#Tangsel — Keluarga merupakan tempat memupuk kasih sayang agar setiap anggotanya tumbuh menjadi sosok yang taat dan berakhlak. Keluarga menjadi pilar bagi sebuah negara, selama adab dalam keluarga terjaga, selamatlah negara. Atas pandangan ini muncul kekhawatiran ketika melihat kasus cekcok antar keluarga makin kerap terjadi dan salah satu pemicunya adalah rebutan harta warisan. Sebagaimana yang terjadi di Pamulang, Tangerang Selatan (detik.com, 10-05-2025), seorang adik tega menghilangkan nyawa abangnya dalam pembunuhan berencana gara-gara warisan.
Dalam
makna fikih, harta
warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta
(uang) ataupun lainnya. Termasuk di dalamnya utang piutang dan berkaitan dengan
kewajiban pribadi seperti pembayaran kredit atau mahar. Menurut ulama fikih,
warisan bermakna semua yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal berupa harta
kekayaaan, atau hak-hak yang dengan sebab kematian menurut syarak akan menjadi hak ahli waris.
Disinilah
persoalannya, ketika berkaitan dengan harta, seseorang bisa silau hingga memorak-porandakan keutuhan keluarga.
Perselisihan gara-gara rebutan harta warisan umumnya tidak terjadi secara
tiba-tiba, melainkan konflik yang terpendam sekian lama. Hubungan dalam
keluarga yang tidak harmonis selama
bertahun-tahun sampai akhirnya menjadi
bom waktu.
Tidak dimungkiri banyak keluarga muslim saat ini abai dalam mendidik anak-anaknya terutama dalam perkara keimanan. Ikatan antaranggota keluarga bukan dibangun atas dasar akidah sehingga saat anak tumbuh dewasa, besar fisiknya, tetapi jiwanya rapuh. Hubungan dalam keluarga gampang goyah tatkala dihantam ujian termasuk masalah harta.
Keluarga yang disfungsi terhadap pembinaan keimanan membuka ruang anak tumbuh tanpa kendali, berbuat tanpa standar pada kebenaran menurut hukum syarak. Kondisi yang berpotensi besar timbulnya perselisihan karena pendapat mengenai hak dan kewajiban, keadilan sesuai versi masing-masing.
Termasuk memandang pengaturan warisan dalam Islam seperti laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan sebagai bentuk diskriminasi. Islam dianggap sebagai agama yang menganut patriarki, mendudukkan laki-laki mendominasi kekuasaan dan otoritas terhadap perempuan. Akhirnya, harta warisan dibagi suka-suka yang menimbulkan kezaliman satu pihak kepada pihak yang lain.
Kewajiban terhadap pewaris pun tidak ditunaikan karena tidak memahami bahwa sebelum dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, berkaitan dengan kewajiban pewaris harus ditunaikan terlebih dulu, termasuk berbagai keperluan si mayit. Di antaranya membayar utang, nazar, zakat, wasiat, biaya penyelenggaraan jenazah atau biaya rumah sakit.
Terlebih pembagian harta warisan erat kaitannya dengan ilmu hisab atau matematika, sebab dalam menentukannya harus menggunakan penghitungan seperti rumus-rumus ilmu hitung. Orang yang tidak mengerti menganggap pengaturan ini menyulitkan sehingga memilih win-win solution yaitu sama rata, semua mendapat bagian yang sama.
Jika dicermati, minimnya pemahaman agama menjadi pemicu terjadinya kasus perebutan harta waris, tapi bukan penyebab utama. Sistem sekuler kapitalisme memang mendesain untuk melahirkan para orang tua yang jauh dari pemahaman agama sehingga keluarga menjadi kehilangan makna. Sistem inilah yang menjadi induk berbagai kerusakan, membuka kebebasan dalam hal apa pun. Kebebasan berpikir, bertindak, termasuk kepemilikan. Tidak heran, mengotak-atik harta waris tidak dipandang sebagai perbuatan dosa. Jika sudah gelap mata, apa pun dilakukan demi mendapatkan apa yang diinginkan tanpa peduli halal atau haram.
Berbeda dalam sistem Islam, pembagian warisan menjadi amalan menuai pahala dan keberkahan, bahkan berpeluang mengalirkan pahala jariyah baik bagi yang mewarisi dan yang diwarisi. Ini dikarenakan sistem Islam memiliki metode yang komprehensif berdasarkan dalil-dalil syarak untuk menjamin pemenuhan hak setiap orang secara adil. Adil bukan berarti sama rata, adil dalam Islam adalah sesuai kadar yang Allah tetapkan sebagai Zat Maha Tahu dan Maha Pengatur dengan sebaik-baiknya aturan.
Metode Islam yang komprehensif bisa digambarkan sebagai berikut:
Pertama, Islam menerapkan sistem pendidikan berasas akidah Islam yang menyiapkan pemuda-pemudinya berkepribadian Islam. Saat mereka menjadi orang tua, keturunannya dididik dengan ketauhidan, suasana rumah dibalut oleh semangat ketaatan kepada Allah Swt.. Takarrub kepada Allah menjadi kebiasaan seluruh anggota keluarga. Ketika ada persoalan, mencari solusi dengan merujuk pada hukum syarak. Dengan visi misi yang sama, persoalan lebih mudah diselesaikan sehingga meminimalkan gesekan. Termasuk bagian yang dipahamkan adalah membagi warisan tidak sesuai ketentuan Islam merupakan perbuatan dosa, pelakunya diancam oleh Allah Swt. dengan siksa api neraka.
Kedua, sistem ekonomi Islam memampukan para laki-laki menafkahi keluarganya. Dengan itu, warisan tidak dijadikan sebagai aji mumpung untuk memperoleh harta. Ahli waris menerima dengan ikhlas apa yang didapatkan dari pembagian sesuai hukum Islam, berapapun besarnya. Keyakinan akan rezeki menuntun hati untuk mencari rida Allah yang hanya bisa dicapai ketika tunduk pada aturan-Nya.
Ketiga, sistem Islam menyejahterakan rakyatnya. Dengan dijaminnya pendidikan, kesehatan, dan keamanan oleh negara, setiap orang berkesempatan untuk berdaya, matang secara emosional, sosial, dan finansial. Kehidupan yang sejahtera dapat meredam munculnya sikap tamak terhadap materi. Terlebih Islam mengajarkan hidup sederhana dan sikap kanaah.
Keempat, negara memelihara suasana ketakwaan yang mendorong rakyatnya berpegang teguh pada hukum syarak dan menjaga dari kecenderungan berbuat dosa. Pemberlakuan sanksi bagi pelaku dosa merupakan mekanisme pencegahan agar jangan ada yang berani coba-coba melanggar hukum Allah. Termasuk memakan harta waris dengan cara yang batil.
Di dalam surah an-Nisa ayat 14, Allah menyebut mereka yang membagi warisan tanpa mengikuti ketetapan Allah sebagai tindakan durhaka kepada Allah. “Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.”
Di ayat sebelumnya, Allah menjelaskan secara detail tentang pembagian harta waris dan siapa saja yang berhak menerimanya. Ayat ini diimplementasikan oleh penguasa negara dengan menunjuk qadhi atau hakim untuk membantu menyelesaikan persengketaan terkait warisan sehingga tidak terjadi permusuhan antaranggota keluarga. Anggota keluarga dinasihati untuk saling memaafkan dan berlapang dada. Adanya hukum qisas menjadi pencegah agar seseorang tidak mudah menghilangkan nyawa orang lain gara-gara harta.
Di dalam sistem Islam, penguasa adalah pihak yang memiliki power untuk mengontrol dan mengawasi penerapan hukum Islam dalam semua lapisan yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Penguasa wajib memastikan tidak ada kezaliman, setiap orang menunaikan kewajiban dan memperoleh haknya berkaitan dengan apa pun. Semuanya berjalan dalam pengaturan seorang pemimpin negara yang berperan sebagai raa'in atau pengatur urusan rakyat dan junnah atau pelindung.
Demikianlah pengaturan dalam sistem Islam, satu-satunya sistem yang
bisa mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan. Masyarakat ditata sesuai tuntunan wahyu dari Allah yang memiliki
kedaulatan penuh untuk mengatur kehidupan manusia. Keteraturan dan kejelasan
hak kewajiban setiap orang meminimalkan
terjadinya kezaliman yang dapat memicu tindakan kriminal. Bahkan semangat yang terlihat adalah berlomba
dalam kebaikan, saling ingin meringankan beban orang lain terlebih kepada
anggota keluarga.[]
0 Komentar