Refleksi Muharam: Mewujudkan Kebangkitan Umat yang Hakiki



Ratu Azmaira Khalisah


#Bekasi — Setiap pergantian tahun dalam kalender Hijriah bukan sekadar numerik. Bagi umat Islam, 1 Muharam menandai lembaran sejarah, sejak hijrah Nabi Muhammad ﷺ—titik balik dari penderitaan di tanah Mekah menuju kemuliaan Madinah, dari penindasan menuju kedaulatan syariat, dan dari kesesakan menuju kebebasan spiritual. Seperti dikutip Antara News, 1 Muharram 1447 H jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025, sekaligus menjadi momentum menunaikan puasa sunah dan memperbaharui tekad menegakkan nilai Islam. 


Tetapi, tahun 1447 H hadir di tengah umat Islam terasa suram, dipenuhi konflik dan penindasan, di antaranya tragedi berkepanjangan di Palestina. Daripada menjadi “umat terbaik”—sebagaimana Allah firmankan dalam QS al-Baqarah (2): 143—umat justru semakin tercecer dari prinsip syariat, tenggelam di kegelapan egoisme dan jahiliyah modern.


Tahun Baru Islam: Peluang Introspeksi Spiritual


Menjelang 1 Muharam, jamaah masjid didorong untuk mengambil nafas panjang, kembali menghitung amal (hisab diri) sebelum pertanggungjawaban di akhirat, serta memperbaharui komitmen (tazkiyah) agar kedatangannya membawa perubahan nyata. Pesan ini tersirat dalam khutbah Jumat, 20 Juni 2025, yang mengingatkan agar berpikir ulang, menorehkan pertobatan yang berkesinambungan, dan tidak membiarkan usia berlalu sia-sia .


Bulannya bulan haram, Muharam, menegaskan bahwa dosa selama bulan ini lebih berat, dan merupakan kesempatan tepat memperbanyak amal mulia—dari puasa Tasu’a dan Asyura, sedekah, hingga upaya memperbaiki kualitas ibadah dan perilaku sehari-hari 


Puasa Tasu’a dan Asyura: Memaknai Sejarah dan Membentuk Karakter


Puasa Tasu’a—tanggal 9 Muharram 1447 H, jatuh Sabtu, 5 Juli 2025—dan Asyura keesokan harinya (10 Muharram, Minggu, 6 Juli 2025)—diperingati tidak sekadar ritual. Adalah wujud syukur atas penyelamatan Nabi Musa a.s., lambang perlawanan terhadap tirani, dan sarana pembentukan jiwa yang sadar tanggung jawab serta menolak kesewenang-wenangan. Puasa ini memberi penghapus dosa setahun lalu dan mendidik umat menyelami makna hijrah. Hijrah dari kebodohan, egoisme, dan kekurangan iman menuju kehidupan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ritual ini bukan sekadar ibadah pribadi, tetapi menarik umat untuk menghidupkan semangat perlawanan terhadap tirani dan penindasan, seperti yang dialami saudara muslim di Gaza dan wilayah pendudukan lain.


Umat dalam Krisis: Jauh dari Syariat dan Terpecah oleh Nasib Palestina


Saat ini, predikat “umat terbaik” tak terlihat. Konflik berkepanjangan di Palestina menunjukkan bagaimana umat Islam sedang diuji; posisi umat terpecah, bahkan di dalam sendi kepemimpinannya sendiri. Ketidakmampuan negara-negara muslim mendirikan kekuatan politik yang mengayomi rakyat serta meninggalkan syariat, mencerminkan kehancuran ruh Islam dalam ranah publik.


Allah menegaskan bahwa siapa yang menjauh dari jalan-Nya, akan karam ke dalam kerugian dan kehinaan (QS Thaha 20: 124). Keputusan politik berbasis kesepakatan elite, bersekongkol dengan entitas anti-Islam, dan abainya dukungan terhadap saudara muslim adalah bukti objektif bahwa umat saat ini telah tercerai-berai dari nilai hijrah sejati—terlalu lemah untuk bersatu, terlalu tunduk terhadap kekuatan dominan, tanpa kepemimpinan transformatif.


Introspeksi Diri dan Tazkiyah: Rencana Menuju Kebangkitan


Muharam bukan hanya bulan puasa sunah, tetapi titik awal hunian spiritual bagi umat untuk melakukan perubahan nyata. Umat harus merenungkan kegagalan kolektif: mengapa negara-negara umat tidak satu; mengapa hukum Islam tidak berjalan; mengapa rakyat terus dizalimi; dan apa akar krisis ini?


Akar masalahnya sederhana, jauh dari aturan Allah secara kafah. Umat terlalu nyaman dalam sistem sekuler dan demokratis yang menempatkan manusia sebagai penentu nasib. Lambat laun umat jauh dari nilai ketauhidan, akhlak lepas dari tuntunan, keadilan dilepaskan, salat dikerdilkan, zakat dipinggirkan, dan dakwah dilupakan.


Untuk keluar dari jebakan ini, umat harus kembali kepada metode para perintis—para Shahabat dan Salaf—yang memaknai hijrah sebagai sistem hidup menyeluruh. Hijrah bukan hanya perpindahan wilayah, melainkan perpindahan governance dari yang salah menuju keadilan syariah. Perlu kesadaran bahwa memakmurkan wilayah dengan syariat, menjalankan ekonomi syariah, menegakkan hukum syariah, serta membangun solidaritas umat hanya mungkin di bawah payung negara Islam—Khilafah.


Khilafah: Institusi Penegak Syariat dan Pelindung Ummah

Realitas saat ini menunjukkan bahwa amalan spiritual tanpa institusi yang melindunginya hanya akan jadi ritual kosong. Muharram dan hijrah spiritual hanya bermakna jika dibarengi dengan institusi pemerintahan syariah yang kaffah. Khilafah adalah junnah umat, melindungi dari dominasi luar, serta menjadi wadah penghidupan tauhid, ibadah, akhlak mulia, dan solidaritas global.



Dalam Khilafah, menghisab diri diimplementasikan lewat sistem kepemimpinan yang akuntabel. Negara memfasilitasi puasa, zakat, sedekah, dan amal, serta memberi ruang maksimal bagi dakwah dan pendidikan Islam. Umat tidak akan terkecoh dalam persuasi kapital atau politik kapitalis para elite, sebab semua lembaga negara diarahkan untuk keadilan syariat: ekonomi disinergikan dengan kepentingan umat, hukum ditegakkan secara adil, dan politik diarahkan untuk melindungi hak semua golongan.


Peran Jamaah Dakwah: Penggerak Kesadaran Spiritual dan Sosial


Kesadaran bersama tidak tumbuh dengan sendirinya. Umat memerlukan dakwah yang tulus, istikamah, dan terstruktur. Jamaah dakwah—seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan jemaah dakwah lainnya—berperan sebagai pencerah hati umat. Melalui kajian, pendidikan, dakwah massa, dan advokasi, mereka membimbing umat mengenali kondisi aktual, meruntuhkan penghalang psikologis terhadap penerapan syariat, serta memetakan agenda nasional: mendirikan Khilafah, memperjuangkan hukum Islam, membangun sistem syariat global, dan memerdekakan umat dari sistem kapitalisme global.


Tahun Baru Islam 1447 H adalah hadiah spiritual sekaligus panggilan keimanan. Ia mengingatkan bahwa hijrah spiritual haruslah disertai dengan upaya membangun struktur kelembagaan Islam, yang mampu mewujudkan negara sesuai syariat. Puasa Tasu’a dan Asyura tidak hanya membebaskan personal dari dosa semata, tetapi membentuk kesiapan mental untuk membentuk bangsa muslim yang damai, adil, dan mulia.


Oleh karena itu, hanya dengan kesadaran kolektif untuk membangun Khilafah, umat Islam kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam. Melalui jemaah dakwah yang istikamah, kembali kepada syariat Allah secara menyeluruh, dan semangat hijrah yang menyertai kehidupan sosial-politik, umat dapat memanfaatkan momentum Muharpam sebagai langkah awal menuju kebangkitan sejati—fase di saat peribadatan kita mengubah masyarakat dan negara kita kembali menjadi perisai bagi semua rakyat. Wallahu’alam bishshawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar