#Reportase — Khilafah Islam akan menjaga berlangsungnya penerapan agama (syariat Islam) yakni mengatur urusan duniawi dengan agama, sehingga bisa menyelesaikan kekerasan seksual.
“Setidaknya ada dua tindakan yang dilakukan Khilafah Islam dalam menyelesaikan kekerasan seksual,” ungkap Mubaligah Kota Depok, Ustazah Hayati dalam Kajian Muslimah Shalihah, "Kekerasan Seksual Menorehkan Luka, Kapitalisme Biang Derita", Ahad (20/7/2025) di Depok.
Kedua tindakan tersebut yakni tindakan preventif dan kuratif. Preventif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu masalah atau gangguan sebelum masalah tersebut benar-benar muncul.
“Tindakan preventif yang dilakukan yakni dengan memerintahkan kepada para laki-laki dan perempuan menundukkan pandangan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah An-Nur Ayat 30 dan 31,” terangnya sambil membacakan ayat tersebut.
Tak hanya itu, sebutnya, bagi perempuan ketika hendak ke luar rumah harus menutup aurat dan mengenakan pakaiannya secara sempurna yakni jilbab atau baju kurung hingga ke bawah (irkha’). Dalilnya terdapat dalam Surah Al-Ahzab Ayat 59 dan kerudung (penutup kepala) atau khimar, dalilnya ada di dalam Al-Qur’an Surah An-Nur Ayat 31.
“Islam juga melarang wanita berkhalwat (berdua-duaan dengan pria yang bukan mahram), karena ini bisa menjadi peluang terjadinya perzinaan atau kekerasan seksual." Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis Riwayat Ahmad, ‘Janganlah seorang pria ber-khalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahram-nya) karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan’,” jelasnya di hadapan sekitar puluhan jemaah.
Begitu juga, ujarnya, Islam pun melarang wanita bertabaruj (menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada pria asing). Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah An-Nur Ayat 31, “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat…”
“Islam juga melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram ikhtilat/bercampur baur karena berpotensi menimbulkan fitnah dan mendekatkan seseorang kepada perbuatan dosa. Karena hukum asalnya kehidupan laki-laki dan perempuan itu terpisah. Perempuan berada di kehidupan khusus bersama mahramnya. Namun, Islam membolehkan laki-laki dan perempuan bertemu di kehidupan umum jika ada keperluan seperti belajar-mengajar, jual-beli, atau ada hajat yang ditetapkan syariat seperti haji dan umrah,” bebernya.
Tak hanya itu, Islam mengharamkan melakukan eksploitasi terhadap perempuan seperti mempekerjakan perempuan dengan cara mengeksploitasi tubuh dan penampilan mereka—terjadi dalam sistem kapitalisme. Misalnya, sebagai model iklan, pelayan toko, frontliner, sales, dan lainnya. Kaum perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah berdasarkan keterampilan mereka. Namun, mereka harus menutup aurat secara sempurna dengan memakai kerudung dan jilbab syar’i, serta tidak tabaruj (berhias yang mengeksploitasi kecantikan mereka).
Tindakan kuratif yakni penanganan untuk mengendalikan suatu masalah. “Adapun tindakan kuratif yang dilakukan Islam yakni dengan sanksi yang keras bagi pelaku kekerasan seksual baik berupa takzir, atau hudud seperti memperkosa atau berzina (dengan cambuk atau rajam) sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang,” jelasnya.
Menurutnya, sanksi takzir juga berlaku bagi pihak yang melakukan eksploitasi terhadap perempuan, termasuk pihak yang memproduksi konten-konten pornografi, tapi bobot sanksinya diserahkan kepada qadhi (hakim), bisa berupa hukuman penjara, hukuman cambuk, bahkan hukuman mati jika dinilai sudah keterlaluan oleh pengadilan.
“Tak hanya itu, sanksi takzir juga disiapkan bagi para pelaku pelecehan seksual, seperti cat calling, menyentuh/meraba perempuan, mengintip, dan sebagainya. Qadhi bisa memvonis hukuman penjara atau hukuman cambuk atas pelakunya, bergantung pada tingkat kejahatan tersebut menurut ijtihad qadhi,” ujarnya.
Bagi para pelaku pemerkosaan, lanjutnya, ada sanksi yang jauh lebih berat. Jika pelakunya laki-laki yang belum menikah (ghayr muhshan), maka sanksinya cambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun di tempat terpencil. Sebagaimana yang disebutkan dalam Surah An-Nur Ayat 2 yang artinya, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Jika pelakunya sudah menikah atau pernah menikah (muhshan), sanksi atas dirinya adalah hukum rajam hingga mati.
“Adapun bagi korban kekerasan seksual, wajib diberi perlindungan oleh negara yakni dengan diberi perawatan secara fisik dan psikis sampai betul-betul pulih. Pasalnya, hal tersebut bisa mengakibatkan trauma yang berkepanjangan, bisa menjadi depresi bahkan bunuh diri karena malu, jika tidak ditangani dengan serius,” imbuhnya.
Semua itu akan terlaksana dengan sempurna bila ada peran negara. Negara dalam Islam akan menerapkan sanksi sebagai zawajir (pencegah dari kejahatan) dan sebagai penebus dosa di akhirat (jawabir).
“Inilah langkah konkrit dan praktis Khilafah dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual sehingga akan menghilangkan celah yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual. Maka, Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan Islam mampu menyelesaikan problem kekerasaan seksual dengan menerapkan syariat Islam kafah termasuk memberlakukan hukuman yang tegas bagi pelakunya,” pungkasnya.[Siti Aisyah]
0 Komentar