Bencana di Sumatra Menggugat Keseriusan Pemerintah Melindungi Warga

 


NR. Nuha



#CatatanRedaksi — Banjir dan longsor yang melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh pada akhir November 2025 kembali menunjukkan bahwa negara belum sungguh-sungguh menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas. Reuters (29 November 2025) melaporkan ratusan korban jiwa dan lebih dari 40.000 warga mengungsi akibat banjir besar di berbagai wilayah Sumatra. Associated Press (29 November 2025) mencatat longsor dan banjir bandang yang menghancurkan ratusan rumah serta memutus akses jalan utama. The Guardian (29 November 2025) bahkan menyebutnya sebagai salah satu gelombang banjir terparah tahun ini.



Di tingkat nasional, Antara (25 November 2025) mengutip pernyataan BNPB bahwa sepanjang 2025 lebih dari seribu kejadian bencana telah tercatat, mayoritas berupa bencana hidrometeorologi yang polanya berulang. Artinya, ancaman ini bukan kejutan, tetapi sesuatu yang mestinya sudah dapat diantisipasi.



Ada tiga kegagalan institusional yang saling memperkuat. Pertama, orientasi kebijakan yang reaktif. Banyak kementerian dan pemerintah daerah menghabiskan anggaran besar untuk respons darurat, sementara anggaran mitigasi, rehabilitasi hulu DAS, dan penguatan kapasitas komunitas justru kecil atau rawan dipotong. Koordinasi pusat–daerah pun cenderung baru berjalan setelah bencana terjadi. Kompas (5 Maret 2025) dan kajian Puspanlakuu DPR (2024–2025) menegaskan pola ini, menunjukkan bahwa negara lebih siap merespons daripada mencegah.



Kedua, koordinasi lintas lembaga yang lemah. Arahan pusat sering tidak terimplementasi di daerah karena tumpang tindih kewenangan, prioritas anggaran yang berbeda-beda, dan absennya mekanisme koordinasi yang tegas. Kompas mencatat bahwa kementerian teknis dan pemda kerap bergerak sendiri-sendiri, sehingga mitigasi jangka panjang tidak berjalan konsisten.



Ketiga, tata ruang dan ekosistem yang rusak. WALHI (November 2025) menyoroti pembukaan hutan, ekspansi tambang, dan alih fungsi lahan yang terus berlangsung di berbagai DAS Sumatra, sekalipun wilayah tersebut secara ekologis rentan. Media lokal yang mengutip WALHI menunjukkan bahwa izin-izin baru tetap keluar meski risiko bencana meningkat. Di level global, UNDRR (laporan 2022–2024)menegaskan bahwa negara yang gagal memperkuat sistem peringatan dini dan tata ruang berbasis risiko akan terus menanggung kerugian ekonomi dan korban yang lebih besar. Mitigasi terbukti jauh lebih menguntungkan daripada biaya respons berulang.



Semua ini menunjukkan bahwa mitigasi bukan sekadar persoalan teknis, tetapi pilihan politik. Dalam tata pemerintahan yang menempatkan keuntungan ekonomi jangka pendek di atas keselamatan rakyat, perizinan dan investasi sering lebih cepat diproses daripada perlindungan ekologis. Ruang hidup publik pun mudah dikorbankan. Ketika ruang rusak dan eksploitasi tidak dikendalikan, bencana bukan lagi sekadar risiko alam, tetapi konsekuensi dari keputusan politik.



Perspektif Islam menawarkan kontras moral yang kuat. Prinsip hifz an-nafs (melindungi nyawa) dan dar’u al-mafasid (mencegah kerusakan) menegaskan bahwa penguasa berkewajiban mencegah bahaya sebelum terjadi. Mitigasi adalah amanah politik, bukan program tambahan. Negara yang menunggu korban jatuh sebelum bertindak berarti lalai menjalankan amanah tersebut.



Bencana di Sumatra seharusnya menjadi peringatan keras bahwa negara perlu mengubah orientasi: dari sekadar sigap merespons menjadi sungguh-sungguh mencegah. Keseriusan melindungi warga tidak diukur dari banyaknya bantuan pascabencana, tetapi dari keberanian memperbaiki tata ruang, memulihkan ekosistem, memperkuat koordinasi lembaga, dan menempatkan keselamatan rakyat di atas kepentingan ekonomi. Menyalahkan “cuaca ekstrem” saja hanya menyamarkan akar persoalan politik dan ekonomi yang jauh lebih mendasar.



Bencana ini adalah panggilan untuk mengubah prioritas kebijakan—dari ketangkasan merespons menjadi keberanian mencegah—demi keselamatan rakyat yang seharusnya menjadi tugas utama negara.[]




Posting Komentar

0 Komentar