Azizah Retnowati
#Wacana — Maraknya kasus pelecehan
seksual di dunia pendidikan kembali menampar nurani publik. Data Jaringan
Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan sepanjang tahun 2024 terjadi 573 kasus kekerasan di lembaga
pendidikan, 42% di antaranya
merupakan kekerasan seksual
(03/05/2024). Bahkan menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI),
hingga Agustus 2024 tercatat 101 anak menjadi korban kekerasan seksual di
sekolah, dengan mayoritas pelaku adalah guru (detik.com, 26/08/2024). Sekolah yang seharusnya
menjadi tempat aman untuk menuntut ilmu justru berubah menjadi arena pemangsaan
bagi para predator.
Pemerintah menanggapi dengan
wacana penguatan kurikulum etika. Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono
Harbuwono, misalnya, menyatakan bahwa pendidikan
kedokteran di Indonesia akan terus diperbaiki, termasuk dalam penguatan
pendidikan etika (kompas.id, 02/05/2024). Namun, apakah pendekatan ini menyentuh akar persoalan?
Apakah pendidikan etika semata cukup untuk membentuk kepribadian yang
menjunjung tinggi moralitas dan menjaga dari tindak kriminalitas?
Faktanya, pendidikan etika hari
ini berlandaskan prinsip kapitalisme-sekuler. Tingginya angka pelecehan seksual
tidak bisa dilepaskan dari prinsip kebebasan yang menjadi dasar sistem
kapitalisme-sekuler tersebut. Sistem ini menempatkan kebebasan individu sebagai
nilai tertinggi; bebas
berpikir, berperilaku, dan berekspresi, bahkan meski itu merusak norma dan
tatanan hidup manusia. Budaya permisif yang lahir dari prinsip ini menciptakan
ruang luas bagi penyimpangan seksual. Pelaku merasa bebas bertindak selama
tidak tertangkap atau dihukum. Maka jangan heran jika kasus semacam ini terus
bermunculan, meski etika diajarkan, aturan ditambah, atau hukuman diperberat.
Inilah watak busuk dari sistem
kapitalisme sekuler—membebaskan
manusia dari keterikatan agama, menceraikan aturan hidup dari petunjuk wahyu.
Etika dalam pendidikan kerap diajarkan sebagai seperangkat aturan atau norma
yang harus dipatuhi. Namun, dengan prinsip kebebasan ala kapitalisme-sekuler,
etika yang diajarkan menjadi formalitas belaka, tidak mampu membentuk perilaku
dan kepribadian yang sejati. Etika dalam sistem sekuler hanya sebagai konsep
normatif tanpa pondasi keyakinan yang kuat dan tak bersandar pada petunjuk
wahyu. Tak heran jika konsep ini akan mudah luntur saat berhadapan dengan hawa
nafsu, kekuasaan, dan peluang.
Terbukti dari maraknya kasus
pelecehan seksual yang melibatkan tenaga medis, guru, dan pendidik—mereka yang notabene telah
menerima pelajaran etika dalam kurikulum mereka. Kita juga telah menyaksikan
berbagai jargon seperti "revolusi
mental", "pendidikan moral", dan "pembentukan karakter" yang
terus digaungkan dalam kurikulum dan kampanye nasional, tapi tetap gagal menahan laju kerusakan
moral yang kian meluas. Inilah hasil kepribadian yang dibentuk dari sistem
kapitalisme-sekuler, yakni kepribadian tanpa daya ikat karena tidak dibangun di
atas kesadaran akidah.
Padahal, dalam Islam, perilaku
dan kepribadian manusia haruslah lahir dari kesadaran akidah, yakni keyakinan terhadap Allah
sebagai Zat yang Maha Menciptakan dan Maha Mengatur manusia. Islam memandang
bahwa kepribadian manusia dibentuk dari pola pikir dan pola sikap yang
bersumber dari akidah.
Dari akidah inilah
lahir ketaatan, rasa takut kepada Allah, dan dorongan untuk senantiasa menjaga
kehormatan diri dan orang lain. Maka kepribadian Islam hanya dapat lahir dari
pembentukan pondasi akidah
yang kokoh, bukan sekadar pelajaran etika di kelas.
Akan tetapi, pembentukan kepribadian
semacam ini hanya akan berhasil jika sistem kehidupan secara keseluruhan
mendukungnya. Sistem pendidikan, politik, hukum, media, dan masyarakat harus
dibangun atas landasan petunjuk wahyu Sang Maha Pencipta yaitu Allah Swt.. Islam telah memiliki
seperangkat aturan yang mampu mengatasi seluruh masalah kehidupan manusia,
termasuk pada aspek penjagaan kehormatan manusia.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati
zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk.” (TQS al--Isra: 32)
Islam tidak hanya melarang
pelecehan seksual, tapi juga menutup semua jalan menuju perzinaan, mulai dari pergaulan
bebas, pakaian yang mengundang syahwat, hingga konsumsi konten vulgar di media.
Bahkan, didukung pula dengan sistem peradilan yang menjamin penegakan hukum
adil sesuai perintah Allah Swt.
atas berbagai tindak kekejian. Inilah keunggulan sistem Islam—mencegah sebelum mengobati, menjaga
sebelum menghukum, serta hukuman adil dan tegas jika telah terjadi.
Jika kita serius ingin
menghentikan tsunami pelecehan seksual di dunia pendidikan, maka solusi tambal
sulam seperti penguatan etika tidak akan cukup. Kita butuh perubahan mendasar,
yakni mengganti sistem permisif sekuler-kapitalisme ini dengan sistem Islam. Kita perlu
menghadirkan kembali kepemimpinan al-Khilāfah ʿalā Minhāj an-Nubuwwah yang
menerapkan Islam kafah.
Hanya dengan hukum Allah Swt.,
kehormatan dan keselamatan generasi benar-benar dapat dijaga.
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ
أَنزَلَ ٱللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ...
“Maka putuskanlah perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka terhadap kebenaran yang telah datang kepadamu…” (TQS al-Maidah:
48). Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar