Ganti Menteri Ganti Kebijakan, Kebingungan Arah Pendidikan?




Hanin Syahidah


#CatatanRedaksi — Setiap ganti periode pemerintahan, kalangan civitas akademika terutama tingkat dasar dan menengah akan mulai lagi dengan kurikulum baru, mereka akan menyesuaikan dengan kebijakan baru dari menteri yang baru. Seperti dilansir Tempo.co, (04/06/2025), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah resmi menerbitkan aturan soal pelaksanaan tes kemampuan akademik (TKA). Tes ini merupakan sistem penilaian nasional tingkat akhir suatu jenjang pendidikan. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dasar dan Menengah Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik. Akhirnya kembali ke kebijakan UN lagi, dengan bahasa yang baru yaitu Tes Kemampuan Akademik (TKA).


Beban perubahan tidak hanya dialami kalangan civitas akademika di sekolah saja, emak-emak yang anaknya masih usia sekolah juga tak kalah pusing, karena berimbas pada buku paket dan buku LKS anak juga berubah. Walhasil, orang tua harus memutar otak lagi untuk membeli buku paket dan LKS yang baru. Yang anaknya lebih dari satu, buku sang kakak sudah tidak terpakai lagi oleh sang adik begitu seterusnya. Tumpukan buku-buku bekas yang sudah tidak relevan lagi untuk dipakai menghiasi sudut-sudut rumah. Muncul dalam benak, akan dibawa ke mana arah pendidikan negeri ini, generasi penerus bangsa hanya dibuat sebagai "kelinci percobaan", seolah sekolah tidak ada relevansinya dengan kualitas kepribadian generasi bangsa ke depannya. 


Misalnya, setelah sebelumnya dengan menteri yang lama dengan kurikulum merdeka dengan tujuan anak-anak "enjoy" belajar dengan bahasa lain tidak ada paksaan dalam belajar, akhirnya output-nya kacau balau. Banyak curhatan guru di sosial media bahwa anak kelas 4 SD atau lulus SD belum bisa baca, bahkan menjawab pertanyaan remeh saja mereka tidak bisa. Siswa tidak boleh ada yang tinggal kelas meskipun anak itu memang sebenarnya tidak mampu untuk naik kelas. Belum lagi dalam pendidikan perguruan tinggi, lulusan kuliah hanya dicetak sebagai budak korporasi karena ada aktivitas kuliah dengan magang di sejumlah perusahaan yang bobot SKS-nya cukup tinggi. Maka, makin kompleks karut-marut pendidikan di negeri ini. 


Sebenarnya kondisi sistem pendidikan yang tambal sulam dan trial and error ini adalah sebuah konsekuensi yang dihasilkan dari aneka teori pendidikan yang dihasilkan oleh Barat yang merupakan corong sistem sekuler-kapitalisme yang diterapkan hari ini di seluruh dunia dan termasuk di negeri ini, seperti adanya teori Pavlov, skinner, piaget dan sebagainya. Intinya teori-teori yang dihasilkan adalah menjadikan manusia (dalam hal ini anak-anak di setiap jenjang pendidikan) sebagai objek ujicoba teori mereka, teori yang dihasilkan dan para ahlinya antara lain:

Pertama, Teori Kognitif dan Gestalt: Kurt Lewin, Jean Peaget, Jerome Bruner, Ausbel, Chr.von Ehrenfels, Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, dan Max Wertheimer. Kedua, Teori Konstruktivisme: Socrates, John Dewey, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Immanuel Kant, Giambattista Vico, Frederic Charles Bartlett, Jerome Bruner, Adrianus Dingeman de Groot, Jean Piaget, Lev S. Vygotsky, Howard Gardner, dan Nelson Goodman. Ketiga, Teori Humanistik: Carl Rogers dan Abraham Maslow. Keempat, Teori Sosial Behaviorisme: Ivan Pavlov, Edward Lee Thorndike, John B. Watson dan B. F. Skinner (Quipper.com, 13/02/2023).


Aneka macam teori di atas lebih kepada melihat seseorang sebagai manusia secara fisik dengan pendekatan ilmiah dengan lebih banyak mengabaikan sisi spiritualnya, dan kondisi ini tidak mengherankan terjadi dalam sistem sekuler-kapitalisme sekarang ini. Maka, secara otomatis sistem pendidikannya juga tidak jauh dari assessment yang diukur adalah deretan angka-angka sebagai prestasi atau dengan bahasa lain aspek kognitif (pengetahuan) saja, yang akhirnya hasil pendidikan yang bersifat afektif (nilai) dan psikomotorik (keterampilan) tidak terlalu diperhitungkan. Jebakan penilaian hanya terfokus kepada satu domain kognitif, sementara untuk aspek afektif dan psikomotorik ada kebingungan dalam penentuan standarisasinya. 


Keberhasilan pembelajaran kepada anak didik hanya dilihat dari rerata nilai yang tinggi di atas kertas, sementara nilai moral dan spiritualnya kosong apalagi keterampilan, mereka hanya menjadi sampah peradaban bukan pemegang kunci peradaban. Bagaimana tidak, lihat saja angka pergaulan bebas makin tinggi, tawuran, narkoba makin mengkhawatirkan, dan sebagainya. Output pendidikan yang seharusnya menjadi penguat eksistensi peradaban ternyata layu sebelum berkembang akibat asas hidup sekularistik yang menghilangkan agama dalam kehidupan. 


Sungguh, kondisi ini sangat jauh berbeda dengan konsep pendidikan Islam. Islam memadukan secara holistik konsep pendidikan baik manusia secara fisik dia sebagai insan yang juga memiliki nilai-nilai spiritual (ruh) yang harus diperkuat sebagai wujud hakekat penciptaannya sebagai hamba Allah Swt., maka sejak awal pemahaman hidupnya sebagai hamba Allah melekat kuat dalam diri seorang mukmin, terlebih sejak dalam buaian ibu di kandungan juga masa hadanahnya. 


Dalam Islam, di fase pendidikan dasar dan menengah, anak-anak dikuatkan akidahnya sesuai jenjang pendidikannya. Akidah yang dihasilkan adalah akidah yang produktif yang menghasilkan mabda (ideologi) yang mampu menyelesaikan semua permasalahan hidup yang akan mereka hadapi. Konsep halal-haram melekat kuat dalam benaknya dan siap diimplementasikan dalam hidupnya. Individu-individu yang dihasilkan adalah individu yang unik dengan kekuatan akidah Islam dan kepribadian Islam yang sempurna, sehingga ketika mereka masuk ke perguruan tinggi saat itulah mereka baru diajarkan untuk komparasi dengan ide-ide dan ideologi diluar Islam, dengan pemahaman bahwa ideologi Islam yang mereka emban di pendidikan dasar dan menegah juga telah kuat dan mumpuni. 


Di pendidikan tinggi, kondisi anak makin kuat kepribadiannya (kepribadian Islam) dan siap mengarungi kancah kehidupan yang lebih kompleks, bahkan bisa juga masuk pada keahlian yang dia tekuni seperti insinyur, dokter, ilmuwan, dsb.. Tentu saja tanpa meninggalkan keyakinan yang kuat tentang agama dan termasuk pemahaman yang kokoh terkait bermacam-macam hukum syariat tentang banyak hal, maka di jenjang ini akan banyak ditemui para mujtahid dan ahli fikih. Di satu sisi mereka ahli teknologi, di sisi lain mereka adalah ahli agama—kombinasi ilmuwan dan cendekiawan adalah hal yang wajar dihasilkan oleh sistem pendidikan Islam. 


Bahkan dulu di masa kejayaan Islam selama 13 abad, ulama-ulama Islam sekaligus para cendekiawan muslim ini adalah pencetus peradaban manusia hingga hari ini. Dan itu diakui oleh para penemu teknologi dunia terkini. Dilansir dari Business Insider (08/03/2024), saat itu, Zuckerberg memilih Muqaddimah karya Ibnu Khaldun (1300-an) sebagai satu dari buku yang dibaca bersama komunitas A Year of Books yang digagasnya (Liputan6.com, 11/03/2024). 


Maka, seharusnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas negeri ini mau mengambil Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan semua problematika hidupnya agar jelas arah kehidupannya, termasuk di dalamnya arah pendidikan, karena sistem pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sistem politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan—yang semuanya harus diatur dengan syariat Islam dengan penerapan Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah. Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar