Alin F.M.
#Jaktim — Dilansir dari megapolitan.kompas.com,
28 Oktober 2025, sejumlah warga mengeluhkan jembatan penyeberangan orang (JPO)
di Halte Transjakarta Cawang Baru, Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, yang
gelap gulita akibat lampu penerangan mati sejak beberapa hari terakhir. “Sudah
tiga hari mati, tidak tahu penyebabnya. Jadi kalau lewat JPO itu gelap sekali,
bahaya,” kata warga sekitar, Winda (27), di Jatinegara, dikutip dari Antara,
Selasa (28/10/2025). Gangguan penerangan di JPO Cawang Baru bukan kali pertama
terjadi.
Keluhan warga tentang
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Halte Transjakarta Cawang Baru, yang
diselimuti gelap gulita selama berhari-hari bukan sekadar laporan kerusakan
lampu biasa; ini adalah narasi kegagalan sistem pemeliharaan publik yang
berulang.
Fakta bahwa penerangan di
anak tangga dan lorong JPO mati total, sementara lampu di area halte tetap
menyala dan menciptakan sebuah ironi: infrastruktur yang dibangun untuk
menjamin keselamatan pejalan kaki justru menjadi sumber ancaman baru. Kondisi
gelap gulita ini seketika mengubah JPO menjadi ruang yang memicu dua
kekhawatiran serius.
Yang memperburuk situasi
adalah pengakuan bahwa gangguan penerangan ini bukan yang pertama kali terjadi.
Pernyataan ini menjadi "pukulan telak" terhadap kinerja Pemerintah
Kota Jakarta Timur. Ini mengindikasikan bahwa masalahnya bukan terletak pada
insiden tunggal (seperti konslet), melainkan pada kelalaian pemeliharaan rutin
dan lambatnya respons.
Ketika sebuah fasilitas
vital dibiarkan tidak berfungsi selama berhari-hari, apalagi setelah berulang
kali rusak, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa ada tingkat keabaian serius
dari pimpinan dan unit terkait terhadap infrastruktur yang secara langsung mempengaruhi
keselamatan ribuan warga setiap hari.
Harapan warga sangat
sederhana yaitu agar fasilitas dasar berfungsi. Namun, kegagalan untuk memenuhi
harapan ini dalam waktu cepat menunjukkan adanya prioritas yang keliru dalam
birokrasi, di mana keselamatan publik seolah diletakkan di bangku tunggu.
Kasus JPO Cawang Baru,
yang gelap gulita selama berhari-hari bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan
cerminan kelemahan sistem dalam menghadapi kelalaian yang berulang. Dalam
kerangka birokrasi modern, perbaikan sering kali harus menunggu laporan berjenjang,
anggaran, dan tekanan publik (virality), yang semuanya memakan waktu
berharga dan membahayakan warga.
Di masa kegemilangan
Islam, terutama pada era Kekhilafahan sampai abad pertengahan, konsep pelayanan
publik dan pemeliharaan infrastruktur tidak hanya dianggap sebagai tugas
administratif, tetapi sebagai kewajiban
yang mengikat seorang penguasa. Kelalaian seperti kasus JPO Cawang Baru,
hampir tidak ada pada infrastruktur vital di pusat-pusat peradaban Islam karena
sistem pengawasan yang ketat.
Sebagai contoh nyata dari
masa kegemilangan Islam adalah penegakan hak jalan di Baghdad dan Kairo. Pada
masa kejayaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Dinasti Fatimiyah di Kairo,
pemeliharaan fasilitas umum adalah prioritas tinggi. Konsep hak jalan (haqq
at-tariq) benar-benar diterapkan. Fasilitas seperti jalan, jembatan, dan
pasar harus bebas dari segala bentuk dharar (bahaya) dan adhā
(gangguan). Jika ada keluhan tentang penerangan yang rusak, responsnya harus
segera. Di kota-kota besar, jalan-jalan utama dan area publik penting
dilengkapi dengan lampu minyak (lampu jalan primitif) yang dihidupkan setiap
malam oleh petugas khusus. Kelalaian petugas ini bisa berujung pada sanksi
berat karena dianggap melanggar amanah yang membahayakan publik.
Kemudian ada peran lembaga
hisbah, yaitu inspeksi publik. Lembaga yang paling relevan untuk kasus ini
adalah al-hisbah, yang dipimpin oleh seorang muhtasib. Muhtasib adalah semacam inspektur jenderal
kota yang memiliki wewenang luas, bukan hanya mengawasi timbangan di pasar,
melainkan juga menjaga ketertiban, dan paling yang terpenting adalah kualitas
dan keamanan fasilitas umum.
Tugas muhtasib terkait
infrastruktur adalah memastikan jembatan dan jalan dalam kondisi baik. Selain
itu, mengawasi kebersihan dan saluran air. Kemudian memerintahkan perbaikan
segera jika ada kerusakan yang mengancam keselamatan, seperti dinding bangunan
yang miring atau penerangan yang mati.
Jika ada JPO (atau setara
jembatan penyeberangan di masa itu) yang gelap gulita selama tiga hari, seorang
muhtasib bisa langsung menjatuhkan sanksi atau memecat petugas pemeliharaan di
wilayah tersebut karena dianggap lalai dalam tugas vital. Sikap "pemimpin
abai" adalah hal yang sangat ditentang karena menyalahi prinsip Siyasah
Syar'iyyah, yaitu tata kelola pemerintahan yang sesuai syariat.
Kelalaian membiarkan JPO
gelap adalah pengkhianatan terhadap amanah (khianat al-amanah). Allah
Swt. berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..." (Surah An-Nisa
Ayat 58)
Amanah ini diterjemahkan
menjadi tanggung jawab penuh pemimpin atas keselamatan rakyatnya (rii’ayah).
Rasulullah saw. bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya..."
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Prinsip ini menuntut bahwa
perbaikan lampu bukan lagi tugas administratif yang bisa ditunda, melainkan
kewajiban syar'i yang harus diprioritaskan melebihi kepentingan
birokrasi, sehingga mendorong respons yang segera dan tanpa kompromi.
Islam secara tegas
memerintahkan untuk menghilangkan segala bentuk bahaya dan gangguan di jalan
publik karena Islam mengeliminasi bahaya (adh-dharar). Keluhan warga
tentang gelapnya JPO adalah cerminan dari bahaya nyata (dharar). Hadis
Nabi saw. mengajarkan, "Iman itu ada tujuh puluh lebih cabangnya... dan
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan (bahaya) dari jalan."
(Hadis Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, tindakan
tercepat untuk menghilangkan bahaya (adh-dhararu yuzal) adalah wajib.
Ada mekanisme akuntabilitas (al-hisbah), yaitu lembaga hisbah yang dipimpin
oleh muhtasib adalah solusi institusionalnya. Lembaga ini berfungsi sebagai
mekanisme koreksi diri yang instan. Muhtasib tidak perlu menunggu viral atau
rapat, ia memiliki otoritas eksekutif
untuk mendatangi petugas, memerintahkan perbaikan di tempat, dan menjatuhkan
sanksi disiplin bagi yang lalai.
Kesimpulannya, jika
birokrasi saat ini lamban karena menunggu laporan dan tekanan media, maka
sistem Islam memastikan respons cepat karena didorong oleh penegakan amanah
berlandaskan akidah dan didukung oleh otoritas muhtasib berlandaskan landasan
hukum. Hanya dengan menginternalisasi prinsip bahwa setiap kelalaian fasilitas
publik adalah pelanggaran serius yang harus ditindak seketika, maka keluhan JPO
gelap tidak akan pernah bertahan lebih dari beberapa jam di masa Islam kafah.
Dengan integrasi sempurna
antara akuntabilitas iman pemimpin dan kewenangan eksekutif inilah, sistem Islam kafah menjamin
JPO tidak akan padam, karena kegagalan infrastruktur publik adalah kegagalan
penguasa dalam mengurus rakyatnya.[]

0 Komentar