#Wacana — Ledakan
dahsyat yang terjadi di Gudang Pusat Amunisi (Guspusmu) III Pusat Peralatan
TNI-AD di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, pada Senin pagi,
menewaskan 13 orang—sembilan di antaranya adalah warga sipil. Tragedi memilukan
ini tidak hanya menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban, tetapi juga
menimbulkan pertanyaan serius terkait tata kelola keamanan dan prosedur
pemusnahan amunisi di Indonesia. (epeper.mediaindonesia.com, 14/5/2025)
Amunisi
afkir merupakan amunisi kadaluarsa atau rusak berat yang sudah tidak layak
pakai dan harus dimusnahkan dengan standar keamanan yang sangat ketat.
Aktivitas ini semestinya hanya dilakukan oleh personel militer yang memiliki
kompetensi dan pelatihan khusus agar risiko kecelakaan dapat diminimalisir.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan
adanya keterlibatan warga sipil dalam proses pemusnahan, sebuah praktik yang
sangat tidak lazim dan berisiko tinggi.
Kepala
Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen Wahyu Yudhayana,
mengungkapkan bahwa warga sipil yang menjadi korban diduga tengah mengambil
serpihan logam bekas ledakan amunisi. (republika.id, 14/05/2025).
Versi berbeda disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam
unggahan video akun YouTube resmi miliknya mengatakan bahwa saat dirinya
mendatangi keluarga korban, warga setempat membantah tuduhan soal memungut
bekas rongsokan sisa-sisa ledakan. Mereka telah dipercaya oleh TNI untuk ikut
dalam proses pemusnahan amunisi selama bertahun-tahun. (bbc.com, 14/05/2025)
Perbedaan
narasi ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan prosedur dan transparansi
dalam pelaksanaan pemusnahan amunisi tersebut. Padahal, menurut Petunjuk
Pelaksanaan Teknis Kementerian Pertahanan Nomor UKLAK/04/VI/2010, proses
pemusnahan amunisi harus dilakukan oleh instansi terkait dan tim pemusnahan
yang ditunjuk, tanpa melibatkan warga sipil yang tidak memiliki keahlian
teknis.
Dari
tragedi tersebut Komisi I DPR berencana melakukan audit menyeluruh terhadap
tata kelola pemeliharaan dan pemusnahan amunisi. Meski demikian, audit saja
tidak cukup. Yang paling penting adalah mengusut secara tuntas alasan di balik
keterlibatan warga sipil dalam tugas berbahaya ini serta memastikan agar
kejadian serupa tidak terulang kembali.
Kasus
ledakan amunisi bukanlah hal baru di Indonesia. Pada tahun 2024, ledakan
juga terjadi di gudang amunisi milik Kodam Jaya di Ciangsana, Kabupaten Bogor.
Sayangnya, penyelidikan terhadap kejadian tersebut kurang transparan dan belum
membuahkan solusi yang jelas. Situasi ini menunjukkan adanya masalah sistemik
dalam pengelolaan amunisi dan keamanan di lingkungan militer.
Yang
lebih menyedihkan, di tengah proses penyelidikan, terdapat upaya untuk
mengalihkan perhatian dengan menyalahkan masyarakat sekitar sebagai pemulung
yang mengambil serpihan logam dari lokasi ledakan. Ini menunjukkan kurangnya
tanggung jawab dan transparansi dari aparat terkait dalam menangani permasalahan
tersebut.
Tragedi
ini adalah gambaran nyata bagaimana sistem sekuler yang diterapkan saat ini
dalam pengelolaan negara tidak mampu memberikan perlindungan maksimal kepada
rakyat. Sistem sekuler yang berorientasi pada birokrasi administratif dan
kepentingan politik cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan yang
seharusnya menjadi dasar pengelolaan keamanan negara.
Dalam
sistem ini, pertahanan negara menjadi instrumen untuk mempertahankan kekuasaan
dan keuntungan kelompok tertentu, bukan untuk melindungi rakyat secara
menyeluruh. Kebijakan militer pun sering kali terjebak dalam kepentingan
ekonomi oligarki sehingga aspek keselamatan dan kesejahteraan masyarakat
menjadi korban.
Selain
itu, kondisi ekonomi yang kian memburuk membuat warga sipil terpaksa menerima
pekerjaan berisiko tinggi demi menghidupi keluarga mereka. Keterlibatan warga
sipil dalam proses pemusnahan amunisi bukan hanya masalah prosedur, melainkan
juga gambaran dari ketidakadilan sosial yang diciptakan oleh sistem ekonomi
kapitalis. Mereka yang harusnya dilindungi malah menjadi korban akibat
kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Negara
seharusnya berperan aktif dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti
menyediakan lapangan kerja yang layak, pendidikan yang terjangkau, dan jaminan
keamanan. Namun, kenyataannya negara lebih sering berpihak pada kepentingan
elite dan oligarki, sementara
pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial terus meningkat.
Islam
sebagai ideologi dan sistem yang lengkap menawarkan solusi komprehensif
terhadap persoalan ini. Dalam Daulah Islamiyyah, fungsi
militer tidak hanya sebagai alat kekuatan, tetapi sebagai pelindung umat dan
penegak syariat. Militer yang dibangun dalam sistem Islam memiliki tanggung
jawab moral dan spiritual yang tinggi untuk menjaga keamanan tanpa mengorbankan
rakyat.
Syariat
Islam menegaskan bahwa setiap kebijakan harus didasarkan pada keadilan dan
kemaslahatan umat. Tidak akan ada praktik melibatkan warga sipil dalam tugas
militer berbahaya tanpa pelatihan dan pengawasan yang memadai. Sistem yang
berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah memastikan negara hadir sebagai pelindung dan
pelayan umat, bukan sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan secara
semena-mena.
Hanya
dengan penerapan hukum syariat secara menyeluruh, negeri ini dapat
menyelesaikan berbagai persoalan mendasar, termasuk dalam tata kelola militer
dan keamanan. Tentara akan benar-benar berfungsi sebagai perisai umat Islam,
menjaga keadilan, dan memuliakan ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat.
Semoga
tragedi Garut menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini agar segera
meninggalkan sistem yang gagal dan beralih ke sistem yang mampu membawa rahmat
bagi seluruh rakyat. Wallahualam.[]
0 Komentar