Jakarta Darurat Sampah, Ketika Penggilingan Berdiri Gunungan Feses Kota

 



Alin F.M.



#Jaktim — Dilansir dari megapolitan.kompas.com, 6 Oktober 2025, dengan laporan mengenai Suara-Suara Warga Tersandera Tumpukan Sampah di Penggilingan Jakarta Timur. Tepat di Jalan Raya Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, sebuah pemandangan horor ekologis hadir dan merampas hak dasar warga. Jalanan umum benar-benar tertutup tumpukan sampah yang menggunung dan meluber. 



Sebuah gunungan feses kota yang menjijikkan. Warga kini hidup dalam status "tersandera" karena akses mereka terhambat total. Krisis ini diperburuk oleh genangan air kotor dan bau menyengat, menjadikan kawasan tersebut tak hanya sulit dilintasi, tetapi juga menjadi zona rawan penyakit. 



Peristiwa ini bukan sekadar insiden kebersihan rutin, melainkan cermin krisis sosial dan lingkungan yang menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah Jakarta telah kolaps dan gagal menjamin kenyamanan warganya. Masalah penggilingan adalah manifestasi nyata dari kegagalan sistem pengelolaan sampah di ibu kota. Akar masalahnya kompleks. 



Pertama, mencakup keterbatasan infrastruktur penampungan dan pengangkutan, ketika petugas harus bekerja manual tanpa alat berat yang memadai, padahal volume sampah terus membludak. Kedua, yang lebih parah, pengawasan yang lemah membuat lokasi tersebut menjadi sasaran empuk bagi oknum pembuang sampah liar dari luar wilayah. Praktik ini secara ilegal telah mengubah Tempat Penampungan Sementara (TPS) menjadi TPA di tengah permukiman. Jelas, sistem tata kelola sampah Jakarta telah tersendat dan tidak mampu lagi membendung limpahan limbah ini.



Ironi ini makin menguat jika melihat konteks nasional; diketahui anggaran KLH 2025 untuk Pengelolaan Sampah hanya dialokasikan puluhan miliar Rupiah. Padahal target pengelolaan sampah nasional membutuhkan minimal Rp280 Triliun hingga 2029 (kumparan.com, 27/08/2025).



Untuk mengatasi masalah ini secara sempurna dan menyeluruh, Khilafah menawarkan solusi hakiki yang berakar pada tanggung jawab negara berlandaskan akidah Islam. Solusi dimulai dari individu dengan menanamkan kesadaran anti-Israf (pemborosan) dalam konsumsi untuk mengurangi sampah dari hulu. Hal ini diperkuat oleh landasan syariat Islam.



 Perintah menjaga kebersihan:


  الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَان


 “Bersuci itu adalah sebagian dari iman.” (Hadis Riwayat Muslim)


   


 Larangan berbuat kerusakan:


    وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا


“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.” (Surah Al-A'raf Ayat 56)



Pada level negara, Khilafah menegaskan tanggung jawab pemimpin sebagai pengurus (ra'in):


    الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


“Seorang pemimpin adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)



Berdasarkan prinsip tersebut, negara wajib membiayai penuh seluruh infrastruktur pengelolaan sampah secara gratis (tanpa membebani rakyat), yaitu mulai dari pengangkutan hingga pengolahan canggih dengan dana dari baitulmal (kas negara). 



Prinsip ini pernah terbukti sukses dalam sejarah Islam; sebagai contoh, pada abad ke-10 M di Cordoba, Andalusia, ketika Eropa masih kotor, Khilafah telah membangun jaringan selokan batu di bawah tanah dan mengorganisir layanan pengambilan sampah rutin oleh petugas yang dibayar negara untuk menjamin kebersihan publik. Dan sanksi hukum yang sangat tegas diterapkan kepada siapa pun yang merusak lingkungan dan mengganggu fasilitas publik (termasuk pembuang sampah liar), karena perbuatan tersebut dikategorikan sebagai fasad (perusakan) yang harus dihentikan.



 Hal ini sejalan dengan larangan Al-Qur'an mengenai hukuman bagi perusak lingkungan:


    وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ


   “...dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Surah Al-Qashash Ayat 77)


 


Krisis di Penggilingan adalah tamparan keras bagi negara yang gagal menerapkan tata kelola berbasis tanggung jawab. Warga Jakarta Timur tidak pantas hidup tersandera limbah. Tuntutan kita jelas: Jakarta butuh lebih dari sekadar pembersihan hari ini, tetapi butuh sebuah sistem yang menjamin kebersihan sebagai hak dasar manusia. Hanya dengan penerapan konsep kepemimpinan yang bertanggung jawab penuh terhadap lingkungan sesuai ajaran Islam, barulah kita bisa memastikan bahwa tidak akan ada lagi "gunungan feses kota" yang berdiri di tengah permukiman, dan warga dapat dibebaskan dari sanderaan limbah yang mematikan.[]




Posting Komentar

0 Komentar