Vivi Aprillia Ardi
#Bekasi — Masih dalam bulan Zulhijah. Bulan ini identik dengan ibadah haji, Iduladha (Pemotongan hewan kurban) dan hari yang menjunjung tinggi solidaritas. Ajang berbagi kaum kaya kepada kaum tak punya.
Di tengah merayakan Iduladha kemarin, seharusnya sarat makna pengorbanan dan kepedulian. Namun Warga Cikiwul, Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat dihebohkan dengan praktik penarikan biaya daging kurban sebesar Rp15.000 per kantong. Penerima daging, termasuk para pemulung dan warga kurang mampu, diminta menebus daging kurban yang sejatinya merupakan hak mereka secara cuma-cuma. Menurut salah seorang panitia, pungutan tersebut untuk biaya operasional. (Bekasisatu.com, 08/06/2025)
Ibadah kurban dalam Islam bukan sekadar menyembelih hewan. Ia merupakan simbol pengorbanan harta untuk Allah dan bentuk nyata kepedulian sosial. Daging kurban diwajibkan untuk disalurkan kepada kaum fakir miskin tanpa syarat dan tanpa pungutan. Bahkan dalam syariat, jumhur ulama sepakat bahwa tidak boleh ada bagian dari kurban yang diperjualbelikan, apalagi dibebankan kepada penerima.
Penarikan biaya dengan dalih “operasional” tidak bisa dibenarkan jika dibebankan kepada mustahik. Biaya semacam itu idealnya ditanggung oleh muzakki (orang yang berkurban) atau donatur khusus, bukan oleh mereka yang menerima daging sebagai bentuk bantuan. Hewan yang disembelih merupakan simbol pengorbanan harta demi ketaatan. Esensinya bukan hanya pada penyembelihan, tetapi juga pada distribusi yang adil kepada fakir miskin dan mustahik, tanpa syarat dan tanpa imbalan. Dengan demikian, pemungutan biaya terhadap penerima kurban jelas bertentangan dengan maqashid (tujuan) dari ibadah kurban itu sendiri.
Ironisnya, kelompok ekonomi terlemah yang seharusnya menjadi prioritas penerima daging justru dibebani biaya. Narasi ini makin menyedihkan ketika kita mengetahui bahwa banyak dari mereka adalah pemulung, buruh harian, dan dhuafa, yang bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok harian. Ketika mereka harus membayar daging kurban, maka makna sosial dari ibadah tersebut telah ternodai.
Jika alasan biaya operasional dijadikan pembenaran, maka perlu ditegaskan biaya itu adalah tanggung jawab muzakki (penyumbang kurban), bukan mustahik. Dalam syariat, tidak diperbolehkan mengambil bagian dari kurban termasuk daging, kulit, atau bagian lain untuk dikomersialkan atau dijadikan ganti jasa panitia tanpa akad dan niat yang benar.
Dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, disebutkan bahwa pengelolaan harta (mal), termasuk infak, zakat, dan kurban, harus mengikuti hukum syariat secara ketat dan menyeluruh. Daging kurban tergolong infak wajib/sunnah, dan harus sampai kepada penerima tanpa imbal balik apa pun. Jika ada pihak yang menghalangi distribusi harta kepada mustahik dengan dalih operasional, atau bahkan menjadikannya ladang penghasilan, maka negara wajib turun tangan. Ini bagian dari fungsi negara dalam sistem Islam, menjamin distribusi kekayaan secara adil dan mencegah eksploitasi atas nama ibadah.
Negara Islam memiliki tanggung jawab mengelola kebutuhan publik, termasuk ibadah sosial seperti kurban, dengan mekanisme yang adil dan syari. Dalam Islam, baitulmal akan menanggung biaya operasional kurban melalui pos-pos infak dan sedekah, bukan membebankan kepada mustahik. Negara juga wajib mengedukasi masyarakat, mengatur distribusi daging kurban, serta menindak tegas jika terjadi penyimpangan syariat oleh panitia atau lembaga pelaksana kurban.
Kejadian pemungutan biaya daging kurban di Bekasi menjadi catatan penting bahwa tanpa sistem dan pemahaman syariat yang utuh, ibadah pun bisa disalahgunakan. Panitia ibadah harus memahami hukum Islam secara menyeluruh agar tidak terjebak pada praktik-praktik yang menyalahi ketentuan. Masyarakat dan tokoh agama perlu aktif mengawal pelaksanaan kurban sesuai syariat tidak hanya sah secara fikih, tetapi juga benar secara sistem dan tata kelola. Wallahualam.[]
0 Komentar