Ketika Nasionalisme dan Konsep Negara Bangsa Menjadi Tembok bagi Kemerdekaan Palestina

 


Annisa B. Suciningtyas


#Wacana — Dunia menyaksikan bagaimana kapal Medleen yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza dihadang oleh Zionis Israel, padahal kapal tersebut hanya memuat logistik dan semangat solidaritas. Meski begitu, hal ini tidak membuat diam beberapa orang untuk terus berpihak pada Palestina.


Pada 15 Juni 2025, ribuan aktivis, relawan medis, dan warga dari lebih 35 negara bersatu dalam Pawai Global yang bergerak menuju perbatasan Rafah, Mesir—sebagai bentuk nyata solidaritas terhadap Gaza yang terkepung. Aksi ini bernama "Global March to Gaza" (GMTA). Gerakan damai lintas negara yang menuntut akses kemanusiaan masuk ke Gaza. 


Melansir dari laman SindoNews.com (10/06/2025), GMTA yang dipimpin warga sipil dan nonpolitik, menyuarakan lima tuntutan utama: gencatan senjata, pembukaan permanen perbatasan Gaza, penarikan pasukan Israel, rekonstruksi total Gaza, dan diakhirinya penjajahan di Tepi Barat.


Munculnya gerakan GMTA menunjukkan kemarahan umat yang sangat besar. Hal itu menandakan bahwa umat tidak bisa berharap kepada lembaga-lembaga internasional dan para penguasa hari ini. Sebuah ironi yang menyakitkan memang. Ketika gelombang solidaritas global bersuara menuntut pembebasan Palestina, pemimpin-pemimpin negeri Islam justru bungkam. Mereka terlalu sibuk menjaga relasi diplomatik dan stabilitas kekuasaan, bukan membela kehormatan umat yang sedang diinjak-injak.


Yang lebih memprihatinkan adalah ketika gerakan GMTA ini tertahan di perbatasan Mesir. Alih-alih disambut, para pejalan kaki dari berbagai negara justru dihadang oleh otoritas negeri muslim sendiri. Mesir, yang seharusnya menjadi gerbang bantuan ke Gaza, malah menjadi penghalang.


Tertahannya mereka di pintu Rafah justru makin menunjukkan bahwa gerakan kemanusiaan apa pun tidak akan pernah bisa menjadi solusi masalah Gaza karena ada pintu penghalang terbesar yang berhasil dibangun oleh penjajah di negeri-negeri kaum muslimin, yakni nasionalisme dan struktur negara kebangsaan.


Paham ini telah memupus hati nurani para penguasa muslim dan tentara mereka, hingga rela membiarkan saudaranya dibantai di hadapan mata, bahkan ikut menjaga kepentingan pembantai hanya demi meraih keridaan negara adidaya yang menjadi tumpuan kekuasaan mereka, yakni Amerika. Fakta ini menunjukkan bahwa PBB, Liga Arab, dan sejumlah perjanjian internasional bukan solusi dalam menghentikan genosida yang dilakukan oleh Zionis Israel.


Dari sini, menjadi jelas bahwa masalah Palestina bukan sekadar isu kemanusiaan atau konflik wilayah. Namun, ini merupakan cermin kehinaan umat Islam akibat hilangnya kepemimpinan Islam yang menyatukan dan melindungi umat. Hari ini dunia Islam sudah terpecah oleh sekat-sekat nasionalisme buatan penjajah. Mesir, Turki, Yordania, Indonesia—semuanya lebih mementingkan "kedaulatan nasional" daripada menyatukan kekuatan untuk membela umat.


Nasionalisme telah terbukti menjadi racun yang melemahkan ukhuwah dan menumpulkan respon terhadap penindasan di saat umat Islam seharusnya bangkit dalam satu barisan, tapi nasionalisme mendorong mereka untuk sibuk menjaga wilayah masing-masing, seakan-akan pembebasan al-Aqsa bukan tanggung jawab bersama.


Oleh sebab itu umat Islam harus paham betapa bahayanya paham nasionalisme dan konsep negara bangsa, dilihat dari sisi pemikiran maupun sejarahnya. Keduanya justru digunakan musuh-musuh Islam untuk meruntuhkan Khilafah dan melanggengkan penjajahan di negeri-negeri Islam.


Umat Islam juga harus paham bahwa arah pergerakan mereka untuk solusi konflik Palestina harus bersifat politik, yaitu fokus membongkar sekat negara bangsa dan mewujudkan satu kepemimpinan politik Islam di dunia.

Untuk itu, urgent untuk mendukung dan bergabung dengan gerakan politik ideologis yang berjuang tanpa kenal sekat dan terbukti konsisten memperjuangkan tegaknya kepemimpinan politik Islam tersebut di berbagai tempat. Karena satu-satunya kekuatan yang mampu membela kehormatan umat adalah dengan menerapkan sistem Islam, yaitu Khilafah. Dengan kepemimpinan Islam inilah negeri-negeri muslim akan bersatu kembali.


Selama umat Islam terpecah-belah oleh nasionalisme, Palestina akan terus berdarah, dan umat akan terus terhina. Maka seruan hari ini bukan sekadar untuk mengutuk penjajah, tetapi untuk membangkitkan umat, menyatukan barisan, dan menegakkan sistem Islam yang kafah. Hanya dengan sistem Islam, pembebasan Palestina akan menjadi kenyataan—bukan dalam doa, tapi dengan tindakan nyata.[]



Posting Komentar

0 Komentar