#EDITORIAL — Penyelidikan kasus ledakan bom di SMAN 72 Jakarta pada 27 Oktober lalu terus bergulir. Info terakhir menyebut bahwa siswa terduga pelaku ternyata membawa tujuh buah bom. Dua di antaranya meledak di lokasi masjid yang sedang melaksanakan salat Jumat hingga melukai 96 siswa. Dua lagi meledak di Taman Baca dan Bank Sampah, serta sisanya tidak meledak.
Sementara itu, kasus santri yang membakar asrama putri di Aceh Besar pada 31 Oktober sudah berlanjut pada tahap penyidikan. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, tetapi jumlah kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp2 miliar.
Pelakunya sendiri sudah diamankan oleh aparat setempat. Ia dijerat Pasal 187 KUHP yang mengatur tentang kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang. Namun, karena dipandang masih di bawah umur, pelaku akan diproses sesuai Sistem Peradilan Pidana Anak oleh peradilan setempat.
Bullying dan Imbas Buruk Media Sosial
Menilik dua kasus tersebut, tampak bahwa kejahatan yang dilakukan kedua pelaku tidak bisa disepelekan. Selain karena dampaknya begitu besar, baik berupa korban jiwa maupun materiel, pelakunya adalah anak remaja usia sekolah. Keduanya mengaku telah menjadi korban bullying, dan dengan cara itulah mereka berniat membalaskan dendam.
Bullying memang sudah menjadi isu yang memprihatinkan. Dari waktu ke waktu kasusnya terus meningkat signifikan, termasuk di lingkungan satuan pendidikan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut, pada 2022 jumlah kasusnya ada 194, sedangkan pada 2024 meningkat menjadi 573 kasus. Itu yang tercatat.
Selain jumlah kasusnya yang terus meningkat, kadar kekerasan, baik model maupun dampaknya pun kian mengerikan. Sebelum dua kasus ini muncul, marak kasus korban bully yang nekat bunuh diri (bundir). Sepanjang 2025, setidaknya ada 25 kasus anak bundir yang sebagiannya akibat bullying. Namun mirisnya, semua itu tidak juga memberi pelajaran. Para pelaku bullying tetap saja bergeming. Bahkan pada kasus Timothy, mahasiswa UNUD yang bundir karena bully, kematiannya pun masih saja jadi objek bully. Benar-benar memprihatinkan!
Penyebab maraknya kasus bullying, termasuk di satuan pendidikan tentu melibatkan banyak faktor. Salah satu yang berkontribusi besar adalah pengaruh dari media sosial. Terkait hal ini telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penggunaan media sosial dengan maraknya perilaku bullying dan kekerasan lain yang dilakukan oleh remaja.
Hal ini mudah dipahami, mengingat dengan segala kecanggihannya, termasuk luasnya medan jangkauan, media sosial telah menjadi alat efektif bagi penyebaran berbagai konten negatif yang dapat memengaruhi akal dan jiwa para penggunanya, terutama para remaja dengan kepribadian yang masih labil.
Terlebih di tengah fenomena disfungsi peran orang tua, serta kian rapuhnya struktur keluarga dan masyarakat, termasuk disorientasi lembaga pendidikan, media sosial seolah sudah berganti peran menjadi guru dan teman bagi para remaja yang bermasalah secara sosial. Dari media sosiallah mereka mencerap berbagai nilai, seperti kebebasan, permisifisme, kekerasan, hedonisme, dan lain-lain. Pada kasus bullying, semua ini sama-sama berlaku baik pada pelaku, maupun korban.
Misalnya pada kasus ledakan di SMAN 72. Terduga pelaku diketahui sering menjadi korban bullying teman-temannya. Ia disebut-sebut suka menyendiri dan senang menggambar sesuatu yang berbau ekstremisme dan menyukai video perang. Rupa-rupanya ia terinspirasi untuk membalas dendam hingga belajar merakit bom dari platform media sosial.
Tidak heran, pada senjata mainan yang diduga milik pelaku dan ditemukan di lokasi kejadian, terdapat coretan yang merujuk pada pelaku-pelaku penembakan masjid di luar negeri seperti Brenton Tarrant, Luca Traini, dan Alexandre Bissonnette. Juga terdapat simbol seperti “14 Words” dan “1189” yang sering dikaitkan dengan ekstremisme kanan dan dipastikan ia “kenal” melalui media sosial.
Menambah Suram Potret Dunia Pendidikan
Tentu saja, yang paling pantas disorot terkait kasus ini adalah dunia pendidikan. Betapa tidak, merebaknya kasus bullying dengan kasus-kasus kekerasan yang mengikutinya, sejatinya hanya menambah panjang daftar persoalan yang menyangkut dekadensi moral para remaja saat ini, seperti merebaknya pergaulan bebas, perilaku menyimpang, budaya kekerasan, perilaku hedon, niradab, dll..
Semua fakta ini pada akhirnya menyisakan pertanyaan, ada apa dengan dunia pendidikan kita sehingga output-nya sedemikian menyedihkan? Mengapa sistem pendidikan kita tampak mandul menciptakan profil generasi cemerlang yang punya karakter kuat dan bisa membawa kebaikan bagi bangsa dan negara?
Apa yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, tampak jauh panggang dari api.
Begitu pun ketika disebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, semuanya tampak utopis. Faktanya, sistem pendidikan yang diterapkan hari ini kian kehilangan visi, bahkan makin terseret arus liberalisasi dan kapitalisasi.
Terbukti, arah dan tujuan, serta kurikulum pendidikan hari ini hanya fokus pada aspek-aspek materiel dan jauh dari nilai-nilai luhur yang keseluruhannya dibutuhkan untuk membangun sebuah peradaban cemerlang, seperti nilai-nilai ruhiyah, akhlakiyah, dan insaniyah.
Sistem pendidikan hari ini bahkan seolah di-setting hanya untuk mengabdi pada kepentingan bisnis para kapitalis, yakni sebatas menjadi penyedia tenaga kerja terlatih namun berharga murah, bukan untuk mencetak SDM yang berkepribadian mulia dan siap membangun dan memimpin peradaban cemerlang.
Semua ini memang sangat niscaya, mengingat sistem pendidikan yang berlaku saat ini tegak di atas paradigma atau asas yang rusak, yakni paham sekularisme yang menihilkan peran agama dalam kehidupan. Hal ini salah satunya tampak pada kurikulum yang makin menyingkirkan aspek agama dan justru mendorong para pembelajar untuk hanya siap menjadi robot para kapitalis sekaligus menjadi manusia-manusia yang sekuler, liberal, individualistis, dan materialistis.
Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya mumpuni secara pengetahuan, tetapi minus secara adab dan moral. Bahkan, bermunculan para kriminal yang intelek atau intelektual yang kriminal, di mana keberadaan ilmu pada diri mereka justru menjadi sumber kerusakan.
Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa paham sekularisme bukan saja menjadi asas dalam sistem pendidikan, melainkan juga menjadi asas dalam seluruh aspek kehidupan, baik secara individu, bernegara maupun bermasyarakat. Kita lihat sistem politik, sistem ekonomi, sistem pergaulan, sistem hukum dan persanksian, dll., seluruhnya jauh dari ajaran agama, dan begitu didominasi nilai-nilai keduniawian, tanpa ada standar halal-haram.
Wajar jika kehidupan pun begitu kacau dan penuh dengan kesempitan. Individu dan masyarakat jauh dari takwa, sementara negara kehilangan fungsi sebagai perisai penjaga. Jangankan untuk hal besar, sekadar mengatur urusan media sosial saja, negara angkat tangan.
Bisa jadi secara fisik kehidupan hari ini tampak berkemajuan, tetapi secara hakikat jauh dari kemuliaan dan keberkahan. Pasalnya, yang menjadi standar baik dan buruk dalam amal perbuatan bukanlah sesuatu yang transedental melainkan kemaslahatan yang diukur berdasarkan akal manusia yang sangat nisbi, subjektif, dan penuh keterbatasan.
Di tengah kekacauan inilah sistem pendidikan tegak sehingga wajar jika makin hari makin kehilangan fungsinya sebagai pilar peradaban. Bahkan sebaliknya, pendidikan justru menjadi jalan legal untuk menancapkan kerusakan hingga lahirlah generasi yang tidak paham tujuan penciptaan.
Pemikiran mereka sempit dan mental mereka rapuh. Mereka pun kehilangan identitas diri dan karakter sebagai pelopor perubahan, bahkan mudah disetir dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan. Termasuk oleh kepentingan para kapitalis global yang ingin melanggengkan penjajahan di negeri-negeri Islam.
Saatnya Umat Islam Sadar
Realitas generasi seperti ini sejatinya tidak menggambarkan profil generasi umat Islam yang hakiki. Ini karena sejatinya umat Islam adalah umat yang terbaik yang dilahirkan di antara manusia sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 110.
Sejarah pun telah membuktikan bahwa sepanjang belasan abad umat Islam berhasil tampil sebagai pemimpin peradaban cemerlang. Mereka menjadi pelopor kebaikan di berbagai aspek kehidupan, mulai dari bidang akhlak atau moral hingga ilmu pengetahuan dan aspek-aspek kemajuan material. Semuanya begitu diliputi keberkahan karena lahir dari kukuhnya fondasi keimanan.
Hal ini niscaya karena Islam adalah ajaran yang sempurna. Aturan-aturannya berfungsi sebagai solusi tuntas bagi seluruh persoalan kehidupan, mulai dari persoalan politik, ekonomi, sosial, hukum, hankam, dan sebagainya, bukan hanya untuk satu masa, tetapi untuk seluruh masa, dan bukan hanya untuk satu umat, tetapi untuk seluruh umat manusia di semua zaman dan tempat.
Salah satu yang tampak menonjol adalah aturan Islam tentang sistem pendidikan yang tentu saja pelaksanaannya akan ditopang oleh sistem-sistem yang lainnya, seperti sistem ekonomi dan keuangan yang menjamin penyediaan infrastruktur dan sistem pendukung lain, termasuk pendidik yang mumpuni, lalu sistem kemediamasaan yang terkontrol, serta sistem hukum dan persanksian yang mampu mencegah dan mengeliminasi pelanggaran.
Sistem pendidikan dalam Islam memiliki tujuan yang demikian mulia, yakni melahirkan SDM berkepribadian Islam dan memiliki skill mumpuni di berbagai bidang kehidupan. Tujuan ini dijabarkan dalam kurikulum dan metoda pembelajaran yang demikian sempurna sehingga lahir output berupa SDM yang siap menjalankan fungsi penciptaannya, yakni sebagai hamba Allah sekaligus khalifah Allah di muka bumi.
Dalam praktiknya, semua aturan ini diterapkan secara konsisten dan menyeluruh oleh negara yang tegak di atas asas akidah Islam sehingga keberadaan risalah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dan profil generasi khairu ummah benar-benar bisa diwujudkan.
Oleh karenanya, umat Islam semestinya segera sadar bahwa sistem hari ini sejatinya bukanlah habitat asli mereka yang layak terus dipertahankan. Umat Islam harus segera menapaki jalan perubahan sistem dari yang asasnya sekularisme kepada sistem kepemimpinan yang tegak di atas asas Islam, yang dikenal dengan Khilafah Islam.
Rasulullah saw. sejatinya telah mencontohkan bagaimana perubahan masyarakat ini bisa diwujudkan. Tidak lain adalah dengan dakwah secara berjemaah untuk mewujudkan kesadaran di tengah umat tentang urgensi dan kewajiban menerapkan seluruh aturan Islam sebagai konsekuensi iman.
Kembalinya Khilafah memang sebuah keniscayaan sejarah. Terlebih Allah telah menjanjikan bahwa Khilafah akan kembali menaungi umat Islam. Namun, tegaknya Khilafah menuntut untuk diperjuangkan. Justru dengan inilah, Allah hendak melihat siapa yang imannya benar dan siapa yang hanya sekadar pengakuan.

0 Komentar