Rayhana Radhwa
#Bekasi — Berdasarkan laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran per Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,76%. Angka tersebut meningkat sekitar 83.000 orang dibandingkan tahun sebelumnya. Jika dilihat berdasarkan jenjang pendidikan, lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi mendominasi jumlah pengangguran. Hal ini menunjukkan bahwa angkatan kerja muda belum terserap secara optimal oleh pasar kerja (ugm.ac.id, 24/10/25).
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi situasi ini. Di antaranya adalah penguatan ekonomi kerakyatan melalui koperasi, program magang nasional, dan program SIGAP. Pengembangan koperasi dinilai dapat membuka peluang kerja baru melalui kegiatan simpan pinjam hingga penyediaan kebutuhan pokok (bekasipedia.com, 5/11/25). Program magang nasional dirancang untuk menjembatani lulusan pendidikan tinggi dengan sektor industri, bahkan dijanjikan peserta akan menerima gaji setara UMR (Kompas.tv, 8/11/25). Sementara itu, program SIGAP hadir sebagai jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja informal seperti ojek daring, kuli bangunan, pedagang becak, dan pedagang kaki lima yang selama ini belum sepenuhnya terlindungi (wartaterkini.news, 5/11/25).
Ekonom UGM Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D., menilai bahwa kebijakan pemerintah masih bersifat tambal sulam dan berorientasi jangka pendek. Masalah fundamental seperti vertical mismatch dan horizontal mismatch justru belum tersentuh (ugm.ac.id, 24/10/25).
Vertical mismatch terjadi ketika tingkat pendidikan pekerja tidak sejalan dengan persyaratan pendidikan pada suatu pekerjaan. Fenomena ini mencakup dua kondisi: overeducated—ketika seseorang memiliki pendidikan lebih tinggi dari kebutuhan pekerjaan, dan undereducated—ketika seseorang bekerja pada posisi yang sebenarnya membutuhkan pendidikan lebih tinggi.
Sementara itu, horizontal mismatch merujuk pada ketidaksesuaian antara bidang studi atau keterampilan yang dimiliki dengan pekerjaan yang dijalankan. Misalnya, lulusan teknik mesin bekerja di bidang pemasaran. Kondisi ini dapat dipicu oleh minimnya pengalaman, perubahan tren pasar kerja, atau pilihan karier yang tidak sesuai latar belakang pendidikan.
Ketidaksesuaian tersebut berdampak signifikan pada dunia ketenagakerjaan. Pertama, meningkatkan angka pengangguran karena lulusan tidak memenuhi kebutuhan pasar kerja. Kedua, menurunkan pendapatan pekerja yang terpaksa bekerja di bidang yang tidak sesuai. Ketiga, meningkatkan tingkat pergantian karyawan karena pekerja merasa tidak cocok dengan pekerjaannya.
Salah satu contoh nyata dari permasalahan ini adalah beasiswa LPDP yang belum didukung ekosistem penyerapan kerja pascalulus. Banyak penerima beasiswa yang memiliki keahlian spesifik akhirnya tidak dapat bekerja di sektor yang sesuai di Indonesia. Akibatnya, sebagian memilih tidak kembali ke tanah air, sementara yang kembali sering kali harus menerima pekerjaan yang tidak sesuai kualifikasi mereka.
Di sisi lain, tingkat kepuasan tenaga kerja terhadap sistem dan lingkungan kerja juga memengaruhi kondisi ketenagakerjaan. Mekanisme meritokrasi yang seharusnya memberi ruang bagi individu berprestasi ternyata tidak berjalan optimal. Banyak anak muda yang telah berinvestasi pada pendidikan tinggi merasa tersisih oleh sistem yang dinilai tidak adil. Ketika kerja keras tidak sebanding dengan hasil, kekecewaan dan hilangnya kepercayaan pada sistem pun tak terhindarkan.
Berbagai program yang dicanangkan pemerintah untuk menekan angka pengangguran justru memperlihatkan kecenderungan negara melepas tanggung jawab dalam penciptaan lapangan kerja. Alih-alih membuka proyek padat karya, negara lebih mengandalkan program berbasis masyarakat seperti ekonomi kerakyatan, CSR, dan Personal Social Responsibility (PSR). Padahal, tanggung jawab pembukaan lapangan kerja seharusnya berada di tangan negara.
Dalam perspektif Islam, sistem Khilafah menawarkan pendekatan berbeda untuk penyelesaian persoalan ini. Negara mengelola sumber daya alam secara mandiri tanpa menyerahkannya kepada pihak swasta, apalagi asing. Dengan sistem seperti ini, kebutuhan tenaga kerja dalam jumlah besar akan tercipta melalui pengembangan sektor pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Selain itu, negara memfasilitasi masyarakat melalui pendidikan berkualitas, dukungan modal, pelatihan keterampilan, akses informasi, dan penyediaan infrastruktur. Islam juga mendorong penguatan riset dan teknologi demi mewujudkan negara yang mandiri dan berpengaruh. Dengan demikian, sumber daya manusia berkualitas tidak perlu khawatir tidak terserap di dunia kerja.
Dalam hal ketenagakerjaan, Islam menawarkan konsep upah yang adil, tidak memihak pengusaha maupun merugikan pekerja. Kontrak kerja didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak, dengan mekanisme tawar-menawar yang bebas dari paksaan sehingga tercipta pasar kerja yang seimbang dan berkeadilan.
Demikianlah, tanggung jawab sistem Khilafah dalam memastikan kesejahteraan rakyat. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas amanah kepemimpinan yang diembannya. Wallahu a‘lam bis-shawab.[]

0 Komentar