Hanin Syahidah
#CatatanRedaksi — Heboh perbedaan hitung antara jumlah rakyat miskin
di Indonesia versi World Bank dan BPS. Dikutip Kompas.com (05/05/2025),
banyaknya penduduk berada di bawah garis kemiskinan Indonesia tercatat BPS per
September 2024 adalah sebanyak 24,06 juta jiwa atau sekitar 8,57 persen dari
total populasi. Sementara hitungan World Bank ada 171,8 juta jiwa, yaitu sekitar
60,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jomplang, satu kata yang bisa
menggambarkan hal ini. BPS menyampaikan memang ada perbedaan standarisasi dalam
penghitungan, makanya memunculkan perbedaan yang cukup jauh.
Bank Dunia, menggunakan standar garis kemiskinan global yang
disesuaikan dengan daya beli atau purchasing power parity (PPP) dan
menilai kemiskinan di Indonesia berdasarkan standar negara upper-middle
income, yaitu US$6,85 per kapita per hari. Sementara BPS mengukur
kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic
Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
dasar ini dinyatakan dalam garis kemiskinan.
Garis kemiskinan dihitung dari pengeluaran minimum untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan non-makanan (cnbcindonesia.com, 02/05/2025).
Kemiskinan rakyat negeri ini terus menjadi perbincangan. Namun, kondisi
sekarang tidak hanya terkait definisi kemiskinan atau orang miskin, tetapi
angkanya yang cenderung naik dan dirasakan mayoritas warga negara. Melihat ini
harusnya pemerintah segera berbenah diri dan melakukan evaluasi, terlebih saat
ini ditambah kelas menengah yang merupakan warga mayoritas juga banyak yang
jatuh miskin karena PHK di mana-mana.
Ketimpangan antara si kaya dan si miskin makin dalam saja dari waktu
ke waktu, bahkan menurut Mantan Wakil Presiden, Yusuf Kalla menyatakan 50
persen kekayaan Indonesia dikuasai oleh
orang Cina (Tionghoa), bahkan majalah Forbes (2024) mencatat total harta 50 orang
terkaya di Indonesia asetnya melesat tembus Rp4.209,25 triliun disaat kondisi
ekonomi Indonesia sedang turun, daya beli rendah dan 7,8 juta rakyat nganggur.
Maka, fenomena kemiskinan ini sejatinya adalah kemiskinan terstruktur akibat
diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini. Peran negara hanya sebagai
fasilitator bagi swasta untuk menguasai hajat rakyat terlalu melekat erat dalam
sistem ini, liberalisasi ekonomi ugal-ugalan
terjadi di negeri ini.
Hajat vital rakyat yang seharusnya menjadi hak rakyat dikuasai oleh
swasta baik swasta dalam negeri maupun swasta asing. Walhasil, rakyat hanya
dapat kesengsaraan yang tidak berujung, mulai dari bencana alam akibat
eksploitasi lingkungan, biaya pendidikan dan kesehatan mahal, minimnya lapangan
pekerjaan, harga barang-barang yang tidak terbeli karena tidak ada uang di
tangan imbas PHK atau sepinya usaha sementara kebutuhan hidup terus menuntut
untuk dipenuhi.
Padahal, Jungkir-balik rakyat setiap hari memenuhi kebutuhannya,
tetapi kondisi ekonomi yang sulit akhir-akhir ini sangat mencekik, usaha
bangkrut, pegawai di PHK, modal tidak ada, belum lagi jeratan pinjol dan judol
makin membuat nasib rakyat merana. Sementara itu, penguasa belum membuat
kebijakan yang menyentuh pemenuhan hajat rakyat. Alih-alih makan bergizi gratis
tetap saja jadi lahan korupsi baru dan menuai banyak masalah. Begitulah memang
gaya hidup hedonis dalam sistem kapitalisme.
Kondisi kehidupan yang sangat berbeda dalam Islam. Islam sangat
detil dalam pelayanan segala kebutuhan rakyat. Fungsi negara sebagai raain
(pengurus/pelayan) bagi rakyatnya selalu memperhatikan kesejahteraan rakyatnya
per individu bukan hitungan agregat ala ekonomi kapitalistik. Pemastian negara
di dalam sistem Islam yang dilakukan oleh seorang khalifah adalah bagaimana
rakyat bisa memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, dan
kesehatan) dengan mudah, murah (gratis), dan berkualitas.
Meskipun khusus pada pemenuhan sandang, pangan, dan papan diberikan
negara dengan layak secara tidak langsung dengan mudahnya tersedia lapangan
pekerjaan atau iklim usaha untuk
pengembangan kepemilikan individu dalam negara Khilafah islamiah. Sementara
itu, kepemilikan umum dikelola negara secara optimal untuk kemaslahatan rakyat
semata. Jadi, semua kesejahteraan
terukur per individu tanpa terkecuali. Sampai-sampai masyhur dalam sejarah
kalau Khalifah Umar bin Khattab tidak akan pernah bisa tidur jika masih ada
rakyat yang kelaparan. Kontradiktif dengan kehidupan rakyat di negeri ini yang
tidak bisa tidur karena memikirkan kebijakan/tingkah polah oknum penguasanya
yang korup dan zalim terhadap rakyatnya. Berharap kondisi ini segera berakhir,
rakyat akan mendapat haknya untuk diurusi bukan terus dieksploitasi. Wallahualam
bissawab.[]
0 Komentar