Hanin Syahidah
#CatatanRedaksi — Masih hangat ingatan membludaknya job fair di Bekasi. Ribuan orang datang dan memadati lokasi, tak ayal terjadi saling dorong bahkan ada yang pingsan, panitia menyebut lowongan yang tersedia hanya 2.000-an tetapi yang datang mencapai 25.000 orang, satu lowongan kerja diserbu sekitar 12 orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak anak negeri yang membutuhkan pekerjaan. Tidak jarang mereka adalah lulusan sarjana.
Dilansir dari laman medcom.com (10/7/2025), menyebutkan berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (2025), terdapat lebih dari satu juta pengangguran sarjana di tahun ini. Hal ini pun mendapat sorotan dari Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Tak hanya dari Kemenaker, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan total pengangguran di Indonesia menembus 7,28 juta orang per Februari 2025. Jumlah ini meningkat sebanyak 1,1% dibandingkan tahun sebelumnya.
Fenomena yang sangat miris terjadi, di tengah Indonesia ada di puncak bonus demografi di 2020–2030. Usia produktif dalam rentangan 15–64 sangat tinggi, tapi mereka harus terlunta-lunta untuk mendapatkan pekerjaan. Seringkali mereka juga harus banting setir bekerja di luar bidang keahliannya demi peluang diterima kerja tapi tetap saja lapangan pekerjaan itu tidak didapatkan. Semua terjadi karena jumlah lapangan pekerjaan lebih sedikit dari jumlah pelamarnya. Sebenarnya diakui atau tidak semua ini terjadi akibat sistem kapitalisme yang menggurita dalam kehidupan umat ini.
Politik ekonomi kapitalistik itu berfokus pada peningkatan produksi. Masalah ekonomi bagi kapitalisme adalah bahwa kebutuhan itu tidak terbatas, sedangkan alat pemuas itu terbatas jadi solusinya meningkatkan alat pemuas yakni produksi. Dalam kapitalisme produksi di anak-emaskan, contohnya menarik investasi swasta untuk menggenjot produksinya, bahkan tidak jarang ada kebijakan pemotongan pajak (tax amnesty) bagi pengusaha (orang kaya) dengan harapan mereka mudah membuka/mengembangkan usaha agar makin banyak aktivitas produksi—bisa membuka lapangan pekerjaan baru, dan harapannya akan mengangkat keterpurukan masyarakat bawah.
Teori ini dalam kapitalisme sering disebut Trickle Down Effect (efek menetes ke bawah) yakni teori ekonomi yang menyatakan bahwa kebijakan ekonomi yang menguntungkan kelompok kaya atau pemilik modal, pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada di kelompok bawah (pajak.go.id, 19/10/2021).
Padahal faktanya kondisi ini tidak pernah terjadi, sering kali keuntungan yang didapatkan si kaya tidak menetes ke bawah untuk si miskin. Kecenderungan si kaya ini menikmatinya sendiri, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin makin menganga, seperti yang terjadi hari ini. Yang kaya makin kaya dan dia akan berkumpul dengan circle orang-orang kaya di antara mereka, sedangkan yang miskin makin merana dan menderita.
Satu kondisi kehidupan yang tidak seimbang di masyarakat, terlebih di tengah kehidupan sulit hari ini yang menimpa banyak pihak, ekonomi lesu, jobless melanda di berbagai sektor makin membuat rakyat kehilangan arah. Di tengah hidup seperti ini mari kita berpikir bagaimana agar kesenjangan antara si kaya dan si miskin tidak makin dalam termasuk juga lapangan pekerjaan bisa memadai, karena ada korelasi antara maraknya pengangguran dengan peningkatan jumlah rakyat miskin, maka perlu untuk memikirkan sistem ekonomi alternatif yang lebih aware dengan kondisi fitrah manusia dalam kehidupannya.
Salah satu sistem alternatif adalah sistem Islam yang berasal dari Allah yang menciptakan manusia. Dalam sistem Islam, politik ekonomi Islam fokusnya adalah distribusi. Islam memastikan setiap warga negara orang per orang mampu memenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan pokoknya, sehingga syariat Islam mewajibkan bagi laki-laki balig dan sehat untuk bekerja atau membuka usaha.
Posisi negara adalah pengayom, penjaga, dan pelayan bagi rakyatnya sehingga wajib bagi negara menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya dan memberi kemudahan iklim usaha dengan semudah-mudahnya. Tingkat kesejahteraan negara juga sangat diperhatikan individu per individu, makanya fokus negara itu adalah di aspek distribusi, jika dia laki-laki sehat maka wajib bekerja/membuka usaha, jika ternyata cacat atau tidak mampu bekerja maka akan diserahkan ke walinya, tetapi jika tidak punya wali/ahli waris/sebatang kara maka negara yang akan mengurusnya.
Demikian kehadiran negara riil dilakukan untuk mengurusi rakyatnya. Aktivitas ekonomi juga riil terjadi hanya di sektor riil. Dalam Islam tidak ada pergerakan ekonomi untuk sektor non riil, karena ada baitulmal dan kehadiran Khalifah (penguasa) yang mengurusi dan melayani rakyatnya secara langsung. Kondisi yang sangat berbeda dengan sistem kapitalisme saat ini—pemerintah tidak mengurusi rakyat secara langsung—pemerintah dalam sistem kapitalisme menyerahkan aspek distribusi kepada swasta atau individu yang tidak jarang hanya mengambil keuntungan untuk dirinya saja. Misalnya, memberikan sektor-sektor vital rakyat untuk dikelola dan diurus oleh swasta.
Padahal, kalau dalam Islam ada pengaturan kepemilikan, mana yang merupakan milik individu, milik negara, dan mana yang merupakan milik umum rakyat seperti bahan tambang, laut, hutan yang merupakan sumber daya alam yang dikelola negara dan keuntungannya untuk rakyat jadi tidak boleh diserahkan kepada swasta maupun perorangan. sehingga dalam konteks Indonesia yang subur, gemah ripah loh jinawi kali ini seharusnya rakyat sejahtera, ketika pengaturannya sesuai sistem ekonomi Islam, bukan dikorupsi seperti saat ini.
Bagaimana kita lihat tindak pidana korupsi seperti waiting list yang tidak berujung setelah korupsi timah yang merugikan negara Rp300 T, terbitlah Pertamina yang dioplos dan dikorupsi sampai Rp1 kualidriun dan sekarang mulai muncul lagi korupsi minyak goreng sebesar Rp11,3 T—sampai-sampai ada istilah klasemen korupsi, satu hal yang sangat mengerikan jika hal ini terus dibiarkan.
Hajat rakyat makin dijadikan bancakan hanya oleh segelintir orang-orang yang rakus. Maka, cukuplah penderitaan umat ini. Sudah saatnya umat makin cerdas bahwa hanya aturan yang sesuai fitrah manusia yang akan mensejahterakannya, yakni sistem Islam sebagai aturan hidup yang berasal dari Allah Swt., yang paham betul bagaimana manusia seharusnya mengatur kehidupan. Tentu tidak bisa dipisahkan antara sistem ekonomi dengan sistem politiknya, termasuk sistem sanksinya juga sistem pertahanan keamanannya—semua harus secara total (kafah) diatur dengan syariat Islam. Niscaya keberkahan dari langit dan bumi untuk manusia akan diberikan Allah Swt., in syaa Allah. Wallahu a'lam bi asshawwab.[]
0 Komentar