Agar Masa Depan Buruh Tak Berujung Keruh

 

 



Kamilia Mustadjab

 

#Tarikh Saat Islam datang, masyarakat jahiliyah terkotak-kotak berdasarkan nasab dan kekayaan yang dimiliki. Ada gap (kesenjangan) antara yang kaya dan yang miskin, antara para tokoh dengan kaum pekerja atau buruh dan budak. Islam datang dengan seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan problem kesenjangan sosial ini. Tak hanya itu, ajaran Islam mampu menghadirkan teladan terbaik dalam mengajarkan sikap terhadap para pekerja, buruh, dan budak.

Disebutkan dalam sebuah riwayat yang datang dari Abu Dzar, Rasulullah saw. bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ هُمْ إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَأَطْعِمُوهُمْ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَأَلْبِسُوهُمْ مِمَّا تَلْبَسُونَ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya ada saudara-saudara kalian yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai pembantu yang berada di bawah kekuasaan kalian. Barang siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, maka hendaklah dia memberinya makanan dari makanannya, memberinya pakaian dari pakaiannya, dan janganlah kalian membebaninya dengan sesuatu yang tidak sanggup ia kerjakan. Jika ia membebaninya dengan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan, maka hendaklah ia membantunya." (HR Bukhari Muslim)

Hadis ini memerintahkan kaum muslimin untuk berlaku baik pada semua orang yang membantu dan bekerja kepada kita, karyawan, pegawai, atau buruh sekalipun. Perlakuan yang baik ini didasarkan pada ketundukan pada syariat Islam. Keimanan menjadi landasannya. Alhasil, dorongan untuk berlaku baik pada para pekerja adalah dorongan keimanan dan bukan dorongan keuntungan semata, atau pertimbangan untung rugi. Terlebih lagi, sikap itu dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw..

Di Madinah, Rasulullah saw. sebagai kepala negara memiliki banyak pelayan, pekerja, dan budak yang mengabdikan hidupntya untuk beliau. Di antaranya adalah Zaid bin Haritsah, Anjasyah, Tsauban, dan Safinah bin Furukh. Tercatat juga Anas bin Malik yang dikenal sebagai pelayan beliau yang mengurusi semua keperluan Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud menyiapkan sandal dan siwak, sedangkan Uqbah bin Amir al-Juhani r.a. yang mengurus bighal beliau. Demikian pula ada Aslak bin Suraik yang mengurus unta, Bilal bin Rabah yang mengumandangkan azan serta Aiman bin Ubaid yang khusus mengurus alat-alat kebersihan dan hajatnya.

Meski mereka semua adalah para pelayan, pekerja, dan budak Rasul, tapi sejarah mencatat bahwa hubungan yang terjalin antara Rasul dengan mereka sangat indah. Takada bentakan, pukulan ataupun perlakuan buruk dari Rasul pada mereka. Perlakuan baik Rasul kepada para pelayan, pekerja, dan juga budak tercermin dari kisah Zaid bin Haritsah saat diminta kembali ke rumah oleh orang tuanya. Saat itu bapaknya datang menemui Nabi saw. bersama Ka’ab bin Syarahil. Mereka membawa tebusan dengan harapan Rasul bersedia mengembalikan Zaid kepada mereka berdua.

Rasulullah saw. berkata kepada Haritsah (ayah Zaid), “Apakah tidak ada pilihan selain itu?” Haritsah berkata, “Apakah itu?” Beliau bersabda, “Panggillah dia dan berikanlah pilihan kepadanya. Jika dia memilih kalian maka dia menjadi milik kalian tanpa perlu ada tebusan. Akan tetapi, jika ia memilihku maka, demi Allah, tidak ada seorang pun yang akan bisa memisahkan aku dengan orang yang memilihku.” Mereka berkata, “Engkau telah memberikan tawaran standar dan engkau telah membuat cara yang baik.”

Kemudian Rasulullah memanggil Zaid dan bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengetahui siapa mereka?” Zaid berkata, “Ya. Ini adalah ayahku dan ini adalah pamanku.” Beliau bersabda, “Dan aku adalah orang yang sudah engkau ketahui dan engkau lihat bagaimana kecintaanku kepadamu. Karena itu, sekarang apakah engkau akan memilih aku atau mereka berdua?” Zaid menjawab, “Tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan aku dengan engkau yang kupilih. Di mataku engkau sama dengan ayah dan paman.” Mendengar itu, mereka berdua berkata, “Celaka kamu! Apakah engkau lebih memilih penghambaan daripada kebebasan bersama ayahmu, pamanmu, dan sanak keluargamu?” Zaid berkata, “Ya. Sesungguhnya aku melihat dari laki-laki ini (Muhammad saw.) sesuatu yang menjadikan aku tidak bisa dipisahkan oleh siapapun darinya selama-lamanya.”

Kisah ini menunjukkan pada kita bahwa perlakuan baik Rasul telah menumbuhkan rasa cinta pada diri Zaid lebih tinggi dari rasa cintanya pada keluarganya. Perlakuan baik Rasul terhadap kaum marjinal seperti para pelayan, pekerja, dan budak ini memberikan gambaran nyata bagaimana seharusnya kaum muslimin memperlakukan kaum marjinal.

Tak hanya perlakuan baik, tapi Islam juga menuntun agar kaum muslimin bersikap adil dalam memberikan upah kepada para pekerja. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda

أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ، وَأَعْلِمْهُ أَجْرَهُ وَهُوَ فِي عَمَلِهِ  

"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering, dan informasikan [jumlah] upahnya ketika pekerjaan akan dimulai." (HR al-Baihaqi)

Ketika Islam diterapkan, maka sistem Islam ini mengajarkan manusia untuk memuliakan para pekerja dan tidak menganggapnya rendah. Memosisikan kaum pekerja setara dengan para pemilik modal. Bahkan Rasul menjadikan para pekerja sebagai objek dakwah sebagaimana itu juga beliau lakukan kepada para penguasa Quraisy. Sebab mereka juga manusia yang berhak untuk mendapat hidayah Allah. Demikianlah syariat Islam jika diterapkan secara sempurna akan mampu menghapus keruh dan kelamnya kehidupan para pekerja dan kaum buruh saat ini.

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan problem buruh memang mengharuskan penerapan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw.. Bukan dengan membuat atau menghapus sistem outsourcing, membuat batasan atau mengubah ketentuan tentang UMR atau UMP atau dengan cara-cara lain yang belum terbukti secara riil dalam kehidupan. Jadi, jika ingin masa depan buruh tidak berujung keruh, segeralah menerapkan sistem Islam secara kafah. Wallahualam.[]

Posting Komentar

0 Komentar