yaitu Perang Sudan Pertama (1955–1972), yakni upaya pemberontakan Sudan Selatan atas kontrol Utara, serta Perang Sudan Kedua (1983–2005) yang antara lain dipicu pemberlakuan syariat Islam di seluruh negeri oleh pemerintahan Utara.

Perang Sudan Kedua ini merupakan perang terpanjang yang pernah tercatat, dan dalam periode itu terjadi beberapa kali pergantian rezim (kudeta berdarah) yang diakhiri intervensi AS dan PBB hingga terjadi perjanjian perdamaian komprehensif pada 2005. Namun, meski perdamaian sudah ditandatangani, tidak berarti Sudan benar-benar damai. Konflik sporadis terus terjadi di berbagai penjuru Sudan, baik di utara, selatan, maupun di bagian barat (Darfour).

Di selatan, enam tahun kemudian (2011), AS dan PBB melakukan intervensi kembali dengan memaksa Sudan yang kala itu masih di bawah pengaruh Inggris melakukan referendum atas nama slogan demokratisasi. Hasilnya, 99% rakyat Sudan Selatan memilih berpisah dari Sudan (bagian utara) dan menjadi “negara merdeka” dengan ibu kota Juba. Adapun di bagian barat Sudan, pemberontakan berbagai suku pun terus terjadi akibat ketidakpuasan mereka atas pemerintahan Utara di bawah kepemimpinan Omar al-Bashir.

Berpisahnya Sudan Selatan telah menyebabkan Sudan Utara jatuh ke dalam krisis yang parah. Pasalnya, pemisahan itu telah berakibat hilangnya 70% sumber daya—terutama minyak—yang memang lebih banyak ada di Selatan. Padahal, sebelumnya pun pemerintahan utara sudah dilanda krisis politik dan ekonomi yang parah.

Target Pelemahan oleh Negara Barat

Sejak tampil sebagai pemimpin kapitalisme global, AS tentu tidak ingin membiarkan Inggris menjadi saingan. Berbagai upaya dilakukan untuk menyingkirkan pengaruh politik Inggris dan anteknya di kawasan, termasuk di wilayah Sudan. Motifnya sangat jelas, yakni penguasaan sumber daya alam dan merealisasikan mimpinya membangun hegemoni politik di bawah tagline Proyek Timur Tengah Baru dengan menjadikan negara hoaks Zion*s Israel sebagai jangkar. Apalagi AS melihat bahwa dari rahim krisis Sudan telah lahir faksi-faksi Islam yang menyuarakan penerapan syariat Islam, bahkan beberapa rezim pemerintahan memang secara formal menjadikan Islam sebagai UUD.

Fakta-fakta ini tentu bisa mengancam bagi kepentingan strategisnya di kawasan. Dikhawatirkan, politik Islam dan perkembangan pergerakan Islam itu akan meluas pengaruhnya dan menimbulkan instabilitas lebih lanjut di wilayah Afrika, bahkan akan menciptakan pusat konflik dari pantai Afrika Barat hingga ke Laut Merah. Jangan lupa, AS sejak lama sedang terus berusaha mengikat negara-negara eks jajahan Inggris di Afrika dan Timur Tengah ke dalam poros politiknya.

Terbaru, AS berupaya mengikat negara-negara tersebut dengan perjanjian Abraham Accord yang intinya menormalisasi hubungan mereka dengan Zion*s Israel mengikuti Mesir dan Yordania. Negara yang sudah berhasil diikat adalah Uni Emirat Arab  (UEA) dan Bahrain. Sementara itu, Sudan sendiri sudah masuk dalam Perjanjian Abraham pada Januari 2021. Namun, ketidakstabilan di Sudan telah menunda keputusan negara tersebut untuk menandatangani perjanjian bilateral penuh untuk menormalisasi hubungan secara resmi dengan Israel.

Situasi politik Sudan memang sangat pelik hingga banyak pihak merasa pesimis konflik di sana bisa berakhir dengan baik. Alih-alih selesai, pada 15 April 2023 lalu, perang saudara yang besar malah pecah lagi, yakni ketika dua kekuatan militer Sudan—Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan bentrok dengan RSF yang dikomandoi Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti). Padahal, dua tahun sebelumnya, yakni pada 2021, pasukan pemerintah dan paramiliter ini justru bekerja sama menumbangkan pemerintahan militer Islamis Omar al-Bashir atas desakan masyarakat yang sudah terpapar propaganda global soal demokratisasi. Pemicu konflik adalah alotnya rencana integrasi RSF ke dalam SAF, serta soal pembagian kekuasaan dalam pemerintahan baru di bawah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (SAF).

Namun di balik itu semua, sesungguhnya ada alasan lain yang berkelindan dalam konflik, yakni perebutan kendali atas sumber-sumber emas dan sumber daya lain di berbagai wilayah Sudan. Terutama bagi RSF yang saat pemerintahan Al-Bashir mendapat manfaat paling banyak sebagai imbalan bagi kesetiaan dan penjagaannya atas keberlangsungan rezim hingga bisa berjalan selama 30 tahun.

Sejak perang terakhir ini pecah, RSF berada di atas angin. Namun seperti karakter asalnya, RSF kerap melakukan kekejian atas mereka yang dianggap sebagai pihak lawan. Terhitung sejak konflik meletus hingga penyerangan pangkalan militer Al-Fasher di Darfour pada 26 Oktober 2025 lalu, sudah lebih dari 150.000 warga tewas dan 12 juta orang mengungsi. Sampai-sampai PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia dan menyebut Sudan sebagai rumah bagi krisis pengungsian terbesar di dunia.

Ndilalahnya, isu ini telah menyeret nama beberapa negara yang diduga sudah lama terlibat dalam berbagai konflik. Di antaranya adalah UEA, Saudi, Mesir, bahkan Zion*s Israel. UEA, misalnya, selama ini memang telah menjadi negara yang menjadi tujuan utama penyelundupan emas oleh milisi yang kemudian disalurkan ke pasar global. Itulah sebabnya Dubai dikenal sebagai pusat perdagangan emas terbesar dunia.

Lalu sebagai kompensasinya, UEA memasok senjata kepada RSF terutama melalui Chad dan Libya. Hanya saja, meski pemberitaan soal keterlibatan UEA dan Israel begitu santer akhir-akhir ini, tetap saja tidak bisa menghapus fakta bahwa AS-lah pemain utamanya. Bagaimana pun UEA, Saudi, Mesir, dan Zion*s—setelah berhasil menyingkirkan pengaruh Inggris—adalah anak-anak asuh AS. Melalui mereka, AS sangat berkepentingan untuk memastikan kondisi Sudan tidak membahayakan posisinya, bahkan membantu mengukuhkan eksistensinya.

Oleh sebab itu, sebagaimana skenario pemisahan Sudah Selatan dari utara, target konflik ini adalah memecah lagi wilayah Sudan yang tersisa dengan garis timur dan barat sehingga wilayah Darfour (Sudan bagian barat) terpisah dari Karthoum (Sudan Utara). Dengan cara ini tentu akan makin lemahlah persatuan umat Islam, makin mudah pula penjajahan, serta makin mudah mengalienasi potensi Islam yang masih kuat di Sudan.

Apa yang Harus Dilakukan Umat Islam?

Sebagaimana Gaza, rakyat Sudan tengah mengalami penderitaan luar biasa. Mereka menjerit meminta tolong kepada kita saudara muslimnya. Mereka nyaris putus asa berharap pada para penguasa muslim dunia yang hanya peduli pada kursi kekuasaannya. Apalagi para penguasa Arab yang jelas-jelas telah mengkhianati mereka, yakni dengan cara bersekongkol bersama negara imperialis Barat yang justru telah mengobok-obok kehidupan mereka.

Selama ini, dunia termasuk umat Islam, telah dibodoh-bodohi dengan propaganda krisis Sudan sebagai konflik etnis atau perang saudara. Alhasil, mereka begitu tega membiarkan rakyat Sudan menderita dalam jangka waktu yang sangat lama. Hal ini adalah akibat bercokolnya nasionalisme yang dicekokkan penjajah pada mereka. Hingga solidaritas seagama pun nyaris hilang tidak bersisa. Padahal, faktanya krisis Sudan adalah skenario licik negara adidaya yang melibatkan negara-negara boneka dan antek lainnya. Targetnya adalah perebutan pengaruh politik yang ujung-ujungnya demi merampok sumber daya alam di Sudan yang begitu melimpah ruah.

Bahkan bukan hanya di Sudan. Hal yang sama sesungguhnya juga terjadi di wilayah lainnya, terutama di negeri-negeri muslim Afrika. Inilah potret umat Islam di bawah cengkeraman kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme global. Mereka menjadi korban kerakusan negara-negara adidaya, dan dipecah belah atas nama negara bangsa dengan para penguasa bonekanya. Lalu mereka pun dijauhkan dari identitas Islam yang sejatinya menjadi kunci kemuliaan dan kebangkitan mereka. Bahkan mereka dicekoki narasi bahwa Islam adalah sumber penderitaan dan keterpecahbelahan.

Sebelum sistem destruktif ini berkuasa, umat Islam adalah umat yang kuat dan digdaya. Selama belasan abad mereka dipersatukan oleh satu kepemimpinan bernama Khilafah yang menerapkan aturan Islam yang begitu sempurna. Nyaris 2/3 dunia ada di bawah naungannya. Rakyatnya hidup sejahtera dan keagungan peradabannya tiada dua. Runtuhnya Khilafah yang terjadi pada 1924 adalah musibah terbesar yang menimpa umat Islam. Jumlah mereka yang begitu besar tidak ubah seperti buih di lautan.

Begitu pun kekayaan alam yang melimpah ruah justru menjadi kutukan. Ini semua akibat mereka tidak lagi hidup dengan aturan-aturan Islam, hingga sebagaimana Allah firmankan bahwa kehidupan tanpa Islam pasti dipenuhi kesempitan. Oleh karena itu, umat Islam semestinya sadar bahwa posisi mereka tidak akan pernah berubah kecuali kembali pada Islam. Mereka akan sulit menolong kaum muslim Gaza, Palestina, muslim Sudan, India, Rohingya, Uighur, dan yang lainnya, sebelum bersatu di bawah naungan kepemimpinan politik Islam. Mereka akan sulit berharap kembali menjadi umat yang kuat dan mampu melawan kezaliman global yang ditimbulkan oleh negara-negara Barat, jika mereka tidak kembali punya negara global yang bervisi global, yakni Khilafah Islam.

Tentu saja Khilafah ini tidak akan tegak dengan sendirinya, meski keberadaannya telah dijanjikan. Khilafah harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan, sebagaimana dahulu Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya telah mencontohkan. Caranya adalah dengan menapaki jalan dakwah ilal Islam. Caranya dengan membangun kesadaran di tengah umat tanpa kekerasan, baik tentang kesempurnaan Islam mulai dari konsep keimanannya dan hukum-hukumnya, serta tentang bagaimana hukum-hukum itu bisa diterapkan dan menyolusi berbagai persoalan kehidupan hingga terwujud rahmat bagi seluruh alam.

Dakwah menegakkan Khilafah ini tentu tidak bisa dilakukan sendirian, melainkan harus berjemaah sebagaimana yang juga Rasulullah ﷺ contohkan. Jemaah ini harus dipastikan hanya berkhidmat demi Islam, yang anggota-anggotanya diikat hanya oleh pemikiran Islam, serta bergerak secara politik di seluruh negeri untuk mempersatukan umat Islam. Jadi, bukan jemaah yang menyeru pada nasionalisme dan hanya berorientasi pada kekuasaan meski berkompromi dengan kebatilan.

Posting Komentar

0 Komentar