Shazia Alma
#TelaahUtama — Tercatat sudah 9 kali perubahan terjadi pada penamaan dan sistem penilaian nasional tingkat akhir di setiap jenjang pendidikan. Tahun 2025 ini, sejak ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 9 tahun 2025, disebut dengan Tes Kemampuan Akademik/TKA (tempo.co, 04/06/2025). Tujuannya agar pendidikan menyesuaikan keadaan dengan kehendak zaman dan perkembangan teknologi.
Penerapan TKA ini tidak untuk standar kelulusan nasional, tetapi untuk mengukur pelajaran tertentu saja. Artinya, ada kekosongan standar nasional untuk kelulusan peserta didik. Belum lagi jika prosesnya tidak efektif mengurangi manipulasi nilai sekolah, karena itu perlu adanya validasi terkait kriteria penilaian ketika TKA diterapkan. Utamanya lagi, perlu mempertimbangkan dampak pada siswa terkait tekanan atau beban yang terjadi karena adanya pergantian sistem evaluasi (banyumasekspres.id).
Pendidikan Islam berbeda dengan sistem pendidikan sekuler yang hanya bertujuan pada aspek intelektual, kurang memperhatikan perkembangan dan pengembangan kepribadian, juga tidak mampu mengaitkan peranan hasil pendidikan dengan permasalahan yang akan dihadapi manusia sebagai individu, bagian dari masyarakat, dan sekaligus peranan dalam negara sebagai pengemban peradaban.
Sistem pendidikan Islam berfokus pada pengembangan akidah, akhlak, dan intelektual siswa, dengan penekanan pada pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Tujuan, kurikulum, metode pembelajaran, satuan mata pelajaran yang diajarkan dalam setiap tingkat kelas dan jenjang pendidikan, hingga evaluasi penilaian akhir untuk kelayakan menempuh setiap jenjangnya, tidak pernah berubah sejak Islam diterapkan dalam institusi Daulah Islam di Madinah. Perkembangan zaman tidak membuat tujuan, kurikulum, dan semua unsur serta proses yang ada dalam sistem pendidikan Islam berganti. Nyatanya, kekokohan sistem pendidikan Islam terbukti selalu mampu melakukan pemberdayaan dalam pengembangan pendidikan tanpa meninggalkan esensi utama sistem pendidikan Islam—akidah, syariat, kepribadian Islam.
Pada masa Kekhilafahan Islam, sistem pendidikan Islam sangat maju dan berkembang. Pengaturan pendidikan pada masa Kekhilafahan Islam, yakni ada pendidikan formal yang mulai berkembang pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, dengan pendirian sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Terdapat juga pendidikan nonformal yang sangat umum diketahui dengan ulama dan cendekiawan yang memberikan pelajaran dan diskusi di masjid-masjid dan rumah-rumah.
Kurikulum pendidikan pada masa Kekhilafahan Islam meliputi studi Al-Qur'an, hadis, fiqih, dan bahasa Arab, serta ilmu-ilmu lainnya seperti matematika, astronomi, dan kedokteran. Metode pembelajaran pada masa Kekhilafahan Islam meliputi ceramah, diskusi, dan praktik langsung.
Lembaga pendidikan pada masa Kekhilafahan Islam meliputi sekolah dasar (kuttab) yang fokus pada pendidikan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Kemudian madrasah atau sekolah menengah—setara SMP dan SMA—yang fokus pada pendidikan agama dan ilmu-ilmu lainnya. Jenjang berikutnya adalah institusi pendidikan tinggi yang berfokus sama pada pendidikan ilmu-ilmu agama dan umum.
Pada beberapa informasi dari AI, ditemukan bahwa masa Kekhilafahan Islam memiliki asesmen kemampuan akademik berbeda dengan sistem modern saat ini. Pada masa Kekhilafahan Islam, ulama dan cendekiawan menggunakan sistem Imtihan, yaitu ujian atau tes yang digunakan untuk menilai kemampuan dan pengetahuan siswa. Metode penilaiannya dengan murajaah—proses pengulangan dan penguatan hafalan Al-Qur'an dan hadis.
Terdapat pula Munazara—diskusi dan debat antara siswa dan guru atau antara siswa dengan siswa lainnya. Kemudian ada Ijaza—sertifikat yang diberikan kepada siswa yang telah menyelesaikan studi dan memenuhi syarat-syarat—setelah melalui evaluasi/asesmen tertentu.
Kriteria penilaian pada masa Kekhilafahan Islam meliputi: 1) penguasaan ilmu—kemampuan siswa dalam menguasai ilmu-ilmu agama dan umum; 2) kemampuan analisis—kemampuan siswa dalam menganalisis dan memahami teks-teks agama dan ilmiah; 3) kemampuan aplikasi—kemampuan siswa dalam menerapkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, sistem asesmen kemampuan akademik pada masa Kekhilafahan Islam lebih fokus pada penguasaan ilmu-ilmu agama, kemampuan analisis dan aplikasi, serta menggunakan metode yang lebih personal dan interaktif.
Sistem pendidikan Islam mengutamakan pondasi akidah sebagai pilar awal dan utama membentuk kepribadian peserta didik. Pembentukannya dimulai saat jenjang pendidikan sekolah dasar. Ujiannya pun sebatas pada penguasaan akidah, akhlak, Al-Qur'an dan bahasa Arab untuk menempuh jenjang berikutnya, yaitu sekolah menengah. Dijenjang kedua ini, peserta didik sudah mulai mempelajari ilmu-ilmu tambahan kehidupan yang praktis tanpa meninggalkan penguatan fokus jenjang sekolah dasar. Evaluasi penilaian akhir pun sesuai dengan jenjang menengah sampai dinyatakan layak ke jenjang berikutnya sampai jenjang pendidikan tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa tes kemampuan akademik dalam Islam tidak cenderung fokus pada mengukur kemampuan intelektual siswa, tanpa memperhatikan aspek spiritual dan moral. Tetapi memperhatikan pengembangan karakter, seperti sifat-sifat baik berupa ketakwaan, kejujuran, kesabaran, empati, dan sebagainya. Tes kemampuan akademik dalam Islam sekaligus juga menekankan aplikasi pengetahuan Islam dan ilmu-ilmu pendukung dalam kehidupan agar mampu menjadi pengurai masalah dalam dirinya, masyarakat, dan juga negara. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar