Kapitalisme Menciptakan Kesenjangan, Islam Menjamin Keadilan




#FOKUS—Setelah hampir 80 tahun Indonesia merdeka, impian mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api. Kesenjangan masih menjadi masalah besar di Indonesia.


Tengok saja yang terjadi di Desa Persiapan Pengantap, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat seorang warga bernama Afit harus ditandu menggunakan bilah bambu dan kain sejauh lima kilometer setelah menjalani perawatan di RSUP NTB karena sakit kanker hati, Kamis (15-5-2025).


Kondisi jalan rusak parah di Lombok Barat menjadi penyebab utama kejadian ini. Kendaraan pengangkut penumpang tidak dapat melintas. Peristiwa ini bukan pertama kalinya terjadi di dusun terpencil tersebut. Tandu dari sarung dan bambu menjadi satu-satunya cara evakuasi pasien.


Di Indramayu, Jawa Barat siswa harus menghadapi tantangan berat setiap hari untuk mengakses pendidikan. Mereka harus berjalan kaki ke sekolah karena akses jalan yang rusak. Di Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu jalanan rusak, berlumpur, dan licin sehingga tidak dapat dilalui oleh kendaraan. Kondisi rusaknya jalan ini sudah berjalan kurang lebih 15 tahun.


Salah seorang siswa kelas 2 SD Kertawinangun 2 Abirah Zahrah menceritakan perjuangannya untuk pergi ke sekolah setiap pagi. Ia mengatakan, jalan setapak yang menjadi satu-satunya akses menuju sekolah sangat licin dan berbahaya. ”Kalau berangkat sekolah, jalannya rusak, setiap hari lewat situ. Banyak teman yang terpeleset,” ungkapnya.


Dua kisah pilu di atas hanyalah sedikit dari ratusan kisah pilu yang menimpa masyarakat di berbagai wilayah Indonesia akibat ketimpangan pembangunan infrastruktur yang terjadi. Kondisi di atas tentu berlawanan dengan kemegahan infrastruktur di kota-kota besar semisal Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.


Nyata

Ketimpangan pembangunan di Indonesia memang nyata adanya. Selain ketimpangan infrastruktur, Indonesia juga menghadapi problem ketimpangan ekonomi yang cukup parah. Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 50% aset nasional dikuasi hanya oleh 1% orang kaya di tanah air.


Global Inequality Report 2022 menyebut Indonesia sebagai negara keenam dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Data Oxfam (2023) menyebut, dalam 20 tahun terakhir kesenjangan antara yang terkaya dan termiskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.


Dalam hal kemiskinan, Bank Dunia melalui Macro Proverty Outlook mencatat lebih dari 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024. Di sisi lain BPS melaporkan tingkat kemiskinan Indonesia 8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024. Meski terjadi perbedaan perhitungan antara Bank Dunia dan BPS, jumlah rakyat miskin tetap tinggi.


Ketimpangan kepemilikan tanah di negeri ini juga mencengangkan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan fakta bahwa sebanyak 1,8 juta hektare tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh satu keluarga.


”Petani kecil di Nusa Tenggara Barat mencari tanah satu atau dua hektare saja bisa berkonflik, tetapi ini ada satu keluarga yang menguasai sampai 1,8 juta hektare. Ini jelas ketimpangan struktural,” ucapnya dikutip dari laman Kementerian ATR/BPN, Senin (5-5-2025).


Problem Struktural

Berbagai ketimpangan yang terjadi merupakan problem struktural akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Kebebasan kepemilikan yang dianut sistem kapitalisme membuat tanah dan sumber daya alam diperlakukan sebagai barang komoditas yang bisa diperjualbelikan oleh siapa saja, termasuk korporasi dan elite pemilik modal. Di sinilah prinsip “yang kuat yang menang” menjadi kenyataan tanpa peduli halal haram.


Kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis, seperti minyak, gas, air, hutan, tanah, dan barang tambang lainnya diserahkan kepada individu atau korporasi. Akibatnya terjadi akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sedangkan masyarakat luas justru kehilangan akses terhadap hak-hak ekonominya.


Di samping itu, wewenang negara yang berlandaskan paradigma sekularisme, yaitu Reinventing Government, Good Governance, dan New Public Management, ketiganya mengandung paradigma sama yang berintikan dua hal. Pertama, barang pemenuh hajat publik seperti pangan, air bersih, perumahan, energi, transportasi, kesehatan, dan pendidikan adalah komoditas ekonomi untuk dikomersialkan. Jangan berharap rakyat akan mendapat pemenuhan kebutuhannya jika tidak ada uang untuk membeli.


Kedua, negara harus berlepas tangan dari pengurusannya terhadap pemenuhan hajat hidup rakyat. Fungsi negara sebatas regulator yang membuat aturan untuk memuluskan agenda korporasi.


Unit teknis pelaksana negara semisal perguruan tinggi negeri dan rumah sakit dikelola di atas prinsip untung rugi. Akibatnya pelayanan yang diberikan pemerintah minimalis, rakyat harus membiayai sendiri pendidikan dengan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan kesehatan dengan iuran BPJS.


Model pembangunan Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) yang lazim digunakan pada pengadaan infrastruktur fasilitas umum hanya mengakomodasi pengadaan infrastrutur yang sesuai kepentingan bisnis korporasi. Sebagai contoh pembangunan jalan tol terus dilakukan, tetapi pada saat yang sama jalan umum yang dibutuhkan sehari-hari oleh masyarakat justru dibiarkan rusak meski membahayakan keselamatan jiwa publik. Terlebih di daerah terpencil yang tidak ada kepentingan korporasi, tidak ada pembangunan jalan. Demikian pula dengan sekolah atau puskesmas serta sarana umum lainnya.


Jadi kesenjangan ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme yang tidak mengenal batas kepemilikan harta dan berlepasnya negara dari tugas utamanya melayani kebutuhan rakyat dan justru menjadi pelayan korporasi.


Islam Menjamin Keadilan

Salah satu prinsip fundamental dalam sistem ekonomi Islam adalah keadilan. Keadilan dalam Islam bukan hanya bersifat moral, melainkan merupakan pilar dalam setiap aktivitas ekonomi.


Untuk menciptakan keadilan ekonomi, mekanisme distribusi kekayaan menjadi pusat perhatian. Islam melarang harta beredar hanya di sekelompok orang kaya. Dalam Al-Qur’an surah Al-Hasyr ayat 7 Allah Swt. menegaskan, “Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”


Untuk itu, Islam mengatur kepemilikan dengan sangat rinci. Hakikat kekayaan yang ada di muka bumi adalah milik Allah Swt. (QS An-Nur [24]:64). Kemudian Allah Swt. memberikan kuasa kepada manusia untuk memiliki dan memanfaatkannya (QS An-Nur [24]:33). Berdasarkan kuasa tersebut manusia mempunyai hak untuk memiliki harta.


Oleh karena itu, Islam membagi kepemilikan menjadi 3 bagian, kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan individu artinya setiap orang bisa memiliki harta dengan sebab-sebab tertentu yang dibenarkan syariat seperti bekerja, berdagang, dan lain-lain.


Syariat juga menjelaskan adanya kepemilikan umum, yaitu harta yang setiap orang memiliki hak dan andil di dalamnya. Harta-harta seperti ini tidak boleh dikuasai atau dimiliki oleh individu, sekelompok individu, atau negara. Rasulullah saw. bersabda,”Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal: air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad).


Pengelolaan kepemilikan umum pada prinsipnya menjadi hak dan wewenang negara, tetapi peran negara sebatas mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum. Negara dilarang menjual aset-aset milik umum atau melakukan privatisasi. Hasil pengelolaan negara atas harta milik umum dikembalikan kepada rakyat secara cuma-cuma untuk memenuhi kebutuhan rakyat.


Sedangkan kepemilikan negara adalah izin Allah Swt. atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara seperti ganimah, fai, khumus, kharaj, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah-tanah milik negara. Dengan pengaturan kepemilikan seperti ini harta yang ada di muka bumi akan terdistribusi sesuai kepemilikan dan tidak menumpuk pada segelintir orang saja sehingga keadilan terwujud.


Di samping itu, Islam mewajibkan penguasa (khalifah) agar berfungsi sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (perisai). Rasulullah saw. bersabda, ”Imam (khalifah) adalah raa’in, dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari). Rasulullah saw. juga menegaskan, ”Imam adalah junnah, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).


Implementasi dari dua fungsi tersebut antara lain adalah, pertama, negara bertanggung jawab penuh dalam pemenuhan kebutuhan pokok individual berupa sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan kolektif yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan mulai dari perencanaan hingga teknis pelaksanaan. Dalam Kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah dijelaskan bahwa Rasulullah saw. mengatur langsung kemaslahan publik di Madinah, mengelolanya, dan mengatasi persoalan masyarakat.


Kedua, anggaran berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Baitulmal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai ketentuan syariat. Dengan baitulmal ini negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya dalam menjamin kebutuhan pokok masyarakat.


Bersifat mutlak, maksudnya ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan kemaslahatan masyarakat yang ketiadaannya berakibat kemudaratan, wajib diadakan oleh negara (An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam). Disebutkan dalam Kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, bila dana baitulmal tidak mencukupi, kaum muslim diminta memberikan tabaruat (sumbangan sukarela) untuk menutup dana tersebut. Bila dari tabaruat belum mencukupi, negara akan menetapkan pajak temporer yang dipungut dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan saja.


Ketiga, pengelolaan unit-unit teknis fungsi negara berbasis pelayanan dan sosial. Contohnya, sekolah, rumah sakit, dan jalan umum. Semua wajib dipenuhi oleh negara tanpa ada pungutan sepeser pun dengan kualitas pelayanan terbaik.


Keempat, industri penghasil barang milik umum, seperti migas, air bersih (PDAM), dan listrik, merupakan milik umum mengikuti kaidah usul, ”Status hukum industri mengikuti apa yang diproduksi.” Industri milik umum ini wajib mengutamakan fungsi pelayanan.


Kelima, negara bertanggung jawab sepenuhnya dalam pengadaan fasilitas umum dan berbagai aspek pemenuhan hajat hidup publik. Tidak dibenarkan dengan konsep Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS).


Keenam, Kekuasaan bersifat sentralisasi, sedangkan administrasi bersifat desentralisasi. Ini akan menjadikan negara memiliki kewenangan yang memadai untuk menjalankan fungsi raa’in dan junnah.


Ketujuh, birokrasi negara dalam penyelenggaraan pemenuhan hajat hidup publik mengacu pada tiga prinsip, yaitu kesederhanaan aturan, kecepatan layanan, dan dilakukan oleh individu yang kompeten.


Semua prinsip ini adalah bagian integral sistem kehidupan Islam dan hanya kompatibel dengan sistem politik Islam yakni Khilafah. Kunci berjalannya fungsi negara di atas adalah pelaksanaan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah yang akan berbuah kemuliaan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-Anbiya ayat 107 yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.”


Tinta emas sejarah peradaban Islam membuktikan pada dunia bahwa Khilafah adalah satu-satunya model pemerintahan berkarakter penyejahtera. Dalam buku Muslim and Scientist Medicine, Muhammad T.L.S. Hanafi menyebut, di bidang kesehatan ada banyak rumah sakit megah dengan kapasitas hingga 8.000 tempat tidur, dengan kelengkapan medis dan nonmedis, tersebar di pusat kota hingga ke pelosok negeri.


Di bidang pendidikan, sekolah tersedia baik di kota maupun di pelosok, dengan bangunan megah, nyaman untuk proses belajar mengajar. Para tenaga pengajar menjalankan tugas dengan penuh dedikasi, digaji dengan gaji tinggi. Hasilnya setiap orang dapat mengakses begitu mudah pendidikan gratis dan berkualitas terbaik.


Di bidang pangan, wilayah pertanian daulah Islam menghasilkan tiga atau lebih jenis tanaman setiap tahun secara bergilir. Hasilnya di seluruh wilayah sentra pertanian tumbuh ratusan varietas biji-bijian, sayuran, kacang-kacangan, dan buah-buahan. Wilayah yang dahulu sepi ditinggalkan penduduk, tumbuh menjadi daerah padat penduduk yang produktif bertani sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan, bahkan berlebih sehingga negara menjadi eksportir pangan.


Air bersih tersedia berlimpah di kota-kota besar dan seluruh permukiman penduduk hingga desa dan wilayah pertanian. Kota-kota Islam abad pertengahan memiliki sistem pengelolaan pasokan air yang sangat maju untuk pengaliran air ke seluruh penjuru negeri.


Permukiman didesain sesuai dengan visi dan misi hidup muslim dan negara dengan landasan takwa. Tidak saja tertata rapi, bersih, asri, tetapi juga berlimpah air dan dipenuhi taman-taman serta penerangan yang memadai.


Di bidang transportasi, para khalifah menggunakan teknologi terkini dalam pengadaan moda transportasi dan infrastrukturnya, di laut maupun di darat. Jalan-jalan yang luas nyaman tersedia hingga pelosok desa. Moda angkutan tersedia secara memadai dan diberikan secara cuma-cuma dengan jaminan keamanan, kenyamanan , dan aspek kemanusiaan yang tinggi. Diungkapkan sejarawan bahwa tersedia jalan raya beraspal yang luas dan panjang hingga ke luar kota.


Gambaran di atas hanyalah sedikit fakta dari beribu kenyataan tentang kesejahteraan dan keadilan hidup di bawah naungan khilafah. Prof. Dr. Raghib as-Sirjani dalam kitab Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia menggambarkan dengan lengkap berbagai kemajuan peradaban Islam. Ini semua menegaskan bahwa hanya peradaban Islam yang layak memimpin dunia. Oleh karena itu, mengembalikan Khilafah ke tengah kehidupan merupakan kewajiban syariat, jalan kemuliaan, dan kebutuhan mendesak dunia saat ini. [MNews/IA-RR]

Posting Komentar

0 Komentar