Dewi Purnasari
#Bogor — Satu lagi megaproyek jalan tol akan dibangun
yaitu tol yang menghubungkan Serpong di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten
dengan Salabenda di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jalan Tol
Serpong-Bogor ini sebenarnya adalah bagian dari jaringan Jalan Tol Jakarta
Outer Ring Road (JORR) III yang merupakan rancangan jaringan jalan tol yang
akan melingkari wilayah Jabodetabekpunjur dan sekitarnya. Tol ini direncanakan
akan menjadi jalur bebas hambatan yang menghubungkan wilayah Banten dengan Jawa
barat.
Sebenarnya, JORR III merupakan bagian dari rencana
lima jalan cincin (ring road) di Jabodetabek. Jalur lima jalan cincin mulai
dari wilayah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi melintasi
wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK), PIK 2, Kamal Muara, Kohod, Teluk Naga, Surya
Bahari, Rajeg, Balaraja, Serpong, Parung, Parung Panjang, Bogor, Kabupaten
Bogor, Kabupaten Bekasi, Jonggol, Sentul, Karawang, Babelan, dan Babelan Kota.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor, Ajat Rochmat
Jatnika menyatakan bahwa proyek tol JORR III ini akan mulai memasuki tahap awal
pelaksanaan segera setelah proses lelang resmi rampung (garut.pikiran-rakyat.com,
07/05/2025). Pelelangan ditangani oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR) meliputi 4 ruas jalan tol dan dinyatakan sebagai bagian dari
Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dalam lelang, terpilih sejumlah perusahaan besar
sebagai pemenang tender. Di antaranya adalah PT Persada Utama Infra, PT Jasa
Marga (Persero) Tbk (JSMR), PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) dan PT Hutama
Karya. Keempat perusahaan besar ini kemudian bergabung mendirikan PT Bogor
Serpong Infra Selaras pada 11 September 2024 dengan tanggung jawab penuh atas
pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan Jalan Tol Bogor Serpong via Parung
sepanjang 31,11 kilometer. Tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), modal dasar
perusahaan gabungan ini mencapai Rp67,6 miliar dengan pemegang saham terbesar
(52%) adalah PT Persada Utama Infra. Sedangkan tiga perusahaan lain (JSMR, ADHI,
dan Hutam Karya Infrastruktur) yang merupakan perusahaan BUMN urun saham hanya
masing-masing 26%, 12% dan 10%.
Kolaborasi antara perusahaan BUMN dengan perusahaan
swasta dianggap dapat memberikan keuntungan strategis bagi semua pihak. Bahkan
menurut Arif Hidayat, Direktur Eksekutif Indonesian Infrastructure Development
Forum, kolaborasi antara BUMN dengan sektor swasta makin menjadi tren penting
di Indonesia (LinkedIn, 30/09/2024). Lebih jauh menurut Arif, diharapkan kerja
sama antara perusahaan BUMN dengan pihak swasta dapat menciptakan nilai tambah
dalam pembangunan infrastruktur di negeri ini dan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi lokal serta nasional.
Benarkah proyek-proyek strategis besar seperti JORR
III memberikan manfaat bagi masyarakat baik secara manfaat maupun ekonomi?
Kenyataannya, jalan tol yang akan dibangun melewati tiga kecamatan di Kabupaten
Bogor yaitu Kemang, Ciseeng, dan Rumpin memberi dampak harus digusurnya tak
kurang dari 14 desa. Pembebasan lahan ini belum tentu menjadi hal yang
menguntungkan bagi masyarakat terdampak. Bahkan dalam banyak kasus, pembebasan
lahan bermasalah di sisi ganti rugi lahan yang tak jarang menjadi konflik
berkepanjangan.
Contoh konflik lahan yang hingga kini masih terus
memanas adalah pelaksanaan Proyek PSN Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Sejak akhir
tahun 2024 lalu Kementerian ATR/BPN menemukan sejumlah pelanggaran yang
dilakukan oleh pengembang proyek PSN PIK 2 di Banten tersebut. Di antaranya
adalah ditemukan bahwa Tropical Coastland tidak menaati RT RW Provinsi dan RT RW
Kabupaten/Kota. Proyek garapan Agung Sedayu Grup milik Aguan ini juga diketahui
sebagian berada di kawasan hutan lindung yang dilarang digunakan untuk proyek
apa pun. Agung Sedayu Grup tidak memiliki Hak Penggunaan Lahan (HPL) tetapi
telah menjadikan lahan hutan lindung tersebut menjadi bagian dari proyek
pembangunan Tropical Coasland.
Pada setiap proyek yang membutuhkan pembebasan lahan
memang acap kali terjadi masalah ketidaksesuaian ganti rugi lahan, perampasan
lahan yang bahkan bisa berujung pada penganiayaan dan jatuhnya korban jiwa dari
masyarakat terdampak. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat
serampangannya penelitian di tahap AMDAL-nya. Proyek yang memerlukan pembebasan
lahan juga rentan menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat terdampak,
seperti pada kasus Proyek PSN Rempang Eco City di Rempang, Kepulauan Riau akhir
tahun 2023 lalu.
Proyek-proyek tersebut, terlebih jika termasuk dalam
PSN, nyata telah melakukan banyak pelanggaran yang berujung terzaliminya
masyarakat yang terdampak proyek tersebut. Apalagi jika dilihat dari sisi
dampak bagi masyarakat yang tergusur pemukimannya dan mata pencahariannya.
Rencana pembangunan JORR III misalnya, dibutuhkan tak kurang dari 305 hektar
lahan yang harus dibebaskan. Sementara di lahan tersebut masyarakat bermukim,
bertani, berkebun, beternak, berjualan dan lain sebagainya. Apalah gunanya dibangun
jalan tol yang mulus jika masyarakat kehilangan tempat mereka hidup dan mencari
penghidupan.
Jalan Tol Serpong-Bogor yang diharapkan dapat menjadi
solusi untuk mengurai kemacetan dan meningkatkan konektivitas antar wilayah di
kawasan Jabodetabek bisa jadi kontra produktif jika masyarakat menjadi sulit
berniaga. Akhirnya, alih-alih memacu perkembangan wilayah pinggiran yang selama
ini dianggap kurang terjangkau infrastruktur jalan, dibangunnya jalan tol
justru tidak tepat untuk akses masyarakat. Mereka tidak butuh jalan tol. Mereka
lebih membutuhkan jalan biasa dan jembatan-jembatan yang baik (tidak rusak)
sehingga bisa mereka lalui dengan mudah untuk menunjang aktivitas ekonomi dan
berbagai kegiatan mereka. Sementara jalan tol bukan untuk mereka, tetapi lebih
untuk lalu lalangnya truk-truk logistik korporasi-korporasi besar, mobil-mobil
pribadi kalangan berpunya, dan para pejabat negara.
Proyek jalan tol selalu menjadi manifestasi dari
sistem ekonomi kapitalis. Pembangunan dan pengoperasiannya tampak sekali sarat
dengan kepentingan para korporat dan investor dalam mencari keuntungan.
Melewati jalan tol harus berbayar, karena jalan ini sifatnya sebagai komponen
bisnis, bukan pelayanan dari negara untuk rakyatnya. Dalam aturan Islam negara
harus menyediakan dan membangun semua infrastruktur yang dibutuhkan oleh
rakyat, tanpa menggandeng pihak lain (investor dalam ataupun luar negeri).
Di sisi lain, jika masyarakat lebih memerlukan jalan
biasa yang baik dan terawat dari pada jalan tol, maka membuat jalan tol tidak
diperlukan. Semua harus diawali dengan pengkajian oleh khalifah secara mendetil
dan mendalam terhadap apa yang dibutuhkan oleh rakyat, bukan asal membangun
dengan latar belakang keuntungan. Negara dilarang mencari keuntungan dengan cara
berbisnis dengan korporat atau investor. Apalagi jika kemudian menzalimi
dan menekan rakyat. Ini karena pemimpin
dalam Islam adalah raa’in (pengurus). Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (pemimpin) adalah raa’in (penggembala/pengurus) dan ia bertanggung jawab
atas rakyatnya.” (HR Bukhari).[]
0 Komentar