Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Geram! Baru-baru ini viral di media sosial tentang adanya grup Facebook “Fantasi Sedarah” yang isinya diikuti oleh lebih dari 32.000 akun pengguna. Memuat ketertarikan sosial akan hubungan sedarah atau inses. Dalam beberapa unggahan bahkan sempat terlihat membagikan fantasi-fantasi penggunanya kepada sanak saudara terutama anak di bawah umur dan bagaimana mereka melakukan ‘pendekatan’ terhadap korban.
Menanggapi hal tersebut Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) segera melakukan pemblokiran terhadap 6 (enam) grup bertemakan inses yang keberadaannya meresahkan masyarakat tersebut. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemenkomdigi, Alexander Sabar, menyebut pemblokiran tersebut diakukan karena grup-grup tersebut terbukti bertentangan dengan norma sosial dan hukum yang berlaku di Indonesia (nasional.kompas.com, 16/05/2025). Lebih lanjut pemblokiran akses tersebut dinilai sebagai implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No.17/2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga turut buka suara. Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, mengecam keberadaan grup yang mengindikasikan penyimpangan seksual, kejahatan seksual, informasi ataupun kampanye serupa (detik.com, 18/05/2025). Kecaman serupa juga segera dilontarkan berbagai pihak yang merasa prihatin akan bobroknya moral para anggota grup inses tersebut.
Fenomena miris semacam inses pada kenyataannya telah berkembang begitu masif terutama di era digital seperti saat ini. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) bahkan menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2025 ini sudah tercatat setidaknya 3.895 kasus kekerasan seksual yang sebagian besar justru terjadi di lingkungan rumah tangga (antaranews.com, 17/05/2025). Pada tahun 2022 Komnas Perempuan bahkan menyampaikan kekerasan dalam ranah privat senantiasa dominan dalam jumlah laporan kekerasan dengan 433 kasus inses sepanjang 2022 dilakukan mayoritas oleh ayah kandung.
Keberadaan grup “Fantasi Sedarah” ataupun sejenisnya menjadi bukti nyata bagaimana ruang aman anak kian terkikis. Ironisnya pelaku kejahatan seksual tidak jarang merupakan orang terdekat seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek, kakak, sepupu atau bahkan tetangga. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pertama dan utama bagi perlindungan anak, justru berubah menjadi neraka bagi anak-anak.
Fenomena inses sebagaimana dalam kasus “Fantasi Sedarah” hanyalah bom waktu yang secara nyata akan menghancurkan fondasi moral generasi mendatang. Namun, perlu diingat bahwa kasus inses bukanlah hal yang aneh terjadi di alam sekuler-liberal seperti saat ini. Paham sekuler yang menjadikan manusia tidak lagi mengkaitkan setiap perbuatan mereka dengan label halal-haram, pada akhirnya mengaburkan ‘konsep’ dosa dan maksiat. Lebih dari itu, paham liberal yang mengagung-agungkan ide kebebasan membuat penyimpangan-penyimpangan seperti halnya narasi inses bisa dengan mudah tersebar dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Dari sini terlihat jelas bagaimana paham sekuler-liberal telah benar-benar menghancurkan tatanan keluarga.
Tidak sampai disitu saja, paham sekular-liberal telah secara nyata mengaburkan peran orang tua dan anak dalam ranah domestik. Fenomena fatherless (tanpa ayah) misalnya, menjadi cerminan bagaimana kehidupan sekular-liberal membuat kaum Adam tidak lagi memahami perannya secara benar sebagai sosok ayah dan kepala rumah tangga. Tidak jarang ‘kebodohan’ para lelaki akan perannya tersebut, memaksa kaum Hawa menjadi tulang punggung keluarga. Walhasil, kewajiban mencari nafkah malah ditumpukan kepada para ibu yang seharusnya bertugas sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya.
Kebingungan peran orang tua dalam ranah rumah tangga tentu saja bukanlah hal sepele. Hal tersebut menjadikan pendidikan anak dalam tatanan keluarga tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Dari sini sangatlah wajar jika kemudian anak pun lebih memilih ‘bersandar’ kepada dunia maya dan menjadi celah awal bagi mereka untuk terperangkap dalam jebakan para predator seksual.
Parahnya lagi, tidak pahamnya para orang tua akan perannya terutama ayah membuat mereka tidak lagi melihat anak sebagai amanah dari Allah Swt. yang harus mereka jaga dan pelihara. Anak justru dinilai sebagai objek dan komoditas pemuas hasrat orang tua baik secara seksual maupun nonseksual. Di satu sisi, anak sering dianggap sebagai miniatur orang tua yang sepenuhnya harus sesuai dengan ‘cetakan’ ayah dan ibunya. Di sisi lain, fenomena “fantasi sedarah” memperlihatkan bagaimana ada banyak para orang tua baik itu ayah, ibu, kakek hingga paman yang ‘melihat’ anak di bawah umur sebagai sosok yang tidak berdaya dan paling mudah dijangkau untuk memenuhi hasrat seksual bejat mereka.
Rendahnya pemahaman para orang tua akan mereka sesungguhnya tidak terlepas pula dari bobroknya sistem pendidikan kapitalis yang diterapkan di negeri ini. Sistem pendidikan kapitalis yang mengedepankan keberhasilan materi, celakanya hanya fokus mencetak anak-anak pintar guna mengisi kuota kebutuhan industri tanpa memperhatikan pembentukan iman dan takwa. Dari sini bukanlah hal yang aneh jika pendidikan adab dan akhlak terlebih lagi fikih keluarga tidak lagi dipahami oleh para anak didik yang di kemudian hari akan menjadi orang tua.
Kapitalisme tidak hanya berkontribusi besar dalam merusak tatanan keluarga dari sisi pendidikan tetapi juga dari segi ekonomi. Beban hidup yang berat dalam kehidupan kapitalis benar-benar makin memaksa para ibu untuk keluar rumah mencari nafkah. Mereka pun harus rela mengalihkan kewajiban mereka untuk mendidik anak kepada sanak saudara bahkan Asisten Rumah Tangga (ART). Bahkan tidak jarang para ibu merelakan anak-anak mereka dititipkan ke tempat penitipan anak semasa mereka bekerja.
Kemiskinan struktural yang dibentuk oleh sistem kapitalis juga berkontribusi dalam membuka peluang inses. Dalam kehidupan ekonomi yang serba sulit seperti saat ini, seringkali kita jumpai rumah petak yang diisi oleh lebih dari 1 (satu) entitas keluarga. Akibat dari sulitnya akses rumah murah membuat banyak masyarakat miskin terpaksa hidup tumpang tindih dalam satu atap. Padahal kondisi demikian makin memperlebar peluang terjadinya inses.
Mirisnya, perilaku inses tidak melulu terjadi di lingkungan rakyat menengah ke bawah. Masih kita temukan kasus inses antara kakak dan adik yang terjadi di lingkungan kaum berada. Pasalnya, kedua orang tua mereka sibuk meniti karir dan menggapai gaya hidup ‘mewah’ hingga lupa menanamkan pendidikan agama (Islam) kepada buah hati mereka. Para orang tua juga sering melupakan adab-adab ‘sepele’ semisal memisahkan tempat tidur anak, batasan aurat hingga pengenalan ‘waktu berkunjung’ ke ruang privat orang tua kepada anak-anak mereka. Dari sini kita melihat bagaimana gaya hidup hedonis yang melekat dalam sistem kehidupan kapitalis justru mendorong para orang tua untuk lalai akan kewajibannya terhadap anak.
Sungguh, penerapan sistem sekuler-kapitalimes-liberal telah benar-benar menghancurkan fungsi keluarga. Sistem kufur tersebut kian menyulitkan terbentuknya keluarga-keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah di tengah-tengah masyarakat. Keluarga yang seharusnya menumbuhkan rasa bahagia bagi anggotanya dan menjadi obat pelipur lara justru dihantui rasa bersalah dan ketakutan yang tiada habisnya bagi para anggota keluarga. Masing-masing anggota keluarga tidak lagi menjalin hubungan satu sama lain dengan rasa hormat dan kasih sayang yang benar, tetapi sebatas melampiaskan nafsu seksual. Padahal Allah Swt. telah memberi peringatan yang nyata dalam Firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS at-Tahrim: 6)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar