Membaca Wacana Pembatasan Game Melalui Cara Pandang Islam terhadap Pembentukan Kepribadian Generasi

 



 

Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Pemerintah Indonesia kembali melempar wacana pembatasan game online setelah muncul kekhawatiran bahwa game berbasis senjata seperti PUBG berpotensi memicu normalisasi kekerasan di kalangan remaja. Dalam laporan ANTARA News berjudul “Prabowo considers restricting online games after Jakarta school blasts” (9 November 2025), Presiden Prabowo Subianto meminta jajaran kabinet meninjau dampak negatif game pertempuran karena dianggap menghadirkan unsur penggunaan senjata yang “mudah dipelajari” dan bisa memengaruhi psikologis remaja. Kekhawatiran tersebut menjadi sorotan publik karena muncul di tengah meningkatnya kasus kekerasan yang melibatkan remaja, baik di sekolah maupun di ruang publik. Sementara itu, Detikcom melalui laporan “Pakar: Jangan Tergesa-gesa Wacanakan Pembatasan PUBG” (9 November 2025), menampilkan suara pakar yang menilai bahwa pembatasan tidak boleh lahir dari reaksi emosional semata, sebab persoalan kekerasan pada remaja jauh lebih kompleks daripada sekadar keberadaan game.

 

Kecurigaan terhadap game sebagai pemicu kekerasan memang bukan hal baru. Banyak negara mempertimbangkan regulasi serupa, tetapi tidak sedikit pula yang menolak menganggap game sebagai penyebab tunggal. Di berbagai negeri, isu ini sering muncul ketika terjadi insiden tragis yang melibatkan anak muda, sehingga game dijadikan target paling mudah untuk disalahkan. Namun, dalam perspektif Islam, diskusi mengenai pengaruh game terhadap karakter tidak boleh berhenti pada hubungan langsung antara stimulus visual dan perilaku agresif. Islam memandang karakter manusia bukan sekadar hasil dari rangsangan luar, tetapi gabungan kompleks antara akidah, pola pikir, pembiasaan, lingkungan, dan peran negara.

 

Dalam konteks ini, wacana pembatasan game bisa dipahami sebagai bentuk hirasat al-ummah (upaya negara menjaga keamanan dan moral masyarakat). Namun, Islam menuntut pendekatan yang jauh lebih mendalam, ideologis, dan sistemik. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizb ut-Tahrir, dalam karyanya Nizham al-Tarbiyah fi al-Islam menegaskan bahwa negara wajib membangun pendidikan berbasis akidah untuk melahirkan syakhshiyyah Islamiyyah—kepribadian Islam yang kokoh akalnya dan kuat jiwanya pada generasi dan manusia secara umum. Menurutnya, pendidikan Islam bertujuan membentuk generasi yang memahami tujuan hidup sebagai hamba Allah, memiliki standar benar–salah yang terikat syariat, dan memiliki kesadaran untuk memberi manfaat bagi umat. Karena itu, Nabhani mengkritik keras sistem pendidikan sekuler modern yang membiarkan anak dibentuk oleh budaya bebas, media hiburan, atau tren digital tanpa kendali nilai.

 

Sejarah pendidikan Islam memberikan bukti bahwa peradaban Islam pernah menjaga karakter generasi secara efektif melalui sistem pendidikan dan intervensi negara. Madrasah Nizamiyah Baghdad, salah satu institusi pendidikan Islam terbesar abad pertengahan, sebagaimana dijelaskan dalam Cambridge History of Medieval Education, tidak hanya mengajarkan ilmu agama dan bahasa, tetapi membina akhlak, menguatkan kepribadian ruhiyah, dan menanamkan rasa tanggung jawab sosial. Negara menempatkan pendidikan sebagai tulang punggung peradaban, bukan sekadar layanan administratif. Di bawah sistem seperti itu, para remaja tumbuh dengan panduan moral yang kuat sehingga tidak mudah larut dalam kecenderungan destruktif.

 

Temuan empiris modern turut memperkuat alasan perlunya pendekatan pendidikan yang komprehensif. Riset di Iranian Journal of Psychiatry (2010) menemukan korelasi signifikan antara frekuensi bermain game dan peningkatan agresivitas remaja. Studi lain dalam Acta Biomedica (2022) yang meneliti remaja Timur Tengah menyimpulkan bahwa paparan berkepanjangan terhadap game kekerasan memperlemah empati dan meningkatkan kecenderungan impulsif. Meski demikian, para peneliti menyebut game bukan satu-satunya faktor—lingkungan keluarga, tekanan sosial, dan kondisi mental jauh lebih menentukan pembentukan kepribadian.

 

Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, pembatasan game hanya menjadi satu bagian kecil dari mekanisme perlindungan generasi. Islam tidak sekadar melarang, tetapi membina. Larangan tanpa pembinaan adalah pendekatan dangkal; sementara pembinaan tanpa regulasi juga tidak memadai. Pendekatan Islam lebih bersifat holistik.

 

Para konselor pendidikan Islam di Indonesia, sebagaimana dalam publikasi Pamomong: Pendidikan dan Pembelajaran (UIN Salatiga), menjelaskan bahwa kecanduan game sering berakar dari kehampaan emosional dan lemahnya relasi anak-orang tua. Konseling islami dengan pendekatan ruhiyah—menghadirkan nilai ibadah, kesadaran tentang tujuan hidup, dan pembiasaan akhlak—telah terbukti membantu anak membangun kontrol diri. Penekanan ini sejalan dengan prinsip Islam: memperbaiki jiwa sebelum memperbaiki perilaku.

 

Dalam kerangka politik pendidikan Islam sebagaimana dirumuskan oleh an-Nabhani, negara memiliki sejumlah kewajiban strategis:

1. Menata kurikulum berbasis akidah. Setiap mata pelajaran, termasuk sains dan teknologi, harus diarahkan untuk menguatkan pemikiran Islam, bukan sekadar keterampilan teknis. Dengan demikian, remaja memiliki pondasi moral yang kokoh untuk menilai mana hiburan yang konstruktif dan mana yang merusak.

2. Mengatur ruang digital dengan panduan syariat. Game yang mengandung kekerasan ekstrem, unsur pornografi, perjudian, atau pengabaian moral harus dilarang. Namun, negara tidak berhenti pada pelarangan: bisa memfasilitasi tumbuhnya industri game islami yang menanamkan iman sebagai dasar etika kerja sama, keberanian, kecerdasan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

3. Menghadirkan guru, musyrif, dan konselor berkepribadian Islam. Keteladanan adalah unsur utama pendidikan Islam. Guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi pembentuk ruhani generasi. Negara harus memastikan mereka memiliki kapasitas syakhshiyyah Islamiyyah dan kapabilitas membentuk kepribadian pada peserta didik.

4. Menguatkan keterlibatan keluarga dan masyarakat. Pembentukan karakter tidak dapat diserahkan hanya kepada sekolah. Negara perlu memastikan masyarakat hidup dalam kultur yang sehat—media terkontrol, lingkungan sosial aman, dan nilai-nilai Islam dihidupkan.

 

Jika negara hanya membatasi game tanpa membangun lingkungan nilai Islam yang kokoh, maka problem generasi tidak akan pernah selesai. Pembatasan hanya menutup pintu kecil, sementara pintu-pintu besar kehampaan spiritual dibiarkan terbuka. Realitas hari ini menunjukkan bahwa banyak anak haus bimbingan, mudah tersesat dalam dunia digital, dan mengalami krisis identitas karena hidup tanpa pegangan moral.

 

Game memang bisa memicu agresivitas, tetapi akar persoalan terbesar adalah sistem hidup sekuler yang memisahkan generasi dari tujuan penciptaannya. Sekularisme membuat hidup terasa tanpa arah, sehingga hiburan yang intens dan stimulasi kekerasan mudah mengambil alih ruang mental anak-anak. Islam menawarkan solusi yang jauh lebih mendalam: pendidikan sebagai sarana membangun iman, akhlak, dan akal sekaligus.

 

Jika negara menjadikan Islam sebagai asas dalam kurikulum, regulasi media, dan pembinaan kepribadian, maka teknologi tidak lagi menjadi ancaman, tetapi menjadi alat kemajuan. Kekuatan generasi tidak dihasilkan dari larangan-larangan teknis, tetapi dari keyakinan yang kokoh, pemikiran yang jernih, dan ruhiyah yang hidup.

 

Inilah pendekatan Islam sebagai solusi alternatif yang ditawarkan untuk kondisi saat ini secara ideologis dan historis: menjaga generasi dengan nilai—cara pandang hidup sahih (akidah Islam)—bukan sekadar larangan, melainkan juga membangun karakter melalui pendidikan yang komprehensif, bukan melalui reaksi sesaat terhadap krisis. Sejatinya, hanya dengan paradigma Islam seperti ini, harapan terwujudnya generasi muda dapat tumbuh menjadi pelanjut peradaban yang beriman, berilmu, dan berkepribadian mulia bukan utopis. Wallahualam bissawab.[]

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar