Menekan Angka Pengangguran di Kabupaten Bogor dengan BLK, Efektifkah?



Dewi Purnasari


#Bogor — Guna menyiapkan tenaga kerja terlatih yang dibutuhkan oleh industri, Pemkab Bogor mengadakan BLK (Badan Latihan Kerja) Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Bupati Bogor Rudy Susmanto mengatakan bahwa pelatihan BLK diadakan sebagai salah satu upaya menekan angka pengangguran di Kabupaten Bogor. Dalam kegiatan ini Pemkab Bogor bekerjasama  dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) guna menyediakan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja saat ini—WJtoday (30/05/2025). Kabarnya pelatihan di BLK ini gratis dan peserta juga mendapatkan uang saku.


Pada pelatihan di BLK tersebut tiap satu angkatan menampung 20 orang dan dilaksanakan setiap hari selama 2 minggu. Jadi per bulan ada 40 orang. Menurut perhitungan Rudy dalam satu tahun bisa disiapkan 500 orang tenaga kerja terlatih. Anak-anak muda yang dilatih ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sektor-sektor industri yang ada. Ini karena dalam pelatihan diajarkan 15 item seperti otomotif, las listrik, furniture, desain digital, dan lain-lain, tergantung ketersediaan peralatannya. Sayangnya, belum jelas diketahui seberapa memadainya ketersediaan peralatan pelatihan di BLK ini. Belum lagi faktor pelatihan yang hanya dilaksanakan dalam waktu 2 minggu per angkatan, ini tentu terlalu singkat untuk menghasilkan tenaga kerja yang kompeten.



Membahas masalah kompetensi tenaga kerja terkait kebutuhan dunia kerja tentu tidak simpel. Sangat banyak faktor yang mempengaruhi, tak sesimpel mengadakan BLK lalu masalah pengangguran teratasi. Terlebih jika kita mengulik masalah ledakan pengangguran akibat minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini, tentu ini makin rumit lagi. Contohnya adalah kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki tenaga kerja dengan yang dibutuhkan di dunia kerja. Kesenjangan ini bisa disebabkan oleh singkatnya masa  pelatihan dan minimnya praktik kejuruan sebab fasilitas praktik yang kurang memadai atau belum update teknologinya.


Di sisi lain, mengadakan pelatihan seperti di BLK ataupun kebijakan mempermudah pendirian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan kondisi minim akan ketersediaan guru linear kejuruan yang kompeten juga menjadi faktor buruknya kompetensi tenaga kerja muda. Kurang memadainya fasilitas peralatan untuk praktik kejuruan juga menjadi kendala tersendiri yang belum terselesaikan sejak lama. Hal ini wajar karena tentunya dibutuhkan pembiayaan besar untuk pengadaaan peralatan praktik yang memadai apalagi jika harus canggih teknologinya.


Faktor lain yang juga masih butuh pembenahan adalah masalah visi pendidikan dan visi dunia kerja yang tidak link and match. Visi pendidikan makin hari makin bergeser dari idealisme awalnya. Menghasilkan lulusan yang berkarakter, cakap dan terampil kini hanya jargon. Sekolah atau institusi pelatihan (seperti BLK contohnya) saat ini makin terjerat dalam motif materialisme sistem kapitalisme. Sekolah dan institusi pelatihan hanya menjadi pabrik tenaga kerja. Sementara attitude (sikap), kecerdasan dan skill menjadi pertimbangan nomor sekian dibandingkan dengan grooming (penampilan). Artinya keunggulan sumber daya manusia kurang dihargai. 


Ada satu faktor lagi yaitu buruknya peran negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Tercatat oleh Badan Pusat Statistik ada 5.857 orang lulusan pendidikan tinggi yang menganggur di Kota Bogor awal tahun 2025 ini—Radar Bogor (12/04/2025). Dikhawatirkan tahun depan angka pengagguran ini tidak berkurang tetapi cenderung bertambah. Menurut Sekretaris Daerah Kota Bogor, Hanafi penyebab di antaranya adalah pengurangan karyawann yang dilakukan oleh banyak perusahaan. Memang penerapan sistem outsourching sangat menyulitkan pekerja untuk bisa menjadi karyawan tetap di perusahaan. Setelah habis kontrak kerja 6–12 bulan pekerja yang biasanya hanya dibayar dengan upah sekian persen dari UMR bisa diberhentikan. Jika kontrak tidak diperpanjang oleh perusahaan, maka status pekerja tersebut kembali menjadi pengangguran.


Faktor-faktor di atas sebenarnya hanyalah faktor cabang. Pokok dari semua faktor tersebut adalah sistem pendidikan sekularisme dan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem pendidikan sekularisme telah menenggelamkan manusia pada dasar jurang paradigma berpikir. Tujuan pendidikan hanya bermuara pada pencapaian materi semata. Tidak tertuju pada ketinggian taraf berpikir dan kebangkitan peradaban manusia. Alhasil, generasi muda menjalani pendidikan hanya supaya bisa bekerja atau diterima di dunia kerja yang penuh persaingan ala kapitalisme. Tidak ada lagi cita-cita luhur untuk menjadi manusia yang unggul dengan kecerdasan dan kekuatan ketaatan kepada Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta.


Sistem pendidikan sekularisme memang bergandengan tangan dengan dunia kerja ala kapitalisme dalam menjadikan para pekerja menjadi budak korporat. Sistem ini juga sukses mendangkalkan taraf berpikir masyarakat hanya pada tujuan materi semata. Setiap orang harus sekolah dengan tujuan supaya bisa mencari uang. Kemudian penilaian terbaik bagi seseorang adalah seberapa banyak ia bisa berkontribusi dalam membayar pajak atau devisa bagi negara.


Sementara itu, bonus demografi di negeri ini justru menjadi bumerang karena mempersempit lapangan pekerjaan. Ribuan orang memperebutkan satu lowongan pekerjaan meskipun berupah sangat murah. Ribuan bahkan jutaan orang rela berebut menjadi tenaga kerja murah untuk menggerakkan industri dan ekonomi kapitalisme. Sementara fakta yang tidak bisa terbantahkan adalah makin meningkatnya angka pengangguran dari tahun ke tahun tanpa solusi yang komprehensif. Sebenarnya bonus demografi di negeri ini bisa menjadi potensi kekuatan yang luar biasa bagi negara. Sayangnya penerapan sistem demokrasi kapitalisme menjadikan sebaliknya.


Dunia pendidikan membutuhkan biaya yang besar untuk tersedianya sarana pendidikan yang lengkap dan update. Negara harus menjamin ketersediannya, jangan memaksa institusi-institusi pendidikan berjibaku mencari biaya sendiri demi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Menurut aturan pendidikan Islam, intitusi pendidikan dilarang berbisnis dengan pihak swasta ataupun menetapkan biaya pendidikan. Di jenjang manapun sekolah harus gratis. Negara yang membiayainya. Gaji para guru dan dosen harus mencukupi kebutuhan mereka. Negara yang menggaji mereka.


Sementara itu kurikulum pendidikan harus berbasiskan akidah Islam sebagai landasan dan benteng bagi generasi muda. Ini karena sepintar apa pun seseorang, jika akidahnya lemah maka akan berpotensi menjadi manusia yang rusak dan merusak kapanpun dan di manapun ia berada. Sementara sains tanpa bingkai kekuatan akidah Islam akan merusak, kapanpun dan di manapun berada.


Untuk mengentaskan pengangguran, Khalifah sebagai kepala negara bisa membuka banyak lapangan pekerjaan di sektor riil yang padat karya. Sektor pertanian, kehutanan, kelautan, pertambangan serta industri berat dan industri ringan bisa dikembangkan seluas-luasnya. Khalifah wajib mengambil alih lahan-lahan kosong yang telah ditelantarkan selama 3 tahun untuk diberikan kepada siapa saja yang mau mengelolanya. Diberikan secara gratis, tanpa membeli. Sementara itu, sektor-sektor industri harus banyak menyerap tenaga kerja. Gunakan mesin seperlunya saja, jangan sampai penggunaan mesin memangkas tenaga kerja. Utamakan pekerja dalam negeri jangan sampai pekerja asing mengisi lapangan pekerjaan dalam negara. Itu beberapa contoh langkah Khalifah dalam menekan angka pengangguran dalam Daulah Islam. Masih banyak lagi yang bisa diupayakan jika sistem Islam mau diterapkan dalam negara.[] 


Posting Komentar

0 Komentar