Kapitalisme Berantas Korupsi, Antara Realita dan Ilusi



Siti Rima Sarinah


#Bogor — Gurita korupsi masih menjadi PR terbesar bagi negeri ini. Pasalnya, kasus korupsi seakan tak pernah usai, dilakonin oleh para penguasa, pengusaha, dan kroni-kroninya. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan dan meminimalisir kasus korupsi, tapi yang terjadi kasus korupsi justru makin menjadi-jadi dan merugikan negara hingga triliunan rupiah. Pelaku korupsi pun tak mengenal kata jera, karena sanksi yang mereka dapatkan tidak memberikan pengaruh yang berarti.


Pemerintah Kota Bogor pun tengah menggencarkan kampanye anti korupsi yang menyasar seluruh perangkat daerah dan masyarakat sebagai penerima layanan, dengan berbagai strategi berbasis sistem dan partisipasi publik. Tak bisa dipungkiri, korupsi sudah menjadi bahaya laten bagi negeri ini, dan semua pihak sepakat untuk memerangi korupsi baik dari sisi preventif maupun sanksi tegas bagi pelaku korupsi. Dengan menggandeng KPK dalam program Monitoring Center for Prevention (MCP) ini akan menuntut perbaikan tata kelola perencanaan dan penganggaran APBD hingga pelayanan publik dan pengelolaan pendapatan (antaranews, 27/06/2025).


Di negeri ini, kasus korupsi tumbuh sumbur bak jamur di musim hujan. Berdasarkan laporan Transparency International, Indonesia menduduki peringkat ke-5 dalam tingkat korupsi di kawasan Asia Tenggara. Hal ini merupakan peringatan besar bagi negeri ini bahwa gurita korupsi menjadi penyakit menular yang harus segera dihilangkan di negeri ini. Begitu banyak dampak yang ditimbulkan dengan banyaknya kasus korupsi ini, terutama menyangkut nasib rakyat yang hidup makin sulit dan terhimpit dengan kemiskinan. Di sisi lain, pelaku korupsi yang notabene oknum pejabat dengan leluasa merampok harta negara untuk kepentingan pribadinya.


Walaupun ada lembaga negara untuk mengatasi korupsi dan berbagai upaya untuk mencegah korupsi, nyatanya belum mampu menuntaskan persoalan korupsi yang kian merajalela. Aparat hukum yang diharapkan mampu mengusut dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku korupsi, justru menjadi bagian dari pelaku korupsi itu sendiri. Dengan fakta seperti ini bagaimana mungkin kasus korupsi bisa dicabut dari akar-akarnya.


Maraknya kasus korupsi dan ketidakmampuan menyelesaikannya, pada hakikatnya diakibatkan oleh sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini. Karena sistem inilah yang membuka peluang besar bagi pelaku korupsi untuk menjalankan aksinya. Mahalnya biaya kampanye untuk bisa menduduki kursi kekuasaan, sudah menjadi rahasia umum dalam sistem ini. Sehingga para pejabat mencari peluang untuk mengembalikan modal di masa kampanye dengan cara korupsi. 


Sistem kapitalisme sekuler telah mencetak para pejabat yang silau dengan gemerlap harta sehingga memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya untuk mengeruk harta negara yang juga merupakan harta rakyat. Sistem ini juga hanya menjaring para politisi bermental bisnis dan tatkala mereka menjabat, mereka memosisikan diri sebagai pedagang yang “berjualan” pemenuhan kebutuhan hidup rakyat dan “berjualan” kebijakan untuk para pengusaha hanya untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya.


Hal ini diperparah dengan hukum peradilan yang “tak bergigi” untuk memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku korupsi. Bahkan seorang jaksa yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah hanya diberikan hukuman penjara selama dua tahun. Belum lagi, penjara yang di sulap bak fasilitas hotel yang mewah, berbeda dengan sel tahanan rakyat biasa. Apakah dengan sanksi penjara seperti ini dapat memberi efek jera bagi pelaku korupsi? Mustahil rasanya, bahkan fakta ini menunjukkan makin terkikisnya rasa keadilan di tengah rakyat. 


Walhasil, sistem kapitalisme sekuler hanya memberikan ilusi dan angan-angan belaka untuk memberantas korupsi. Sebab dari sistem batil inilah kasus korupsi menggurita dan mencengkeram semua lini lembaga pemerintahan di negeri ini. Semua pejabat, penguasa, dan pengusaha bekerjasama melakukan korupsi dan menjadikan politik saling sandera untuk saling menutupi kebusukan aib mereka agar tidak terbongkar.


Membebaskan negeri ini dari gurita korupsi harus dilakukan secara sistemik, artinya harus sampai menyentuh akar masalah. Sebab, sistem kapitalisme sekuler telah menunjukkan kegagalannya dalam menuntaskan kasus korupsi. Hanya ada satu sistem pemerintahan yang bersih dan memiliki seperangkat aturan agar negara terbebas dari korupsi, sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam (Khilafah).


Sistem politik Islam mampu mencetak para pejabat bervisi akhirat dan berkhidmat kepada rakyat semata-mata untuk mendapatkan keridaan dari Allah Swt.. Mereka adalah orang-orang yang amanah dan kompeten di bidangnya serta yakin dirinya mampu untuk mengurusi urusan rakyat dengan baik. Sistem politik Islam tidak mengenal masa jabatan sebagaimana yang berlaku dalam sistem kapitalisme sekuler. Sehingga, apabila ada pejabat yang melanggar hukum syariat seperti melakukan korupsi, maka saat itu pula jabatannya dicopot dan diberhentikan.


Pemberhentian tidak hormat bagi pejabat yang korup diiringi dengan penerapan hukum takzir kepada pelaku korupsi yang bentuk dan sanksinya didasarkan pada ijtihad khalifah atau qadhi. Di antaranya dengan menyita semua harta benda yang diambil dari negara, mengekspose pelaku korupsi, hukuman penjara, hingga hukuman mati apabila korupsi yang dilakukan menyebabkan dharar bagi umat dan negara. Mekanisme seperti inilah yang akan mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih, pejabat yang amanah, dan melahirkan potret kehidupan yang adil dan sejahtera bagi rakyat. Wallahu’alam.





Posting Komentar

0 Komentar