#CatatanRedaksi — Anekdot orang miskin dilarang sekolah sepertinya cocok diterapkan dalam kondisi yang terjadi kali ini. Fenomena 31% Gen Z memilih untuk tidak kuliah tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia. Dilansir edukasi.okezone.com (22/05/2025), menurut survei Deloitte Global tahun 2025 mengungkapkan bahwa sekitar 31% dari Gen Z dan 32% milenial memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Penyebab utamanya adalah tingginya biaya kuliah. Kondisi ekonomi global hari ini yang tidak baik-baik saja secara tidak langsung berpengaruh kepada hal ini. Contoh terbaru PHK di mana-mana juga terjadi di Google, 200 karyawannya terkena dampak (viva.co.id, 08/05/2025).
Selain penyebab utama di atas, masih ada alasan lain kenapa minat kuliah ini menjadi turun di kalangan milenial dan Gen Z, yakni keinginan untuk lebih cepat mendapatkan pekerjaan yang tidak perlu mengeluarkan uang banyak dan waktu yang lebih lama dengan kuliah. Jadi, bagaimana caranya agar dapat kerja secara cepat, artinya dapat uang dengan cepat. Kebutuhan uang sebagai satu pemikiran khas kehidupan hari ini—tanpa uang hidup tidak akan berjalan dengan gampang. Memang uang bukan segalanya tetapi segalanya butuh uang, ciri khas hidup dalam sistem kapitalisme bahwa segala sesuatu butuh kapital (modal) dan itu adalah uang.
Kalangan Gen Z dan milenial juga melihat sekolah atau kuliah berbiaya mahal, tapi lulusannya tidak juga bisa dapat pekerjaan yang layak sesuai keahliannya. Survei menunjukkan bahwa 26,53 persen pengemudi taksi online dan 17,42 persen pengemudi ojol adalah sarjana (kabarbursa.com, 20/10/2024). Maka dari itu mereka lebih enjoy ikut pelatihan-pelatihan kerja yang berbiaya murah, cepat, dan bisa langsung kerja, misalnya job training atau semacamnya.
Disorientasi pendidikan tinggi saat ini bukan hanya karena biaya yang mahal, tetapi juga karena relevansinya yang kurang sebagai pemecah masalah di masyarakat. Output pendidikan tinggi saat ini tidak mencerminkan hal tersebut. Kurikulum yang tidak relevan menghasilkan lulusan yang hanya berorientasi mencari pekerjaan, bukan membentuk generasi yang memiliki karakter kuat. Akibatnya, banyak lulusan yang "goyah", bahkan tak jarang terlibat dalam korupsi atau kejahatan lain setelah menduduki posisi tertentu.
Belum lagi pemikiran lulusan kuliah hanya untuk kerja, dominan di sistem kapitalisme hari ini. Sebab, pendidikan dalam sistem kapitalisme hanya sebagai mesin pencetak generasi untuk bekerja semata, mengabdi kepada korporasi/perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara kapitalis—memutar kapital untuk mendapatkan keuntungan materi yang besar. Bahkan jika berwirausaha, fokus utamanya hanya pada keuntungan materi atau kekayaan. Pendidikan dalam kapitalisme yang materialistis, prosesnya juga berbiaya mahal dan output-nya hanya untuk mengembalikan modal—menjadi mesin pencetak uang dengan bekerja.
Sungguh kondisi ini berbeda secara diametral dengan kehidupan Islam. Dalam Islam, orientasi pendidikan di setiap jenjang output-nya adalah untuk membentuk syakhsiyah Islam (kepribadian Islam). Landasan pendidikan dasar dan menengah untuk menguatkan pondasi hidup generasi dan menyiapkan mereka untuk menghadapi semua problematika hidup nanti di masa depan, sementara pendidikan tinggi lebih kepada keahlian dan pematangan sikap agar mereka lebih bisa diandalkan mengisi pembangunan dalam negara. Kurikulum yang digariskan bukan dinilai hanya dari angka-angka prestasi yang ada di atas kertas, melainkan lebih pada perubahan perilaku yang berdasarkan akidah Islam.
Konsep halal haram sangat melekat dalam sistem pendidikan Islam. Hidup berasaskan akidah Islam dan terikat dengan syariat Islam secara totalitas dalam semua aspek kehidupan. Maka manusia-manusia yang dihasilkan dalam sistem pendidikan Islam adalah individu-individu yang matang dalam perilaku—berkepribadian Islam. Dalam kehidupan Islam tidak ada pemisahan urusan agama dan urusan kehidupan sehari-hari. Lulusan sistem pendidikan ini adalah cendekiawan dan ilmuwan Islam. Mereka tidak hanya ahli dalam bidang tertentu atau sebagai pakar, tapi juga ahli dalam agama. Alhasil, individu yang dihasilkan merupakan individu yang beriman dan bertakwa di semua bidang yang ditekuni. Dengan demikian, jika sistem Islam yang diterapkan secara kafah di segala bidang kehidupan termasuk pendidikan, akan mengubah potret pendidikan negeri ini—tidak akan suram lagi.[]
Hanin Syahidah
0 Komentar