PHK Merajalela, di Mana Janji dan Peran Negara ?




#Wacana — Tingkat PHK di Indonesia melonjak tajam pada kuartal pertama tahun 2025. APINDO mencatat hampir 74 ribu pekerja diberhentikan atau terancam PHK antara Januari hingga Maret 2025, berdasarkan data klaim BPJS Ketenagakerjaan.



Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker) juga menunjukkan data peningkatan PHK sejak Januari hingga 23 April 2025 yakni sebesar 24.036 yang disampaikan langsung oleh Mentri Ketenagakerjaan Yassierli dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Senin, (5/05/2025). Berdasarkan penilaiannya, setidaknya terdapat tujuh penyebab fenomena ini terjadi. Antara lain, adanya kerugian yang dialami oleh perusahaan disebabkan perekonomian pasar yang melemah; rekolasi tempat untuk efisiensi upah; konflik hubungan industrial dengan adanya pelanggaran kerja; aksi mogok kerja hingga mengakibatkan kerugian besar perusahaan; efisiensi anggaran untuk mencegah kerugian; transformasi perusahaan; serta perusahaan yang mengalami pailit.



Rangkaian permasalahan di atas yang mengakibatkan PHK massal ini terjadi menunjukkan situasi perekonomian negara yang kompleks. Perlu penanganan serius dari negara agar permasalahan ini tidak menjadi bola salju yang dampaknya makin merambah pada berbagai aspek kehidupan.



Kehilangan mata pencaharian menciptakan dampak yang kompleks bagi masyarakat, jauh melampaui sekadar masalah ekonomi individu. Hal tersebut akan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Muncul kesulitan seperti tidak terpenuhinya kebutuhan pokok, meningkatnya kemiskinan, peningkatan anak dengan kondisi gizi buruk, daya beli masyarakat yang menurun, dan tentunya berdampak pada regulasi pasar ekonomi. Masalah ini bertambah genting karena kurangnya respons dan penanganan yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah. Negara memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan perekonomian dalam negeri. Hubungan pekerja dan perusahaan, serta kestabilan pasar perlu naungan dan peran negara.


 


Cara Kerja Sistem Kapitalisme



Dalam negara kapitalis, keuntungan beberapa orang pemilik modal adalah hal utama yang diprioritaskan. Kesejahteraan para pekerja bukanlah masalah saat tujuan para pemilik modal telah tercapai. Meminimumkan gaji dengan jobdesk yang menggunung bukan lagi menjadi masalah di negeri ini. Sebab, saat lapangan pekerjaan dirasa begitu sulit, maka gaji yang tidak sebanding dengan pekerjaan akan tetap menjadi rebutan demi terpenuhinya kebutuhan. Sungguh miris memang, para pekerja bak sapi perah yang habis-habisan diperas keringatnya dengan gaji seminimal mungkin demi keuntungan yang lebih besar untuk perusahaan.



Tak jarang, hal ini pula yang melemahkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Atas nama pekerjaan, para pekerja kehilangan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. Sebagai contoh, waktu lembur yang tidak dibayar dianggap sebagai loyalitas terhadap pekerjaan, tetapi jika tidak dikerjakan dapat berakibat pemutusan kontrak kerja. Loyalitas yang digaungkan sebagai kesadaran, justru menjadi sebuah tekanan, kewajiban, bahkan ancaman. 



Melihat realitas demikian, tentu terlihat jelas betapa pentingnya suatu pekerjaan untuk seseorang. Bahkan saat banyak hak para pekerja yang tidak tertunai, takada yang bisa mereka perbuat selain berdamai.



Islam Menjaga Kesejahteraan



Jauh berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem Islam telah secara terperinci menjelaskan dan menitikberatkan aturan dalam sebuah pekerjaan beserta adab-adab di dalamnya. Dalam konteks memanusiakan manusia, Islam hadir sebagai solusi. Sebab, tak hanya hubungan dengan Tuhan yang diatur dalam Islam, tetapi juga hubungan sesama manusia dalam ranah pekerjaan atau aspek lainnya telah diatur oleh Islam.



Sebagaimana disebut dalam hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar:
 



‎عن عبد الله بن عمر، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أعطوا الاجير أجره، قبل أن يجف عرقه 
 



Artinya, “Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah saw bersabda, ‘Berikanlah upah kepada pekerja, sebelum keringatnya mengering’.” (HR Ibnu Majah)




Tenggat waktu memberikan upah dalam Islam diatur dengan jelas. Dari hadis di atas menunjukkan bahwa upah tidak boleh diberikan melewati batas waktu yang telah ditentukan. Seperti para pekerja saat ini, tanggal diberikannya upah sudah ditentukan. 



Dalam QS an-Nisa: 29



‎ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ۝٢٩



"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."



Dalam sistem Islam, harta seseorang adalah hak yang harus dijaga. Sehingga, memakan harta orang lain dengan cara yang batil adalah perbuatan dosa. Dalam perniagaan, Islam juga mengatur agar kesepakatan yang terjadi harus atas dasar suka sama suka. Ada keridaan antara kedua belah pihak. Hal ini tentu untuk menjaga kesejahteraan seluruh pihak yang terkait perniagaan, takada yang terzalimi. 



PHK yang terjadi atas dasar keputusan zalim para pengusaha di sistem ekonomi kapitalis tentunya merugikan banyak pihak dan hanya menguntungkan segelintir orang yang berkuasa. Kesejahteraan banyak pekerja tak lagi dihiraukan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Terlebih, asas ekonomi kapitalis adalah keuntungan para pemilik modal. Sehingga kesengsaraan pekerja tidak dirasa menjadi tanggung jawab mereka. Sementara itu, sistem Islam menerapkan aturan agar kehidupan, termasuk dalam ranah pekerjaan menjadi suatu aktivitas yang penuh keridaan dan keberkahan.[]



Nurjannah

Posting Komentar

0 Komentar