Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Resmi! Presiden USA Donald Trump telah mengumumkan besaran tarif impor barang asal Indonesia dari 32% menjadi 19%. Sekilas kesepakatan tarif Indonesia–US terlihat sebagai pencapaian positif yang berpotensi meningkatkan daya saing produk dalam negeri di pasar AS. Namun, pada kenyataannya Indonesia harus membayar mahal atas ‘keberhasilan’ tersebut.
Penurunan tarif impor resiprokal Indonesia dari angka 32% ke 19% mengharuskan negeri ini menjalankan setidaknya empat syarat. Pertama, Indonesia tidak membebankan tarif apa pun terhadap produk impor asal AS alias tarif impor 0%. Kedua, Indonesia diwajibkan membeli produk energi Amerika senilai US$15 miliar (setara Rp244 triliun). Ketiga, Indonesia akan membeli produk hasil agraria USA senilai US$4,5 miliar (setara Rp73 triliun). Terakhir, Indonesia direncanakan akan membeli 50 unit pesawat Boeing melalui maskapai Garuda Indonesia (dw.com, 16/07/2025).
Kesepakatan ‘berat sebelah’ tarif ekspor impor antara Indonesia dan Amerika secara nyata mengandung risiko besar atas neraca dagang dan stabilitas fiskal. Terdapat setidaknya lima komoditas utama asal USA yang bisa dipastikan akan membanjiri pasar Indonesia yakni minyak dan gas (migas), produk elektronik, produk pertanian khususnya jenis serealia (gandum dan semacamnya), suku cadang pesawat hingga produk farmasi. Padahal sebelum adanya pembebasan tarif impor asal US, sepanjang tahun 2024 total impor kelima jenis produk tersebut sudah mencapai US$5,37 miliar (setara Rp87,3 triliun). Sudah dapat dibayangkan bahwa nilai impor kelima komoditas tersebut akan meningkat tajam pada tahun-tahun mendatang seiring dengan diberlakukannya pembebasan tarif impor (hukumonline.com, 17/07/2025).
Adanya kewajiban bagi Indonesia untuk membeli produk energi US dengan angka fantastis tentu saja akan berdampak langsung pada pagu RAPBN 2026 mendatang. Zamrud khatulistiwa yang katanya negeri kaya akan minyak, kini harus bergantung pada impor BBM dan LPG asal Amerika. Dari sini, bisa kita prediksi bagaimana kebutuhan ‘subsidi’ pemerintah akan sektor energi menjadi lebih besar dibanding alokasi subsidi energi pada pagu RAPBN 2026 yakni sebesar Rp203,4 triliun. Lonjakan kebutuhan subsidi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat diperkirakan bahkan bisa mencapai angka di atas Rp300 triliun. Oleh karenanya tidak akan mengherankan jika kemudian pemerintah berupaya ‘memutar otak’ guna menutupi alokasi subsidi tersebut, salah satunya justru dengan pengurangan angka subsidi.
Bukan hanya sektor energi yang ‘ketar-ketir’ sebagai akibat dari ketidakadilan tarif resiprokal yang diberlakukan US, kebijakan negara adidaya tersebut secara nyata mengancam ketahanan pangan negeri. Adanya pemberlakuan tarif 0% untuk produk serealia terutama gandum asal AS bisa memukul telak para petani domestik. Sekalipun memang benar bahwa masuknya produk gandum AS bertarif impor 0% memungkinkan harga makanan berbasis gandum dalam negeri seperti mie instan dan roti mengalami penurunan, tetapi kondisi ini justru menekan produsen pangan lokal untuk bersaing secara langsung dengan produk asal US yang memiliki kualitas tinggi.
Pemberlakuan ketidakadilan tarif oleh AS ironisnya dapat mengulang ‘mimpi buruk’ bangsa pada kasus kedelai di era 1990-an. Indonesia yang sebelumnya cukup mandiri dan mampu mencapai swasembada kedelai pada masa itu, justru harus bertekuk lutut pada pasar global karena kalah bersaing dengan produk luar. Hingga kini, sayangnya Indonesia masih belum bisa lepas dari jeratan impor kedelai. Bahkan dari tahun ke tahun jumlah nilai impor kedelai tidak kunjung turun.
Lebih jauh, tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika akan segera diikuti dengan jumlah produk yang beredar di masyarakat serta produksi dalam negeri. Produk asal US bisa menjadi pesaing serius terutama bagi petani dan industri manufaktur Indonesia. Ketidakmampuan industri dalam negeri untuk bersaing dengan produk asal Amerika memungkinkan perekonomian rakyat kolaps. Jika skenario terburuk benar-benar terjadi, gelombang massal PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) akan senantiasa membayangi negeri ini.
Maka jelas bahwa kesepakatan tarif ekpor impor antara Indonesia dan sang Negara Adidaya bukanlah simbiosis mutualisme melainkan keuntungan satu arah bagi US. Skema tarif tak adil semacam ini menciptakan asimetrisme perdagangan kedua negara yang berisiko besar merusak perekonomian negeri. Produk-produk Paman Sam yang diproduksi dalam skala besar dengan teknologi tinggi dan kualitas super akan langsung berhadapan dengan produk domestik. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan deindustrialisasi prematur negara-negara berkembang semisal Indonesia, akan mengalami kemunduran pada sektor manufaktur.
Tersingkirnya produk-produk manufaktur dalam negeri oleh produk asal AS berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja domestik, transfer teknologi hingga pengembangan rantai pasok pasar lokal. Walhasil, peralihan ekonomi berbasis sumber daya menuju ekonomi berbasis industri dan inovasi akan mengalami fase stagnansi atau bahkan terbalik.
Sekalipun benar bahwa ‘di atas kertas’ penurunan tarif ekspor dari 32% ke 19% memberi peluang peningkatan volume ekspor, rasio antara harga impor dan ekspor Indonesia ke AS bisa mengalami kemunduran. Pasalnya, komoditas ekspor Indonesia tidak banyak yang bernilai tinggi dan memiliki tingkat permintaan dinamis. Ekspor Indonesia cenderung dipenuhi komoditas primer atau produk bahan mentah yang memiliki nilai ekonomi rendah. Di sisi lain, produk asal USA yang dikenakan tarif 0% cenderung bernilai tinggi seperti produk-produk farmasi, alat medis, teknologi digital, mesin industri hingga komoditas pesawat beserta suku cadangnya.
Terlihat jelas bagaimana sistem ekonomi kapitalis yang mendominasi dunia saat ini menempatkan negara adidaya sebagai penguasa utama perdagangan dunia. Negara-negara lain terutama negara berkembang seperti Indonesia dipaksa ‘mengekor’ dan tidak akan pernah menjadi mitra dagang yang sejajar. Sistem semacam ini membuat tatanan ekonomi dunia yang tidak adil dan eksklusif bagi negara-negara kapitalis besar terutama Amerika.
Pemberlakuan tarif resiprokal oleh AS memperlihatkan sikap defensif negeri Paman Sam tersebut dalam menghadapi persaingan global secara tidak adil. Pasalnya dalam beberapa dekade terakhir AS memaksa dunia untuk membuka seluruh market-nya dengan menghapus barrier to entry yang kemudian melahirkan WTO (World Trade Organization). Namun, seiring dengan ‘melempemnya’ perekonomian US dan ‘naik daunnya’ performa Tiongkok di pasar global kemudian memaksa negara adidaya untuk menjalankan praktik proteksionisme pada perdagangan dunia. Amerika secara sengaja membatasi akses pasar bagi negara-negara lain terutama negara berkembang melalui pemberlakuan tarif tinggi, hambatan nontarif dan kebijakan subsidi dalam negeri seraya memaksakan masuknya produk AS ke negara-negara berkembang.
Praktik proteksionisme semacam ini benar-benar menunjukkan sikap egoistik nan hegemonik AS yang hingga kini masih menjadi negara adidaya. Pada akhirnya, USA secara terang-terangan bersikap tidak adil dan memunculkan kesenjangan serius dalam sistem perdagangan global. Tentu saja kondisi demikian memukul telak perekonomian negara-negara lemah termasuk Indonesia.
Ironisnya, sekalipun ‘jebakan’ tarif impor AS secara nyata akan menghancurkan perekonomian negeri, penguasa tampak tidak dapat berkutik. Pemerintah justru menunjukkan ketundukannya pada hegemoni kufur dengan membiarkan bayang-bayang kehancuran ekonomi melanda Indonesia. Pembiaran yang dilakukan oleh penguasa negeri ini atas arogansi Amerika justu memperpanjang umur kapitalisme untuk bercokol di negeri ini.
Padahal Allah Swt. telah memperingatkan umat-Nya, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Surah Al-Imran Ayat 28)
Wallahualam bisawab.
0 Komentar