Shazia Alma
#TelaahUtama — Beberapa
waktu lalu, media sosial diramaikan oleh beredarnya video siswa yang menyiarkan
secara langsung proses Tes Kemampuan Akademik (TKA) melalui aplikasi TikTok.
Aksi tersebut memicu perdebatan luas di dunia maya dan dunia pendidikan. Banyak
pengguna internet menilai perilaku itu lucu dan menghibur, sementara sebagian
lainnya menyayangkannya sebagai bukti menurunnya etika dan integritas pelajar.
Berdasarkan laporan Kompas.com (04/11/2025), Badan Standar, Kurikulum,
dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikdasmen menilai tindakan itu sebagai
pelanggaran berat terhadap aturan ujian nasional, dengan sanksi pembatalan
nilai dan kemungkinan pemberian nilai nol. Namun, di balik kegaduhan digital
itu, terselip pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin generasi muda bisa
menganggap ruang ujian—tempat yang seharusnya sakral dan penuh tanggung
jawab—menjadi bahan tontonan publik?
Fenomena ini tidak dapat
dilepaskan dari arah pendidikan kita yang kian kehilangan ruh moral. Dalam
banyak kasus, siswa tidak lagi melihat ujian sebagai amanah, tetapi sekadar
kewajiban administratif yang harus diselesaikan. Bahkan, sebagian merasa perlu
mengubahnya menjadi hiburan agar lebih “menarik” di mata dunia maya. Padahal,
dalam pandangan Islam, pendidikan adalah proses membangun manusia yang
utuh—akal, hati, dan perilakunya. Allah Swt. menegaskan, “Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya.” (Surah Al-Baqarah
Ayat 31), yang menandakan bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan rasional,
melainkan juga peneguhan martabat manusia yang berilmu dan beradab.
Dalam khazanah Islam
klasik, pendidikan tidak hanya bermakna pengajaran (ta‘lim), tetapi juga
pembinaan (tarbiyah) dan pendisiplinan moral (ta’dib). Menurut Prof.
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam karyanya The Concept of Education in
Islam (1980), tujuan pendidikan Islam adalah ta’dib—yakni penanaman
adab yang menempatkan segala sesuatu pada tempat yang benar. Dari sini kita
memahami bahwa ujian bukan sekadar mengukur kemampuan kognitif, tetapi juga
ujian moral: bagaimana seseorang bersikap jujur, amanah, dan menghormati
aturan. Ketika ujian dijadikan konten untuk hiburan, sejatinya yang diuji bukan
kemampuan akademik, melainkan kematangan adab.
Dalam sejarah peradaban
Islam, lembaga pendidikan tidak pernah memisahkan ilmu dari nilai. Pada masa
kekhalifahan Abbasiyah, Bayt al-Hikmah di Baghdad (abad ke-9 M) menjadi pusat
ilmu pengetahuan yang memadukan penelitian dan spiritualitas. Ulama seperti al-Kindi
dan al-Farabi menekankan bahwa ilmu yang tidak dibarengi adab akan melahirkan
kesombongan, bukan kemajuan. Begitu pula pada masa Madrasah Nizamiyah yang
didirikan Nizam al-Mulk, pendidikan diarahkan untuk mencetak ulama sekaligus
negarawan berakhlak, seperti Imam al-Ghazali, yang menegaskan dalam Ihya’
Ulumuddin bahwa ilmu tanpa amal dan adab adalah kesia-siaan.
Dalam konteks modern,
kehilangan adab ini tampak jelas dalam cara sebagian pelajar memandang media
sosial. Teknologi yang seharusnya menjadi sarana dakwah dan penyebaran manfaat
berubah menjadi ajang pencitraan dan hiburan tanpa batas. Hal ini menunjukkan
adanya krisis nilai di era digital, ketika popularitas lebih dihargai daripada
kejujuran. Beberapa komentar di platform X (Twitter) bahkan menganggap
peristiwa itu “tidak perlu dibesar-besarkan,” sementara yang lain menganggapnya
“potret pendidikan yang kehilangan arah.” Dua pandangan ekstrem ini
menggambarkan kebingungan kolektif kita dalam menempatkan moral di tengah
budaya digital.
Pandangan Islam menawarkan
jalan keluar yang berakar pada nilai amanah. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an
Surah Al-Mu’minun Ayat 8, “Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah dan
janjinya.” Amanah mencakup seluruh tanggung jawab, termasuk kejujuran
akademik. Dalam konteks pendidikan, amanah berarti menjaga proses belajar dari
manipulasi, ketidakjujuran, dan sikap meremehkan nilai ilmu. Rasulullah ﷺ
bersabda, “Barang siapa menipu maka ia bukan dari golongan kami.” (Hadis
Riwayat Muslim)—menjadikan ujian sebagai bahan hiburan berarti telah melanggar
nilai dasar ini.
Pemikir Islam kontemporer
seperti Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Nizham al-Islam (1953),
menekankan bahwa sistem pendidikan harus membentuk manusia dengan pola pikir
dan pola sikap Islam. Pendidikan, menurutnya, adalah sarana pembentukan
karakter ideologis—yakni manusia yang berpikir dengan akal dan hati yang
terikat pada syariat. Bila pendidikan hanya diarahkan pada capaian angka dan
eksistensi digital, maka yang lahir bukanlah insan beriman, melainkan manusia
yang kehilangan makna ilmu itu sendiri.
Dari sinilah urgensi
rekonstruksi pendidikan Islam muncul. Kita tidak cukup memperbaiki sisi teknis
seperti pengawasan ujian atau kebijakan disiplin. Yang jauh lebih penting
adalah menata ulang ruh pendidikan: membangun sistem yang menanamkan kesadaran
spiritual, menumbuhkan rasa amanah, dan menegakkan adab dalam setiap aspek
proses belajar. Guru harus berperan sebagai murabbi—pendidik yang
menumbuhkan karakter, bukan sekadar pengajar materi. Lingkungan sekolah harus
kembali menjadi ruang penanaman nilai, bukan sekadar tempat memproduksi nilai
angka.
Kasus “live TikTok saat
ujian” seharusnya menjadi momentum refleksi bersama bahwa pendidikan kita telah
terjebak dalam budaya viral yang mengaburkan makna sejati belajar. Pendidikan
bukan arena pertunjukan, melainkan ladang pembentukan manusia beriman dan
beradab. Ujian sejati bukan di hadapan kamera, tetapi di hadapan Allah—tentang
seberapa jujur kita dalam menunaikan amanah ilmu. Bila pendidikan kembali
berorientasi pada nilai Islam yang utuh, maka generasi yang lahir bukan sekadar
cerdas, tetapi juga berakhlak dan bertanggung jawab atas ilmunya. Di sanalah
letak hakikat pendidikan yang sesungguhnya: mengembalikan ilmu kepada adab, dan
adab kepada iman. Wallahualam.[]

0 Komentar