Data Rakyat Ditukar Tarif: Waspadai Neoimperialisme AS

 



Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Dalam putaran terbaru perundingan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat, diberitakan bahwa AS secara resmi mengusulkan agar proses pengiriman data pribadi warga Indonesia ke negaranya dipermudah. Usulan tersebut disertai pernyataan bahwa perlindungan privasi di Amerika dianggap setara dengan regulasi data yang berlaku di Indonesia. Sebagai bentuk kompensasi, AS menawarkan penghapusan tarif serta hambatan nontarif hingga 13%, dan memperpanjang moratorium pajak digital dalam kerangka kebijakan WTO (Reuters, 22/07/2025).

 

Permintaan ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah wajar jika informasi pribadi rakyat Indonesia ditukar dengan insentif ekonomi? Di sinilah perlunya kita meninjau isu ini dari perspektif politik Islam sebagai konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban amal kepada Allah Swt...

 

Permintaan Amerika Serikat agar Indonesia membuka akses data pribadi warganya sebagai kompensasi penurunan tarif adalah bentuk tekanan ekonomi-politik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Jika sistem Islam tegak dan menghadapi kondisi serupa, negara akan menolak secara mutlak pertukaran data pribadi sebagai alat diplomasi dagang dan sebaliknya memperkuat kedaulatan digital, ekonomi mandiri, dan diplomasi berbasis ideologi Islam.

 

Islam Memuliakan Data dan Kehormatan Umat

 

Dalam Islam, kehormatan (al-‘ird), harta (al-māl), dan nyawa (al-nafs) merupakan perkara yang wajib dijaga. Data pribadi umat yang berisi rekam medis, transaksi keuangan, lokasi, dan aktivitas digital termasuk dalam kategori rahasia umat yang wajib dilindungi oleh negara. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kalian sebagaimana sucinya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (Hadis Riwayat  Bukhari, no. 67 dan Muslim, no. 1679)

 

Dalam konteks ini, pertukaran data pribadi demi kelonggaran tarif merupakan bentuk pelecehan terhadap hak dasar rakyat. Islam melarang keras pemimpin untuk menggadaikan kemuliaan umat demi kepentingan ekonomi sesaat.

 

Perspektif Khilafah: Menolak Pertukaran Data dengan Negara Kafir Harbi

 

Dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (Pasal 189), dijelaskan bahwa hubungan internasional dalam Khilafah dibagi antara negara harbi (musuh) dan negara mu’ahad (yang terikat perjanjian damai). Amerika Serikat diklasifikasikan sebagai kafir harbi fi’lan (negara yang aktif memusuhi Islam dan kaum muslimin). Karena intervensi militernya, dukungannya terhadap penjajahan Zionis, serta dominasi ekonominya atas dunia Islam. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Islam, hlm. 81–82 juga menegaskan bahwa, “Negara kafir harbi fi’lan (yang secara aktif memusuhi Islam) haram dijadikan mitra dalam bentuk apa pun yang memungkinkan mereka mendapatkan informasi strategis tentang kaum muslim.”

 

Dalam sistem Islam, menjaga informasi rakyat bukan sekadar isu privasi, melainkan kewajiban syar’i  dan bentuk tanggung jawab pemerintahan. "Negara Khilafah tidak boleh menjalin hubungan dagang strategis, apalagi yang melibatkan keamanan dan informasi, dengan negara kafir harbi fi’lan." (Syekh Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 254)  Dipaparkan juga oleh Syekh Abdul Qadim Zallum, pada bab Al-Amn (Keamanan), hlm. 59, “Negara Khilafah wajib menjaga rahasia umat, baik itu militer, politik, hingga informasi umum... termasuk data yang bisa disalahgunakan untuk melemahkan umat.”

 

Ancaman Neoimperialisme Digital

 

Permintaan AS agar Indonesia menyerahkan data warga untuk ditukar dengan kelonggaran tarif adalah cerminan nyata dari neoimperialisme digital yaitu kontrol negara besar terhadap informasi rakyat negara berkembang sebagai bentuk penjajahan gaya baru.

 

Hal ini sejalan dengan kekhawatiran banyak pihak, termasuk pakar hukum digital Indonesia yang menyatakan bahwa regulasi kita belum kuat. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, mengakui bahwa UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum bisa dijalankan optimal karena belum adanya otoritas pengawas resmi (cnbcindonesia.com, 24/07/2025). Tanpa perlindungan konkret, membuka akses data ke pihak asing sama saja dengan membuka pintu penguasaan terhadap umat secara digital.

 

Solusi Khilafah: Tindakan Tegas dan Strategis

 

Dalam situasi seperti ini, Khilafah tidak akan tunduk pada tekanan ekonomi asing. Sebagai negara ideologis berbasis Islam, berikut langkah strategis—yang disarikan dari berbagai sumber—yang mungkin akan dilakukan Khilafah:

 

1. Menolak permintaan data dari negara kafir harbi. Khilafah tidak akan membuka data umat kepada negara musuh. Transfer data lintas batas hanya diizinkan untuk keperluan darurat syar’i, dengan izin Mahkamah Mazhalim, dan hanya kepada negara amanah.

 

2. Membangun infrastruktur digital mandiri. Khilafah akan mengembangkan pusat data nasional (data center) di wilayah Islam; menolak penyimpanan data di cloud asing; mengembangkan perangkat lunak dan sistem operasi independen (open-source berbasis syariat).

 

3. Memutus ketergantungan teknologi Barat. Khilafah akan memproduksi teknologi strategis sendiri atau bermitra dengan negara netral. Tujuannya untuk menghilangkan ketergantungan yang bisa menjadi alat tekanan diplomatik. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam), hlm. 274–275 menuliskan, “Hubungan dagang luar negeri dengan negara kafir harbi tidak boleh berlangsung jika mengancam keamanan internal, termasuk bentuk ekspor teknologi, informasi, dan data.”

 

4. Melakukan balasan (retaliasi) ekonomi. Khilafah akan melakukan boikot, embargo balik, atau diversifikasi pasar. Hubungan perdagangan dengan negara musuh yang menyandera kedaulatan umat akan dihentikan. Dalam Surah Al-Baqarah Ayat 120, Allah mengingatkan kita, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka...” Ini menunjukkan larangan mengikuti arah kebijakan mereka, termasuk dalam ekonomi-politik.

 

5. Menyeru dunia Islam bersatu melawan tekanan digital. Khilafah akan menjadikan isu ini sebagai seruan global kepada seluruh dunia Islam untuk membangun solidaritas digital dan melawan penjajahan informasi.  "Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku." (Surah Al-Mu’minun Ayat 52)  "Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai..." (Surah Al-Imran Ayat 103)

 

Ayat-ayat ini menjadi dasar bahwa umat Islam wajib bersatu di bawah satu kepemimpinan dan sistem, serta tidak boleh terpecah belah dalam menghadapi tantangan termasuk dalam isu penjajahan digital atau penguasaan informasi oleh musuh-musuh Islam.

 

Permintaan Amerika Serikat terhadap Indonesia untuk menukar data warga demi kelonggaran tarif adalah contoh nyata kompromi terhadap kedaulatan umat. Ini adalah bentuk penjajahan modern yang disamarkan melalui kesepakatan perdagangan. Dalam sistem Islam, semua bentuk penguasaan asing atas urusan umat termasuk informasi pribadi adalah haram dan harus ditolak tegas. "Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangi kamu karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (Surah Al-Mumtahanah Ayat  9)

 

Hanya sistem Khilafah yang mampu melindungi kehormatan umat secara menyeluruh—baik dalam bentuk fisik, ekonomi, maupun digital. Sudah saatnya kaum Muslimin memahami bahwa penerapan sistem Islam tak hanya melindungi akidah, tetapi juga menjaga data dan informasi umat dari dominasi kekuatan neoimperialis di ranah digital.[]

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar