Siti Rima Sarinah
#Bogor — Kebijakan efisiensi anggaran tengah dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengoptimalkan penggunaan dana negara dengan cara mengurangi belanja pada kementerian/lembaga dan transfer ke daerah. Efisiensi anggaran ini ditujukan juga untuk mengurangi beban utang negara dan mencegah korupsi serta penyalahgunaan anggaran yang banyak terjadi di negeri ini, yang mengakibatkan kerugian pada negara dan berpengaruh besar pada perekonomian rakyat.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan kebijakan efisiensi anggaran dipastikan akan dilanjutkan tahun 2026 yang disusul dengan penyusunan pagu 2026. Ia menyebutkan efisiensi dilakukan untuk penguatan kualitas belanja agar lebih produktif dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, perbaikan kualitas layanan publik dan penguatan kemandirian daerah. (detik.com, 21/05/2025)
Bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Menkeu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) justru memberikan lampu hijau kepada seluruh pemerintah daerah untuk bisa menggelar kembali kegiatan sampai rapat di hotel dan restoran. Keputusan Mendagri ini disambut baik oleh Wali Kota Bogor, Dedie Rachim. Pasalnya, hal ini membuka peluang kembali bergeraknya perekonomian di sektor perhotelan dan dapat meringankan beban hotel akibat kebijakan efisensi tersebut. (radarbogor, 15/06/2025)
Sungguh sangat disayangkan penghentian kebijakan efisiensi anggaran di lingkungan pemerintahan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa pegawai pemerintah dari pusat hingga daerah banyak melakukan pemborosan anggaran untuk rapat di hotel dengan nilai yang cukup fantastis. Belum lagi fasilitas mewah yang senantiasa kerap menghiasi kehidupan pejabat di negeri ini. Rakyat sangat berharap kebijakan efisiensi ini dapat meringankan beban hidup rakyat karena anggaran dana tersebut dapat dialokasikan untuk kepentingan rakyat.
Tampak jelas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini sangat berpihak pada pengusaha. Pemerintah hanya memikirkan nasib pengusaha dengan menghidupkan kembali bisnis hotel dan restoran. Hal ini dilakukan oleh pemerintah karena hotel dan restoran akan memberikan pemasukan kepada pemerintah melalui pajak. Lalu, apakah pemerintah tidak memikirkan nasib rakyat yang susah payah berjuang hidup dalam himpitan ekonomi yang makin sulit?
Inilah watak pemerintah yang berdaulat dalam sistem kapitalisme, hanya berpihak pada segolongan orang yang akan mengalirkan cuan buat pemerintah. Sistem ini juga telah menjadikan pemerintah sebagai budak koorporasi hanya karena 'balas budi'. Karena koorporasi dan para pengusaha inilah yang telah sangat berjasa menjadikan mereka bisa duduk di kursi pemerintahan. Dan sebagai imbalannya, setelah menjabat mereka tunduk dan patuh dengan apa saja yang diinginkan dari “penyokong dana kampanye” mereka.
Belum lagi, berbagai kebijakan yang menguntungkan segelintir orang ini, sangat rentan terjadi penggelapan dana negara alias korupsi. Bahkan negeri ini telah mendapat predikat 'surga korupsi'. Apabila hal ini dibiarkan maka akan lahir kebijakan demi kebijakan yang makin memberatkan dan memiskinkan rakyat. Karena rakyat hanya dipandang sebagai 'abdi negara' yang diambil uangnya untuk memenuhi pundi-pundi rekening mereka yang sudah sangat gendut. Pada akhirnya, mereka makin kaya, sementara harapan rakyat untuk hidup sejahtera hanyalah ilusi semata.
Inilah fakta kezaliman sistem kapitalisme yang mengatur kehidupan rakyat saat ini. Kondisi seperti ini harus segera diubah. Harus ada upaya untuk mengganti sistem yang hanya bisa memiskinkan dan menyengsarakan rakyat ini. Dan satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat hanyalah sistem yang berlandaskan pada syariat Islam, yaitu sistem Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Seorang khalifah diangkat untuk menjalankan amanah yang telah diwajibkan kepadanya, di antaranya menjamin kesejahteraan rakyat. Khalifah bersama pejabat pemerintahannya mendedikasikan diri untuk menjadi pengurus dan pelayan rakyat karena dorongan keimanan dan ketakwaan. Tak tebersit sedikit pun di benak mereka untuk mengambil keuntungan dari jabatan dan amanahnya sebagai pelayan rakyat. Sebab, mereka sangat memahami bahwa jabatan yang mereka miliki saat ini, kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.. Mereka melaksanakan amanahnya semata-mata hanya ingin mendapatkan pahala dan rida dari Rabbnya. Sehingga mereka bersungguh-sungguh menjadi garda terdepan, hadir di tengah rakyat untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh rakyat, dan menyelesaikan semua persoalan kehidupan rakyat. Seperti inilah sosok pemimpin bervisi akhirat.
Terkait anggaran dana yang dikeluarkan, Khalifah akan mengalokasikan sesuai syariat Islam. Sehingga tidak akan pernah terjadi dalam sistem Khilafah, pejabat negara menghambur-hamburkan uang rakyat hanya untuk rapat dan mendapatkan fasilitas 'wah' dari negara, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini. Dengan mekanisme seperti ini, akan menutup peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran atau korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat. Kalau pun hal tersebut terjadi, syariat Islam akan memberi sanksi yang berat dan memberi efek jera kepada pelakunya tanpa pandang bulu. Baik dilakukan oleh rakyat maupun pejabat, semua akan mendapatkan hukuman yang setimpal.
Oleh karena itu, kebijakan efisiensi anggaran dalam sistem kapitalisme hanyalah drama baru bagi pemerintah untuk menyenangkan hati rakyat. Hanya memberi ilusi dan angan-angan tentang kesejahteraan, padahal yang sejahtera hanyalah penguasa dan para kroni-kroninya. Sudah saatnya kita beralih pada sistem yang mampu meriayah (melayani dan mengurus) rakyat dengan sepenuh hati, yang akan mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang nyata bagi seluruh individu rakyat secara adil dan merata. Wallahua’lam.[]
0 Komentar