Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Konflik Teheran–Tel Aviv memasuki babak baru setelah baru-baru ini militer USA membombardir tiga pusat nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Tidak lama berselang, pihak Teheran segera melangsungkan serangan balasan yang berhasil menargetkan 14 situs militer dan industri strategis Isra-Hell dalam semalam (22/06). Juru bicara IRGC (Korps Garda Revolusi Islam) Iran, Brigadir Jenderal Ali-Mohammad Naini, menyatakan bahwa operasi tersebut mengerahkan rudal Qadr jarak jauh beserta kawanan pesawat nirawak dengan target utamanya pertahanan udara Isra-Hell di Haifa dan Tel Aviv (sindonews.com, 22/06/2025). Sehari berselang, Iran melanjutkan serangannya pada pangkalan udara Al-Udeid, Qatar, yang merupakan pangkalan militer US terbesar di wilayah teluk dan merupakan markas dari 10.000 pasukan AS (detik.com, 24/06/2025).
Serangan sepihak Isra-Hell atas Iran sejak Jumat (13/06) bukanlah serangan biasa. Pihak Z!0n1$ mengklaim bahwa serangan itu adalah serangan "pencegahan", yang dimaksudkan untuk mengatasi ancaman langsung dan tak terelakkan dari pihak Iran untuk membuat bom nuklir. Isra-Hell bahkan menyatakan adanya laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang dirilis pada 12 Juni lalu atas pelanggaran material Iran terhadap komitmen Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) hingga awal tahun 2000-an. Isra-Hell kemudian menggambarkan dirinya sebagai pihak korban dan menempatkan Iran sebagai agresor dengan senjata nuklir yang disebut memberi ‘ancaman bagi kelangsungan hidup Isra-Hell’ (aljazeera.com, 15/06/2025).
Serangan pada Jumat (13/06) bahkan memiliki arti lebih dalam dan luas dengan adanya campur tangan negara adidaya Amerika. Isra-Hell yang sedari dulu tidak pernah benar-benar berani melangsungkan perang terbuka dengan Iran, pada akhirnya ‘memberanikan dirinya’ dan menargetkan beberapa situs nuklir Teheran. Serangan yang menewaskan banyak warga sipil di pihak Teheran beserta pejabat militer senior serta ilmuwan tersebut kemudian memaksa Iran mengambil langkah menyerang dan harus membalas. Situasi panas tersebut kini kian memanas dengan Iran yang mulai menargetkan tidak hanya Tel Aviv tetapi juga pangkalan militer US di wilayah teluk.
Hubungan Washington–Teheran sebetulnya tidak selalu ‘panas’. Di awal masa kepemimpinan Presiden AS Joe Biden, pihak Pentagon sempat melakukan pendekatan intensif dengan pihak Iran terutama terkait program nuklir mereka sebagai tindakan follow up atas perjanjian bilateral kedua negara di tahun 2015. Biden bahkan sempat mencabut ‘status’ teroris untuk gerakan militer Houthi yang diketahui mendapat dukungan amunisi dari Iran. Kebijakan Biden tersebut disebut-sebut sebagai upaya ‘culas’ AS untuk merangkul dua pihak yang berseteru di area Timur Tengah, yakni Iran dan Arab Saudi sekaligus. US bahkan sempat berupaya meregangkan hubungan Teheran dan Moscow sebagai bentuk ‘komitmen’ Gedung Putih menjaga perdamaian Arab.
Tetapi nyatanya tidak ditemukan titik temu dan Teheran menolak mentah-mentah upaya perundingan nuklir bersama pihak Amerika dan juga negara-negara Eropa. Maka di bawah kepemimpinan Biden pada Februari 2021 silam, USA menggelar operasi serangan militer udara pertama yang tujuannya melumpuhkan titik kendali perbatasan kelompok milisi yang didukung Iran. Baik pihak Washington maupun Teheran saling tuding tentang siapa yang harus mengambil langkah awal menghidupkan kembali kesepakatan Wina tentang nuklir di tahun 2015.
Dari sini wajar jika US senantiasa menganggap Iran sebagai duri dalam daging untuk wilayah Timur Tengah. Amerika tidak bisa dengan leluasa memegang kontrol area teluk sekalipun sudah berhasil ‘memegang kendali’ atas Arab Saudi, UEA (Uni Emirat Arab), Yordania, hingga Mesir. Maka dari itu peran Isra-Hell sebagai ‘perusuh’ sangat diperlukan dan menjadi pion utama Washington guna memastikan ketidakstabilan politik di wilayah tersebut. Isra-Hell yang secara rutin mendapat pasokan amunisi dan kebutuhan militer dari US akan terus bergerak sesuai dengan kehendak tuannya, Amerika. Celakanya hal yang sama berlaku pula bagi para rezim negeri-negeri Arab yang ikut bertekuk lutut pada majikan mereka, USA.
Oleh karenanya bukanlah hal yang aneh jika Tel Aviv secara tidak biasa melakukan serangan langsung ke pihak Iran. Rudal-rudal yang meluncur ke wilayah Teheran tidak lain dikirimkan dengan ‘restu’ dari Gedung Putih. Tidak lama kemudian hal yang dilakukan langsung oleh pihak Pentagon dengan harapan Iran akan ‘menyerah’ dan mengikuti keinginan mereka. Gaya ‘pongah’ imperialisme negara adidaya tampak jelas terlihat dari slogan Trump “Make America Great Again” yang memaksakan dirinya sebagai pemimpin dan polisi dunia tak terkecuali Iran.
Nyatanya, serangan balasan yang dilancarkan Teheran berhasil membobol pertahanan Iron Dome Z!0n1$—menunjukkan betapa rapuhnya sistem pertahanan Yahudi. Kaum Z!0n1$ sejatinya benar-benar tidak dapat membela diri mereka tanpa adanya perlindungan penuh dari negara adidaya, yakni Inggris sejak Perang Dunia I dan kemudian dilanjutkan oleh USA pasca-Perang Dunia II. Isra-Hell pun tidak berani banyak bergerak tanpa izin Pentagon. Dari sini jelas bahwa kaum Z!0n1$ hanyalah sebatas bidak bagi permainan hegemoni negara adidaya.
Yang menarik dan patut digarisbawahi dalam konflik Teheran-Tel Aviv adalah bagaimana keduanya dipisahkan oleh Yordania, Suriah, dan Irak secara geografis. Artinya tatkala kedua pihak melancarkan serangan udara, setidaknya dua dari tiga negara tersebut harus dilewati. Namun, sepanjang konflik panas yang terjadi dalam dua pekan ini, tidak ada satu pun intervensi yang dilakukan baik oleh pihak Yordania, Suriah, maupun Irak. Pihak Z!0n1$ yang seharusnya menjadi musuh bersama dan utama kaum muslim justru bisa dengan bebas mengarahkan rudal-rudal dan pesawat tempurnya melintasi wilayah udara negeri-negeri muslim dengan tujuan membunuh anak-anak muslim Iran.
Sikap diamnya para rezim Yordania, Suriah, dan Irak sama seperti halnya sikap diam para penguasa Arab lainnya dalam pembersihan etnis yang dilakukan Isra-Hell terhadap P4L3st1n4. Masih segar dalam ingatan kita betapa memalukannya sikap penguasa Mesir yang menutup pintu gerbang Rafah. Sejak deklarasi sepihak Isra-Hell dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1948 hingga detik ini, belum ada sejarahnya tentara-tentara Arab menghentikan kebiadaban Z!0n1$ di tanah P4L3st1n4.
Di sisi lain, sering kita mendengar kabar bagaimana gerakan militan semacam Houthi ataupun Hizbullah yang secara aktif membombardir Isra-Hell. Kedua gerakan tersebut diketahui memiliki afiliasi dengan pihak Teheran bahkan mendapat bantuan amunisi darinya. Pihak H4m4s yang hingga detik ini mempertahankan wilayah G4z4 dari pendudukan penjajah pun memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Iran. Lalu apakah itu berarti Iran berada di pihak P4L3st1n4?
Sejarah menunjukkan bahwa sebelum serangan langsung Isra-Hell pada 13 Juni lalu, Iran tidak pernah benar-benar melakukan perang terbuka dengan pihak Z!0n1$. Teheran kebanyakan hanya berperan di belakang kelompok militan sejenis Houthi, Hizbullah, maupun H4m4s dalam melakukan serangan terhadap Yahudi. Hal tersebut dilakukan tidak lain sebagai bentuk pengamanan agar Isra-Hell tidak akan pernah mengganggu kepentingan Iran di wilayah teluk.
Sebaliknya sikap rezim negeri-negeri Arab jauh lebih memalukan. Negara-negara Arab lebih fokus pada perseteruan mereka dengan Iran yang dianggap sebagai ‘musuh bersama’. Negeri-negeri muslim Sunni seperti Arab Saudi dan UEA senantiasa berupaya menekan pengaruh Teheran secara regional. Kondisi ini kemudian menjadikan negeri-negeri Arab rela ‘berjabatan tangan’ dengan Amerika dan negara-negara Barat untuk melawan Teheran sekalipun harus mengorbankan rakyat P4L3st1n4. Sebagai kompensasi bantuan yang diberikan negara adidaya terhadap mereka, negeri-negeri Arab memilih diam dan menutup mata atas setiap agresi militer yang dilancarkan oleh Z!0n1$ di tanah P4L3st1n4.
Padahal secara nyata kekuatan militer negeri-negeri muslim lebih dari cukup untuk menghancurkan Isra-Hell. Jumlah angkatan militer negeri-negeri muslim jauh melebihi apa yang dimiliki oleh Tel Aviv bahkan jika disokong penuh oleh angkatan militer Negeri Paman Sam. Misalnya saja Iran dan Mesir memiliki masing-masing 610.000 dan 438.500 tentara aktif per tahun 2022. Jumlah tersebut jauh mengalahkan total angkatan bersenjata Yahudi yang hanya berada di angka 169.500. Iran bahkan diketahui memiliki setidaknya 4.000 tank, ribuan artileri roket dan 541 pesawat tempur (sindonews.com, 31/01/2023). Negara Arab lainnya semisal Arab Saudi dan UEA bahkan secara rutin membeli perlengkapan perang termutakhir kepada USA dalam satu dekade terakhir.
Sayangnya, kekuatan militer yang dimiliki negeri-negeri muslim justru tidak dikerahkan untuk membebaskan tanah P4L3st1n4 dari penjajahan. Mereka justru mempertontonkan sikap khianat dengan berdiam diri dan tunduk patuh pada perintah penjajah Amerika. Sikap busuk mereka sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. sebutkan dalam sabdanya, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekali dan penuh liku), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR Muslim No. 2669)
Demikianlah para penjajah telah benar-benar mencerai-beraikan negeri-negeri muslim dan membiarkan mereka mengorbankan rakyat P4L3st1n4. Amerika beserta para sekutunya, khususnya Isra-Hell senantiasa berupaya memporak-porandakan kesatuan umat melalui konflik picisan semisal isu Sunni–Syiah. Para penjajah juga senantiasa melantunkan lagu nasionalisme untuk memastikan tidak terjadinya konsolidasi umat abadi. Mereka melakukan dikotomi umat dengan mengatasnamakan kebangsaan dan membuat tiap-tiap pemimpin muslim sibuk dengan urusan negerinya saja. Padahal Rasulullah saw. telah benar-benar menyampaikan, "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)." (HR Muslim No. 4685)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar