Kapitalisasi Pendidikan Bikin Gen Z Makin Ogah Kuliah

  



Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Belum lama ini, laporan Deloitte Global 2025—Gen Z and Millennial Survey menunjukkan bahwa 31% Gen Z global memilih untuk tidak kuliah. Survei ini diikuti oleh 14.751 Gen Z dan 8.731 milenial responden dari 44 negara dengan 535 responden di antaranya berasal dari Indonesia (detik.com, 19/05/2025). Masih berdasarkan survei tersebut, Gen Z mengungkapkan dirinya skeptis akan peluang pendidikan tinggi dalam menyiapkan diri mereka di dunia kerja. Dari sini tidak sedikit yang lebih memilih jalur nonformal semisal kelas pelatihan, magang dan on-the-job training (OJT) sebagai solusi yang lebih murah dan berbasis skill ketimbang harus mengenyam jenjang pendidikan tinggi.  


Fenomena putus sekolah dan kuliah memang sudah cukup terasa khususnya di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan tingkat penyelesaian pendidikan Sekolah Dasar (SD) mencapai 97,37%, jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) turun menjadi 88,88%, dan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya sebesar 65,94%. Celakanya, berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) pada Juni 2022 hanya 6,41% populasi Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Minimnya jumlah lulusan perguruan tinggi makin menjadi dengan tingginya angka drop out (DO) di setiap tahunnya. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 tercatat 352.494 mahasiswa Indonesia mengalami DO atau sebesar 3,6% dari 9,8 juta mahasiswa aktif (finfolk.co, 30/04/2025). 


Jika kita telaah lebih jauh, masalah finansial menjadi alasan terbesar para kawula muda memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Masih dalam laporan Deloitte Global 2025, "Gen Z and Millennial Survey" misalnya, sebanyak 39% responden menjadikan tingginya biaya kuliah sebagai alasan mereka untuk tidak mengikuti pendidikan tinggi. Tidak hanya permasalahan biaya kuliah yang mahal, faktor-faktor lainnya semisal kondisi ekonomi keluarga, kekhawatiran akan beban pinjaman mahasiswa (student loan), tekanan pekerjaan hingga mental health issue ikut menambah deretan panjang tantangan pendidikan yang harus dihadapi Gen Z. 


Meroketnya biaya pendidikan yang menjadi alasan utama banyaknya anak didik yang putus kuliah, sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan global yang dimotori World Trade Organization (WTO) melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang memasukkan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang patut diperdagangkan. Celakanya, kebijakan global tersebut diserap dalam UU No. 7/1994 yang mengesahkan kapitalisasi pendidikan di Indonesia. Walhasil, ilmu pengetahuan dianggap sebagai komoditas ekonomi dan distandarisasi berdasarkan kebutuhan bisnis serta pasar global.  


Arus kapitalisasi pendidikan kian diperkuat dalam UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Kebijakan tersebut melimpahkan beban finansial kepada kampus dengan dalih ‘otonomi pendidikan’ sebagai jalan agar negara lepas tangan dalam penyediaan pendidikan tinggi bagi masyarakat. Kapitalisasi pendidikan pun tampak dari upaya komersialisasi pendidikan dengan perubahan status kampus menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Seiring perubahan status tersebut, anggaran negara atas penyelenggaraan pendidikan tinggi terus berkurang dan perguruan tinggi dituntut untuk mencari dana mandiri untuk menyelenggarakan aktivitas pendidikan. 


Niat pemerintah dalam menguatkan kapitalisasi pendidikan makin terlihat dalam kontrovensi efisiensi anggaran di awal tahun 2025. Anggaran Kemendiksaintek mengalami perampingan sebesar Rp14,3 triliun dari pagu anggaran 2025—Rp56,5 triliun menjadi Rp42,3 triliun. Celakanya, efisiensi anggaran berlaku untuk berbagai program beasiswa seperti beasiswa KIP-K (Kartu Indonesia Pintar-Kuliah) sebesar 9%, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) 10%, beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIk) 10%, beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) 25%, hingga beasiswa dosen dan tenaga pendidikan sebanyak 25%. Pemotongan anggaran tersebut juga berimbas pada biaya riset kampus. 


Kian minimnya anggaran pendidikan yang masuk ke sumber dana kampus justru menjadikan perguruan tinggi hanya menjadi tempat penyedia ‘human capital’ bagi negara dalam meningkatkan roda ekonomi. Tidak jarang perguruan tinggi melakukan kerja sama dengan industri komersial ataupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena dianggap mampu membantu perguruan tinggi menghasilkan lulusan yang lebih ‘kompeten’ dalam bekerja. Dari sini tujuan pendidikan yang sepatutnya untuk mencerdaskan bangsa justru memfokuskan dirinya dalam memenuhi kebutuhan industri.  


Lebih dari itu, penyelenggaraan pendidikan tinggi juga sering diposisikan sebagai lahan bisnis untuk meraih keuntungan bukan memenuhi kebutuhan rakyat akan pendidikan. Sebut saja Bank Dunia misalnya, melihat pendidikan tinggi sebagai peluang investasi dan merancang berbagai strategi reformasi pendidikan tinggi yang kemudian diterapkan di sejumlah negara berkembang seperti Argentina, Romania, Chile, Tunisia, Guinea, Vietnam, Yordania, Sri Lanka hingga Indonesia.  


Lalu, siapa yang paling disudutkan dalam kapitalisasi pendidikan? Tentu saja rakyat banyak, terutama para peserta didik yang paling merasakan sulitnya mengenyam pendidikan tinggi. Dari sini terlihat jelas bagaimana sistem kapitalisme menempatkan pendidikan tinggi sebagai komoditas ekonomi yang hanya boleh diakses oleh orang-orang berduit. Pendidikan tinggi pun kemudian dianggap sebatas kebutuhan tersier yang tidak mengharuskan negara untuk memenuhinya. 


Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sejatinya adalah investasi strategis dalam menjamin kemajuan dan kemakmuran suatu negeri dalam jangka panjang. Pembangunan SDM secara langsung berdampak pada pembangunan peradaban. Pembentukan SDM salah satunya dengan kemudahan akses pendidikan tinggi secara pasti akan berdampak pula pada penggerakan ekonomi secara struktural disertai dengan kualitas SDM yang memadai. Oleh karena itu pendidikan tidak seharusnya berada dalam kerangka bisnis, karena ia adalah kebutuhan dasar dalam mencetak generasi berkualitas. 


Pendidikan adalah salah satu syarat membangun masyarakat. Tidak layak perhitungan untung-rugi dijadikan pondasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karenanya, negara berkewajiban penuh dalam membuka akses pendidikan selebar-lebarnya bagi masyarakat, termasuk dalam memudahkan rakyat mengenyam pendidikan tinggi. Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (TQS an-Nisa: 9) Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]




Posting Komentar

0 Komentar