Khilafah Menjawab: Saat Indonesia Diharuskan Membeli Miliaran Dolar demi Potongan Tarif



Shazia Alma 


#TelaahUtama — Negosiasi delegasi Indonesia dianggap berhasil ketika Amerika Serikat menetapkan tarif impor 19% untuk produk Indonesia. Turun 13% dari tarif resiprokal sebelumnya sebesar 32%. Namun sebagai gantinya, Indonesia diminta membuka pasar untuk produk AS tanpa tarif dan melakukan pembelian besar atas energi, pertanian, dan pesawat buatan AS (cnbcindonesia.com, 16/07/2025).

Kebijakan yang dijadwalkan mulai berlaku Agustus 2025 mendatang ini memperlihatkan suara dominan AS terhadap politik Indonesia. Dalam situasi seperti ini, sulit untuk mengatakan bahwa arah kebijakan ekonomi dan politik luar negeri Indonesia sepenuhnya berpijak pada kepentingan nasional. Dari sudut pandang “politik terjajah”, ini adalah bentuk lanjutan imperialisme ekonomi—subordinasi dengan perjanjian dagang yang seolah setara, padahal memungkinkan peran dominan negara asing.

Kondisi Indonesia saat ini mirip dengan peristiwa sejarah titik lemahnya Islam dan masuknya liberalisasi fiskal yang terjadi pada 1838 saat Kekhalifahan Utsmaniyah menandatangani Treaty of Balta Liman dengan Inggris. Isi perjanjian menetapkan tarif tetap berikut.  Tarif impor: 3%; ekspor: 3%; transit impor: 2%; transit ekspor: 9%.

Perjanjian ini menghapus monopoli lokal dan memberi akses penuh bagi pedagang Inggris untuk menjual produk di pasar Ottoman tanpa hambatan fiskal (Wikipedia: Balta Liman Treaty, 2024). Akibat kebijakan ini, industri lokal runtuh, terutama di sektor tekstil. Jumlah alat tenun di Istanbul turun dari 2.730 menjadi hanya 23 dalam waktu beberapa dekade (ResearchGate: Ottoman Trade, 2018). Ottoman menjadi pasar konsumtif dan kehilangan kemandirian fiskal, memperlihatkan dampak destruktif liberalisasi paksa yang tidak berdasar pada prinsip keadilan Islam.

Kondisi yang sangat berbeda dengan negara besar atau adidaya yang mampu berwibawa hidup dengan kemandirian penuh, seperti Daulah Khilafah Islamiyah pada masa Rasulullah hingga era Khulafaur Rasyidin. Negara Islam tidak tunduk pada sistem ekonomi kufur. Ia berdiri sendiri dalam sistem dagang dan fiskal, tanpa tekanan asing (Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam Iqtishadil Islamiyah).

Dalam sejarah peradaban Islam, kebijakan tarif ekpor dan impor tidak hanya berbasis ekonomi semata, tetapi juga dibangun atas pondasi nilai-nilai syariat seperti keadilan (‘adl), keseimbangan (muwazanah), dan kemaslahatan (maslahah). Pendekatan Islam terhadap tarif memperlihatkan keseimbangan antara prinsip bebas hambatan dan perlindungan terhadap ekonomi dalam negeri (Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj; Halil İnalcık, 1994). 

Rasulullah ﷺ secara tegas melarang pengenaan cukai atas perdagangan yang tidak sesuai dengan prinsip syariat. Dalam hadis disebutkan: “La yadkhulu sahibul maksil jannah” – Orang yang mengambil pungutan (maks) tidak akan masuk surga. (Hadis Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Hadis ini dipahami oleh para ulama sebagai penolakan atas pungutan tidak sah seperti pajak jalan, cukai pelabuhan, dan semacamnya yang diberlakukan tanpa dasar hukum yang adil. Larangan ini menjadi pondasi sistem perdagangan Islam yang bersih dari praktik pungli (maks) seperti pada sistem feodal Romawi dan Persia pra-Islam (lihat: System of Islam, 2023; Review of Religions, 2022).

Rasulullah ﷺ juga membuat perjanjian dagang dengan komunitas nonmuslim seperti Najran dan Ta’if. Dalam perjanjian tersebut dijamin bahwa tidak ada tarif atau ‘ushr dikenakan kepada mereka yang berdagang ke wilayah Islam selama hubungan damai dijaga (Abu Yusuf, al-Kharaj; ResearchGate, 2023). Ini menegaskan prinsip Islam dalam mendorong perdagangan bebas lintas komunitas, selagi tidak merugikan umat.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, lahir sistem 'ushr. Kebijakan tarif formal dalam Islam dimulai pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a.. Beliau memperkenalkan pajak dagang lintas batas yang disebut ‘ushr sebagai respons terhadap kebijakan fiskal negara asing terhadap pedagang muslim. Umar berkata: “Ambillah ‘ushr dari pedagang harbi sebagaimana mereka mengambil dari kita.” (Kitab al-Kharaj, Abu Yusuf)

Rincian tarif yang diberlakukan: 10%: untuk pedagang dari negara musuh (kafir harbi); 5%: untuk pedagang nonmuslim yang hidup di dalam wilayah Islam (dzimmi); 2,5%: untuk pedagang muslim, setara dengan zakat perdagangan (System of Islam, 2023).

Tarif ini hanya berlaku bagi barang dagangan dan tidak berlaku dua kali untuk barang yang sama dalam periode setahun. Barang konsumsi pribadi senilai kurang dari 200 dirham tidak dikenai tarif. Hal ini menunjukkan bahwa sistem fiskal Islam menjunjung efisiensi dan tidak membebani aktivitas ekonomi rakyat (ResearchGate, 2023; Abu Yusuf, al-Kharaj).

Pada masa Umayyah dan Abbasiyah terjadi konsolidasi perdagangan bebas internal dengan keterpaduan wilayah ekonomi. Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah memperluas wilayah Islam menjadi kekuatan ekonomi global. Sistem perdagangan lintas provinsi berlangsung bebas dari tarif internal. Seluruh wilayah Kekhilafahan diperlakukan sebagai satu pasar terpadu. Infrastruktur pelabuhan seperti Basrah dan jalur sutra diorientasikan untuk mendukung arus barang dengan cepat dan aman (Halil İnalcık, 1994; Rational Religion, 2022).

Pada masa Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf menulis Kitab al-Kharaj sebagai pedoman fiskal kekhilafahan. Dalam kitab tersebut dibahas pengelolaan tarif (‘ushr), pajak tanah (kharaj), dan kewajiban nonmuslim (jizyah) secara sistematis. Ia menekankan bahwa pungutan hanya boleh dilakukan atas dasar syariat dan keadilan fiskal (Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj; Review of Religions, 2022).

Saatnya umat Islam memimpin perdagangan dunia, bukan jadi korban. Tarif resiprokal AS hanyalah puncak gunung es dari ketimpangan global. Jika Indonesia ingin lepas dari cengkeraman ketidakadilan ini, maka perlu lebih dari diplomasi. Perlu sistem Islam kafah yang melindungi pedagang kecil, industri dalam negeri, dan martabat bangsa. Itulah yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam naungan Khilafah: sistem yang telah terbukti adil selama 13 abad. Wallahualam bisawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar