#TelaahUtama — Usai pertemuan bilateral Prabowo-Macron di Istana Merdeka pada Rabu (28/05), Prabowo mengungkapkan adanya peluang bagi Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Tel Aviv. Namun demikian, Prabowo menekankan bahwa normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Isriwil hanya bisa terjalin jika negeri penjajah tersebut mengakui kemerdekaan P4L3st1n4. Lebih jauh Prabowo mendesak solusi dua negara (two-state solution) guna mencapai perdamaian di tanah Yerusalem. Ia pun memaparkan bahwa setelah kedua negara diakui sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus mengakui dan menjamin hak-hak baik Isriwil maupun P4L3st1n4 untuk berdiri sebagai negara yang berdaulat penuh dan dijamin keamanannya.
Prabowo menyatakan kesiapannya untuk mengirim pasukan perdamaian di wilayah perbatasan P4L3st1n4 dan Isriwil. Ia juga mendukung penuh upaya Perancis dan Arab Saudi untuk penyelenggaraan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) di New York pada Juni mendatang sebagai upaya konkret dalam menjalankan solusi dua negara. Di waktu yang sama Macron manyatakan komitmen Paris dalam memberi pengakuan dan jaminan bagi Isriwil dan P4L3st1n4 untuk hidup aman dan damai ‘bersama’ di wilayah Teluk. Namun, Macron tetap pada pendiriannya mengutuk serangan H4m4s pada 7 Oktober 2023 silam dan menyebut agresi militer Isriwil sebagai tindakan membela diri semata (tempo.co, 30/05/2025).
Solusi dua negara yang dilayangkan Prabowo tentu saja menuai banyak reaksi di tengah-tengah masyarakat. Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), menilai sikap Prabowo sebagai cerminan politik luar negeri Indonesia yang akan selalu mendukung kemerdekaan bagi setiap bangsa di dunia tidak terkecuali Isriwil dan P4L3st1n4. Hal yang serupa juga diungkapkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun MUI menekankan pentingnya Indonesia menegakkan hukum internasional dengan memastikan Isriwil dihukum atas kejahatan kemanusiaan yang telah ia lakukan terhadap bangsa P4L3st1n4 (kompas.com, 29/05/2025). Sedangkan Sekjen PPP, M. Arwani Thomafi, meminta dukungan atas kemerdekaan P4L3st1n4 tetap menjadi prioritas utama sesuai mandat Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (bisnis.com, 31/05/2025).
Di sisi lain, beberapa pihak menyebut wacana pengakuan Israel seiring dengan kemerdekaan P4L3st1n4 tidak tepat dibahas tatkala Z!on1$ masih bersikeras menduduki P4L3st1n4. Solusi dua negara yang disampaikan Prabowo kemudian bisa diartikan sebagai dukungan atas genosida terhadap bangsa P4L3st1n4. Beberapa pakar menyebutkan solusi dua negara hanya layak diutarakan ketika Tel Aviv merubah sikapnya dan menghentikan agresi militer. Pengakuan Indonesia atas Isriwil bisa menjadi pilihan diplomatik yang dilematis di kemudian hari dan ‘mencoreng’ konsistensi Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya.
Normalisasi hubungan diplomatik sama artinya dengan mengakui eksistensi Z!on1$ dan memberi peluang bagi penjahat perang tersebut untuk melakukan apa pun atas nama ‘membela diri’. Berbagai agresi militer di tanah P4L3st1n4 akan dianggap sah selama dimasukkan ke dalam narasi ‘menjaga keamanan’ Tel Aviv. Sedangkan solusi dua negara tidak lain adalah skenario jahat yang tidak patut untuk dipertimbangkan oleh negeri muslim mana pun. Pasalnya, solusi ini mengharuskan P4L3st1n4 ‘berbagi’ wilayah dengan Isriwil. Padahal Z!on1$ nyatanya merampas tanah P4L3st1n4 yang kemudian tindakan tersebut dilegitimasi Inggris dan dijaga keberadaannya hingga detik ini oleh negara adidaya Amerika.
Dari sini tampak jelas bagaimana Z!on1$ yang seharusnya ‘ditendang’ keluar dari wilayah P4L3st1n4 karena telah merampas tanah rakyat pribumi, justru dibiarkan tumbuh subur bahkan difasilitasi keberadaannya oleh Inggris. Sedangkan saat ini keberadaan Isriwil senantiasa dijaga, terutama oleh Amerika sebagai negara adidaya dengan tujuan memperpanjang umur penjajahan di kawasan Teluk. Keberadaan Tel Aviv juga selalu banjir dukungan karena berfungsi memastikan ketidakstabilan politik di wilayah Arab sebagai jalan mendikte dan menekan bangsa-bangsa Arab melalui isu perbatasan. Celakanya lagi, solusi khayalan tersebut juga digunakan sebagai ‘pil tidur’ negeri-negeri Arab untuk tetap diam tiap kali Z!on1$ ‘menghantam’ tanah P4L3st1n4.
Apakah tidak cukup tragedi Nakba dan Naksa sebagai pengingat kita akan betapa licik dan brutalnya Z!on1$? Tragedi Nakba telah memaksa setidaknya 750.000 warga Arab P4L3st1n4 untuk meninggalkan tanah mereka yang kemudian ditempati oleh Z!on1$ di tahun 1948. Tragedi ini kemudian memuluskan jalan Z!on1$ untuk membangun negara Isriwil di tahun yang sama. Di tahun 1967 kejadian serupa terjadi yang kemudian kita kenal sebagai tragedi Naksa. Megatragedi kedua tersebut mengusir sekitar 430.000 warga P4L3st1n4 dari rumah-rumah mereka hanya dalam kurun waktu enam hari. Peristiwa memilukan tersebut digencarkan Z!on1$ dengan mengangkat bendera ‘Isriwil Raya’.
Meletusnya tragedi Nakba dan Naksa tanpa adanya intervensi militer yang berarti dari negeri-negeri Arab menjadi bukti betapa berbahaya keberadaan konsep negara bangsa (nation state) bagi kaum muslim. Konsep ini secara nyata telah berhasil mencerai-beraikan umat Islam atas nama nasionalisme. Konsep busuk semacam ini juga mengalihkan perhatian kaum muslim dari persatuan umat sebagai satu tubuh yang kemudian disekat-sekat oleh batas wilayah. Ironisnya, kondisi ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para musuh Allah Swt. dengan mendikte dan menekan negeri-negeri Teluk atas nama perdamaian semu. Maka tidak mengherankan jika kedua tragedi tersebut menjadi fondasi kuat bagi terbentuknya Timur Tengah yang neoliberal dan nasionalis yang secara sukarela ‘berjabat tangan’ dengan Z!on1$.
Sangat jelas, baik normalisasi hubungan diplomatik maupun solusi dua negara tidak akan pernah dapat menghentikan penderitaan rakyat P4L3st1n4. Tanah P4L3st1n4 adalah tanah kaum muslim yang tidak sepatutnya diserahkan kepada para musuh Allah Swt.. Tanah P4L3st1n4 adalah tanah kharajiyyah yang harus diperjuangkan dengan seluruh kemampuan, keringat hingga tangis dan darah oleh seluruh umat Islam tanpa kecuali. Agresi militer yang dilakukan Z!on1$ pun tidak akan pernah berhenti di meja perundingan, tetapi hanya dengan menurunkan tentara-tentara muslim di medan perang. Turunnya tentara muslim hanya bisa terwujud dengan solidnya persatuan umat tanpa adanya sekat-sekat negara melalui konsep negara bangsa. Oleh sebab itu, keberadaan junnah (perisai) umat, Daulah Khilafah Rasyidah, menjadi satu-satunya jalan membebaskan rakyat P4L3st1n4 dari nestapa.
Patutlah kita merenungkan Firman Allah Swt., “Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Dan barang siapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahanam, dan seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS al-Anfal: 15–16). Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
0 Komentar